Mohon tunggu...
Ellisa EkaAmelia
Ellisa EkaAmelia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - mahasiswa

gasuka nulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dari Luka Menjadi Suara, Kisah Pilu Perempuan Dibalik Kasus Kekerasan Seksual

19 Desember 2024   20:24 Diperbarui: 19 Desember 2024   20:24 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Artikel ini ditulis oleh Novia Alya dari Kementerian P3

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan isu yang sering kali terabaikan dalam masyarakat kita, meskipun dampaknya sangat mendalam dan merusak. Setiap tahun, ribuan perempuan mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, emosional, maupun psikologis, yang mengancam keselamatan dan kesejahteraan mereka. Dalam banyak kasus, korban terjebak dalam siklus kekerasan yang sulit diputus, sering kali merasa tidak berdaya dan terisolasi. Namun, di balik setiap kisah kesakitan, terdapat suara-suara yang berani bangkit dan menceritakan pengalaman mereka, mengubah luka menjadi kekuatan yang menginspirasi.

Artikel ini akan mengangkat kisah pilu seorang perempuan, Cut Intan Nabil, seorang selebgram yang berani berbagi pengalaman pahitnya sebagai korban KDRT. Melalui pengalamannya, kita akan menyelami realitas yang dihadapi banyak perempuan, dari perjalanan awal yang dipenuhi harapan hingga kenyataan pahit yang mengubah hidupnya. Dengan mengangkat cerita Cut Intan, kita tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan dalam rumah tangga, tetapi juga untuk memberikan dorongan bagi korban lain agar berani berbicara dan mencari bantuan.

Saat ini, data terbaru dari kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak  menunjukkan bahwa dari total kasus kekerasan yang terverifikasi sejak 1 Januari 2024, sekitar 79,7% dari korban adalah perempuan, sementara 20,3% adalah laki-laki. Angka ini mencerminkan kenyataan bahwa perempuan masih menjadi kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan, baik dalam konteks rumah tangga maupun di luar. Sementara itu, data yang belum terverifikasi menunjukkan bahwa angka tersebut mungkin lebih tinggi, karena banyak korban, terutama perempuan, masih enggan melaporkan kekerasan yang mereka alami. Data yang terus diperbarui menunjukkan urgensi untuk meningkatkan kesadaran dan tindakan terhadap isu ini.

Cut Intan Nabil, seorang selebgram yang berani berbagi pengalaman pahitnya sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Di balik popularitasnya di media sosial, Cut Intan mengalami perjuangan yang berat yang tidak banyak diketahui publik. Melalui pengalamannya, kita akan menyelami realitas yang dihadapi banyak perempuan, dari perjalanan awal yang dipenuhi harapan hingga kenyataan pahit yang mengubah hidupnya.

Pada awal hubungan, Cut Intan merasakan cinta yang dalam dan dukungan yang luar biasa dari suaminya. Seperti banyak perempuan lainnya, ia berharap untuk membangun keluarga yang bahagia dan harmonis. Namun, seiring berjalannya waktu, harapan itu mulai pudar ketika suaminya menunjukkan sifat-sifat kontrol yang berlebihan. Dia mulai membatasi interaksinya dengan teman-teman dan mengatur konten yang dia bagikan di media sosial. Pada titik ini, Cut mulai merasakan ketidaknyamanan, namun dia berusaha untuk mengabaikannya, berharap semuanya akan membaik.

Ketika hubungan itu berkembang, Cut mulai mengalami bentuk-bentuk kekerasan yang lebih serius. Tindakan verbal yang merendahkan berubah menjadi kekerasan fisik, dan Cut merasakan dampak emosional yang mendalam. Setiap kali dia berusaha untuk berbicara atau mengungkapkan ketidakpuasan, dia justru mendapat ancaman atau intimidasi dari suaminya. Ketidakberdayaan dan rasa takut yang dialaminya membuatnya terjebak dalam siklus kekerasan yang sulit diputus. Dalam kondisi ini, banyak perempuan merasa bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain selain bertahan, meskipun konsekuensinya sangat menyakitkan.

Banyak perempuan yang memilih untuk menyimpan permasalahan rumah tangganya, yang sering kali membuat mereka terjebak dalam siklus kekerasan. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian laki-laki cenderung mengekspresikan emosinya melalui kekerasan, sementara perempuan lebih terbuka dalam mengekspresikan perasaan mereka. Meskipun demikian, laki-laki juga memiliki potensi untuk menjadi agen pemutus rantai kekerasan. Namun, tanggung jawab ini tidak sepenuhnya terletak pada laki-laki. Semua orang, tanpa memandang gender, memiliki peran penting dalam menghentikan kekerasan dalam hubungan. Oleh karena itu, upaya untuk memutus siklus kekerasan dalam rumah tangga memerlukan kesadaran dan kolaborasi dari seluruh elemen masyarakat (Jufanny & Girsang, 2020).

Pengalaman Cut Intan merupakan refleksi dari situasi yang dihadapi banyak perempuan di Indonesia, di mana stigma sosial dan ketidakpahaman mengenai KDRT sering kali menghalangi mereka untuk berbicara. Banyak korban merasa terjebak dalam rasa malu dan ketakutan, yang membuat mereka enggan untuk mencari bantuan atau melaporkan kekerasan yang mereka alami.

Dengan mengangkat cerita Cut Intan, kita tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan dalam rumah tangga, tetapi juga untuk memberikan dorongan bagi korban lain agar berani berbicara dan mencari bantuan. Cerita Cut menunjukkan bahwa ada harapan dan jalan untuk pemulihan. Melalui dukungan dari teman-teman, keluarga, dan organisasi yang peduli, Cut akhirnya menemukan keberanian untuk keluar dari hubungan yang merusak itu. Dia mulai menghubungi lembaga perlindungan perempuan dan anak yang membantunya mendapatkan dukungan dan pemulihan.

Dengan keberaniannya, Cut Intan tidak hanya berhasil menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi juga menjadi suara bagi banyak perempuan lain yang menghadapi situasi serupa. Dia memanfaatkan platform media sosialnya untuk berbagi pengalaman, menyebarkan kesadaran tentang KDRT, dan mendorong perempuan lain untuk mencari bantuan.

Mengangkat cerita seperti Cut Intan Nabila sangat penting karena dapat membuka mata masyarakat tentang realitas kekerasan dalam rumah tangga. Cerita ini bukan hanya sekadar narasi pribadi, tetapi juga merupakan panggilan untuk tindakan. Dengan memahami pengalaman para korban, kita dapat membangun empati, mengurangi stigma, dan menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan untuk berbicara.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa setiap luka dapat diubah menjadi suara yang kuat. Setiap perempuan berhak untuk didengar, didukung, dan dibebaskan dari siklus kekerasan. Dengan terus mendorong dialog dan dukungan terhadap korban, kita dapat bekerja sama untuk menghentikan kekerasan dalam rumah tangga dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua.

Sebagai opini pribadi, saya percaya bahwa pemberantasan KDRT memerlukan pendekatan yang komprehensif. Selain memperkuat kerangka hukum seperti UU Nomor 23 Tahun 2004, kita juga perlu meningkatkan edukasi masyarakat tentang hak-hak korban dan pentingnya pelaporan. Media sosial dapat menjadi alat yang kuat untuk menyebarkan kesadaran, seperti yang dilakukan oleh Cut Intan. Namun, perubahan nyata hanya bisa terjadi jika semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan lembaga non-pemerintah, bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang mendukung korban untuk berbicara dan pulih.

Dalam upaya memberikan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Indonesia memiliki kerangka hukum yang jelas, yang membahas tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hukum ini tidak hanya mengatur definisi KDRT, tetapi juga menetapkan sanksi bagi pelaku dan menyediakan mekanisme untuk perlindungan korban. Pasal-pasal dalam undang-undang ini mengakui berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi, dan memberikan hak kepada korban untuk mendapatkan perlindungan hukum, layanan rehabilitasi, dan akses ke lembaga bantuan hukum. Selain itu, hukum ini juga mengatur pembentukan pusat pelayanan terpadu yang berfungsi sebagai tempat bagi korban untuk mendapatkan dukungan medis, psikologis, dan hukum. Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan korban KDRT merasa lebih aman untuk melapor dan mendapatkan keadilan, serta mengurangi stigma sosial yang sering kali menghalangi mereka untuk berbicara. Sesuai dengan Pasal 10, UU PKDRT, maka korban KDRT memiliki hak sebagai korban, diantaranya:

  1. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
  2. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
  3. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
  4. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  5. pelayanan bimbingan rohani.

Dengan adanya UU PKDRT ini, kaum perempuan dapat menuntut keadilan atas penganiayaan yang dilakukan oleh pasangannya di dalam rumah tangga. Dengan demikian undang-undang ini dengan sendirinya membuka mata bahwa KDRT sebenarnya merupakan perbuatan kekerasan yang dapat dijadikan dasar menggugat perceraian. Namun walaupun sudah ada UU KDRT bukan berarti masalah KDRT sudah selesai jika korban tidak mengadu. Hal ini dibutuhkan kesadaran dari korban KDRT itu sendiri.

Kesimpulan

Dalam kesimpulan, kisah Cut Intan Nabil memberikan gambaran nyata tentang perjuangan perempuan yang terjebak dalam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan menunjukkan betapa pentingnya mengangkat suara mereka. Melalui pengalaman pahitnya, kita dapat melihat bagaimana stigma sosial dan ketidakpahaman masyarakat sering kali menghalangi korban untuk berbicara dan mencari bantuan. Meskipun Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang jelas, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tantangan dalam implementasinya masih ada, terutama dalam mendorong korban untuk melapor dan mendapatkan keadilan.

Pengalaman Cut Intan menggarisbawahi bahwa setiap perempuan berhak untuk didengar, didukung, dan dibebaskan dari siklus kekerasan. Dengan memanfaatkan platform media sosial, ia tidak hanya mampu menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak perempuan lain untuk berani melawan dan mencari bantuan. Dalam konteks ini, kesadaran masyarakat dan dukungan dari berbagai pihak menjadi kunci untuk mengatasi isu KDRT. Dengan terus memperjuangkan hak-hak perempuan dan mendorong dialog terbuka, kita dapat bersama-sama membangun lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi semua korban kekerasan, serta menegaskan bahwa setiap luka bisa diubah menjadi suara yang kuat dalam perjuangan melawan kekerasan.

DAFTAR PUSTAKA

KemenPPPA. (n.d.). Ringkasan. Retrieved from https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan

Komnas Perempuan. (n.d.). Menemukenali Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Retrieved from https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/menemukenali-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt

Jufanny, D., & Girsang, L. R. (2020). Toxic Masculinity Dalam Sistem Patriarki (Analisis Wacana Kritis Van Dijk Dalam Film "Posesif"). SEMIOTIKA: Jurnal Komunikasi, 14(1), 1--15.

Sari, A., & Putri, A. H. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Krtha Bhayangkara, 14(2), 45--60.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun