Mohon tunggu...
Elly Agustina
Elly Agustina Mohon Tunggu... Guru - Guru, graphic designer

The first you makes habit, but the last habit makes you.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Asketis dan Citra Pemimpin

11 Juni 2014   22:18 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:11 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

POLITIK ASKETIS DAN CITRA PEMIMPIN

Oleh: Elly Agustina*

Politik bukanlah cara untuk menipu atau memerkosa hak-hak rakyat. Politik adalah cara untuk mendukungkebahagiaan dan kepentingan umum guna membuat dunia lebih baik(Vaclav Havel;1992). Ibnu Khaldun, ilmuan politik Islam, menegaskan kehidupan politik adalah keharusan bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Berpolitik dilukiskan sebagai sarana menuju keteraturan dan sebuah cara menuju peradaban. Begitulah, mungkin kini telah terjadi mispersepsi rakyat tentang pentingnya berpolitik, dan bahkan rakyat kini lebih memilih menjadi apatis daripada turut partisipatif dalam medan politik praktis. Karena rakyat merasa hak-hak mereka dikebiri guna terpenuhinya naluri konsumtif para elite politik. Maka demikianlah persepsi politik telah berbias.

Di alam demokrasi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang memberikan mandat pada pimpinannya untuk menjalankan kedaulatan. Mandat tersebut tentu harus dipertanggungjawabkan secara etik dan moral pada rakyat. Bahkan dalam Islam esensi pertanggungjawaban adalah sebuah amanah, jauh melampaui tuntutan demokrasi. Dalam kehidupan itulah politik asketis diperlukan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Asketisme adalah paham yang mempraktikan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban. Dengan demikian dapat diartikan politik asketis adalah pilihan politik yang mengedepankan fungsionalitas, kesederhanaan, kejujuran dan rela berkorban.

Tak lekang, teori Ki Hajar Dewantara tentang kepemimpinan yakni Ing Ngarso Sung Tulodo yang berarti pemimpin harus berada di depan dan siap menjadi teladan dan panutan. Namun, tak banyak pimpinan politik yang demikian. Tak banyak elit yang mampu bersikap asketis di panggung gemerlap politik. Meskipun ada, mungkin jumlahnya sangat sedikit. Mereka mungkin tak tersorot media, atau lebih memilih untuk tetap berkontribusi tanpa pujian. Masih hangat dalam ingatan bagaimana kasus Anas Urbaningrum dengan Hambalangnya, kasus Abu Rizal Bakrie dengan Lapindonya, serta banyak lagi kasus elit politik yang menggadaikan kepercayaan rakyat guna menjaga gawang pribadi atau golongan.

Menjelang pemilu presiden 2014 ini, dua pasang kandidat tengah berlomba untuk mempromosikan diri sebagai kandidat orang nomor ahad di Indonesia. Berbagai cara telah ditempuh, mulai dari politik blusukan,hingga mengiklankan diri di berbagai media massa. Pembangunan citra guna meraup dukungan publik merupakan modal utama untuk memperoleh bangku kekuasaan.

Namun ada hal yang mungkin terlupa, bahwa citra yang fiktif akan melahirkan kepercayaan yang fiktif pula. Karena citra merupakan hasil dari perpaduan karakter dan amal. Dua hal yang perlu pembuktian dalam jangka waktu yang tak bisa terbilang singkat. Maka tak heran bila sikap apatis rakyat yang kini menjadi penyakit musiman saat momen-momen pesta demokratis menghasilkan bab kesimpulan berjudul golput. Akhirnya rakyat beranggapan bahwa ada dan tak adanya suara mereka akan sama. Padahal, peran rakyat di sini merupakan elan vital yang tak bisa dianggap hilang atau dihilangkan. Karena sejatinya, demokrasi merupakan hajat rakyat.

Meski banyak koyak dalam baju perpolitikan, namun harapan menuju lebih baik tak boleh mati. Karena harapan itu yang menyebabkan munculnya perbaikan pada tubuh perpolitikan mendatang. Pemimpin karismatik dan mampu mengamalkan politik asketis pasti mampu dimunculkan dari Laboratorium of Leadership bangsa ini.

Menurut Amin Rais, selama suatu Negara menegakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat yang egalitarian, yang jauh dari eksploitasi manusia atas manusia maupun eksploitasi golongan atas golongan lain, berarti Negara tersebut sudah dipandang Negara yang baik.

Karena Adil dan Sejahtera adalah mahar dari pemimpin pada rakyat yang dipimpinnya, dan hal itu harus senantiasa menjadi tujuan utama pemimpin. Tak bisa tidak. Karena pinangan rakyat atasnya sudah ia terima. Maka konsekuensi selanjutnya adalah implementasi atas ikrar yang terlafadz dan tertuliskan.

Berbenah untuk Indonesia lebih baik di bawah kekuasaan siapapun yang terpilih pada putaran pemilu ini adalah konsekuensi yang mau tak mau menjadi beban amanah yang harus diselesaikan. Memang, mewujudkan politik asketis tak semudah membalikkan telapak tangan, tapi jua tak semustahil manusia mengaku Tuhan.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun