Mengangkat cerita seperti Cut Intan Nabila sangat penting karena dapat membuka mata masyarakat tentang realitas kekerasan dalam rumah tangga. Cerita ini bukan hanya sekadar narasi pribadi, tetapi juga merupakan panggilan untuk tindakan. Dengan memahami pengalaman para korban, kita dapat membangun empati, mengurangi stigma, dan menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan untuk berbicara.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa setiap luka dapat diubah menjadi suara yang kuat. Setiap perempuan berhak untuk didengar, didukung, dan dibebaskan dari siklus kekerasan. Dengan terus mendorong dialog dan dukungan terhadap korban, kita dapat bekerja sama untuk menghentikan kekerasan dalam rumah tangga dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua.
Sebagai opini pribadi, saya percaya bahwa pemberantasan KDRT memerlukan pendekatan yang komprehensif. Selain memperkuat kerangka hukum seperti UU Nomor 23 Tahun 2004, kita juga perlu meningkatkan edukasi masyarakat tentang hak-hak korban dan pentingnya pelaporan. Media sosial dapat menjadi alat yang kuat untuk menyebarkan kesadaran, seperti yang dilakukan oleh Cut Intan. Namun, perubahan nyata hanya bisa terjadi jika semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan lembaga non-pemerintah, bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang mendukung korban untuk berbicara dan pulih.
Dalam upaya memberikan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Indonesia memiliki kerangka hukum yang jelas, yang membahas tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hukum ini tidak hanya mengatur definisi KDRT, tetapi juga menetapkan sanksi bagi pelaku dan menyediakan mekanisme untuk perlindungan korban. Pasal-pasal dalam undang-undang ini mengakui berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi, dan memberikan hak kepada korban untuk mendapatkan perlindungan hukum, layanan rehabilitasi, dan akses ke lembaga bantuan hukum. Selain itu, hukum ini juga mengatur pembentukan pusat pelayanan terpadu yang berfungsi sebagai tempat bagi korban untuk mendapatkan dukungan medis, psikologis, dan hukum. Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan korban KDRT merasa lebih aman untuk melapor dan mendapatkan keadilan, serta mengurangi stigma sosial yang sering kali menghalangi mereka untuk berbicara. Sesuai dengan Pasal 10, UU PKDRT, maka korban KDRT memiliki hak sebagai korban, diantaranya:
- perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
- pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
- penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
- pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- pelayanan bimbingan rohani.
Dengan adanya UU PKDRT ini, kaum perempuan dapat menuntut keadilan atas penganiayaan yang dilakukan oleh pasangannya di dalam rumah tangga. Dengan demikian undang-undang ini dengan sendirinya membuka mata bahwa KDRT sebenarnya merupakan perbuatan kekerasan yang dapat dijadikan dasar menggugat perceraian. Namun walaupun sudah ada UU KDRT bukan berarti masalah KDRT sudah selesai jika korban tidak mengadu. Hal ini dibutuhkan kesadaran dari korban KDRT itu sendiri.
Kesimpulan
Dalam kesimpulan, kisah Cut Intan Nabil memberikan gambaran nyata tentang perjuangan perempuan yang terjebak dalam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan menunjukkan betapa pentingnya mengangkat suara mereka. Melalui pengalaman pahitnya, kita dapat melihat bagaimana stigma sosial dan ketidakpahaman masyarakat sering kali menghalangi korban untuk berbicara dan mencari bantuan. Meskipun Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang jelas, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tantangan dalam implementasinya masih ada, terutama dalam mendorong korban untuk melapor dan mendapatkan keadilan.
Pengalaman Cut Intan menggarisbawahi bahwa setiap perempuan berhak untuk didengar, didukung, dan dibebaskan dari siklus kekerasan. Dengan memanfaatkan platform media sosial, ia tidak hanya mampu menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak perempuan lain untuk berani melawan dan mencari bantuan. Dalam konteks ini, kesadaran masyarakat dan dukungan dari berbagai pihak menjadi kunci untuk mengatasi isu KDRT. Dengan terus memperjuangkan hak-hak perempuan dan mendorong dialog terbuka, kita dapat bersama-sama membangun lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi semua korban kekerasan, serta menegaskan bahwa setiap luka bisa diubah menjadi suara yang kuat dalam perjuangan melawan kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
KemenPPPA. (n.d.). Ringkasan. Retrieved from https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
Komnas Perempuan. (n.d.). Menemukenali Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Retrieved from https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/menemukenali-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt