<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} @font-face {font-family:"Book Antiqua"; panose-1:2 4 6 2 5 3 5 3 3 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Book Antiqua","serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:Calibri; mso-bidi-theme-font:minor-latin;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} -->
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
Setiap pukul delapan pagi, seorang wanita tua melewati kos di daerah Jl. Karangmenjangan Surabaya, dengan mendorong gerobak yang didalamnya penuh dengan nasi dan jajanan. Wanita itu bernama Mak Tandur. Ternyata Tandur adalah seorang Lansia (lanjut usia) yang sudah berumur 80an. Sesuai dengan Undang Undang RI No.13 Tahun tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, disebutkan bahwa Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas. Tiap pagi, dengan suara khasnya “segoe noeng…” (Red: nasinya neng), dia membangunkan penghuni kos di daerah itu. Selain Lansia, Tandur juga tuli. Agak sulit bercakap dengannya karena telinganya kurang bisa mendengar.
Dalam usianya yang menginjak kepala delapan, dia harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan anaknya yang berjumlah delapan orang. Kulitnya yang kusut dan tubuh rentahnya serta uban rambutnya membuat siapa saja kasihan melihatnya. Tandur mengaku dirinya bukan pemiilik gerobak serta isinya. Dia hanya menjualkannya saja. Tiap nasi dan jajanan yang laku Tandur mendapat upah dua ratus rupiah.Tutur Tandur “aku mek dodolnombak. Iki nggone uwong kok” (Red: saya cuma menjualkan saja mbak. Ini punyanya orang). Kata Mak Tandur dengan senyum ompongnya. Tandur mengaku bahwa dia asli orang Jombang, Jawa Timur. Dia pindah untuk memperoleh kehidupan yang layak, sampai di Surabaya dia melahirkan delapan anak. Tapi fakta bahwa dia harus bekerja sampai saat ini, merupakan bentuk ketidakmapanan hidupnya.
Di daerah Surabaya sendiri, kesejahteraan Lansia kurang diperhatikan. Terbukti dari tutur Ketua Yayasan Gerontologi Abiyoso Jawa Timur, bahwa kehidupan lansia sangat memprihatinkan. Lansia yang ada di Surabaya mayoritas tidak memiliki pendapatan sendiri, akibatnya menjadi beban keluarga. Dari keterangan tersebut, Tandur sendiri adalah sebagian kecil contoh dari Lansia yang berusaha menghidupi kebutuhannya tanpa diberi kemudahan atau fasilitas yang memadai dari pemerintah Surabaya.
Peran serta pemerintah kota Surabaya pun dipertanyakan. Padahal sesuai dengan Undang-Undang RI No.13 Tahun tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, bahwasanya Lansia diberikan hak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang meliputi : pelayanan keagamaan dan mental spiritual; pelayanan kesehatan; pelayanan kesempatan kerja; pelayanan pendidikan dan pelatihan; kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum; kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; perlindungan sosial; dan bantuan sosial. Tak hanya itu, sebenarnya banyak nasib Lansia yang lebih memprihatinkan dari pada kondisi Imah, tidak sedikit di daerah pinggiran kota Surabaya, Lansia menggelandang dan tidak memiliki penghasilan tetap serta tak jarang Lansia menjadi pengemis. Merupakan pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah Surabaya untuk mencari solusi terhadap kondisi Lansia di Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H