Mohon tunggu...
Ellina Supendy
Ellina Supendy Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga yang suka membaca, menulis dan jalan-jalan.

Ibu rumah tangga yang suka membaca, menulis dan jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Akil Kini Tidak Lagi Bersama Baligh

2 Juli 2016   11:50 Diperbarui: 2 Juli 2016   12:00 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita memahami istilah akil baligh sebagai satu kesatuan kondisi dimana remaja mengalami perkembangan secara fisik biologis dengan berfungsinya sistem reproduksi, ini yg disebut baligh, diikuti dgn kematangan mental berupa kesiapan menghadapi tantangan hidup, logis, tanggungjawab, dan berpikiran jauh ke depan, yg ini kita sebut akil.

Era abad 20, saat kita anak-anak, kondisi orangtua dan lingkungan masih menyajikan sulitnya hidup dan memaksa kemandirian kita anak-anaknya. Budaya serba dilakukan sendiri menjadi keharusan: bangun pagi, merapikan tempat tidur, sholat subuh ke masjid, mandi, pakai pakaian, menyiapkan alat sekolah, sarapan, berangkat SD jalan kaki, uang jajan terbatas, buku terbatas, sekolah sederhana, makan siang, kerjakan PR, main di luar dgn teman teman sekomplek atau kampung dll.
Semua aktivitas itu memaksa anak utk berpikir kreatif, menghadapi masalah dan mencari solusinya, bargain dgn teman, dsb yg hikmahnya membuat kita mandiri.

Berkahnya, kita tumbuh berkembang menjadi remaja yg dewasa lahir dan bathin. Di usia 14 tahun saat ciri biologis baligh tiba, mental kita sdh tertempa dgn berbagai budaya kemandirian itu, sehingga kita menjadi akilbaligh secara paripurna.

Saya ingat saat ayah bilang bahwa kalau mau dibilang anak besar (remaja) maka tidak lagi takut gelap, syetan, hantu, jin, orang gila, apalagi ondel-ondel. Remaja juga harus mau dan berani disuruh belanja ke pasar, ke klinik, ke tukang cukur, ke bengkel sepeda, dan yg paling berat ke rumah nenek sendiri.
Kini kondisinya berubah. Perkembangan iptek menyajikan banyak kemudahan dan perubahan gaya hidup. Generasi x bertransisi menjadi y dan kini muncul generasi akhir zaman yg kita sebut z.

Generasi Z tidak kenal mesin tik, cetak stensil, kamera manual film, bahkan tv tabung dan radio transistor. Semua sudah bergabung dlm benda kecil gadget. Mereka yg lahir di tahun 2000 tumbuh cepat dan secara spektakuler menunjukkan percepatan kecerdasan dalam iptek dengan dukungan teknologi tinggi di sekitarnya.

Tanpa disadari, terjadi degradasi kultur dalam keluarga, lingkungan, dan pola asuh secara mendasar. Anak tumbuh berkembang didampingi tv dan gadget. Padahal kita tahu, media itu sangat terbuka dan bebas tak berbatas. Jiwa anak belum siap, segala kemudahan yg didapat tidak menyediakan latihan problem solving, kreativitas, dan kemandirian. Alhasil, muncullah remaja baligh tapi tidak akil. Pikirannya msh anak anak. Remaja yg hanya ingin senang-senang tanpa menimbang norma dan aturan.

Remaja baligh tanpa akil ini amat rentan terhadap kesulitan. Mereka biasa dilayani dan diberi kemudahan oleh orangtua dan gadgetnya. Emosi tidak terkontrol, mudah stress, sering ambil jalan pintas, malas, dan apatis terhadap lingkungan dan masa depan. Remaja semacam ini menjadi sasaran empuk mafia kerusakan: narkoba, geng motor, free sex, Lgbt, sampai atheisme.

Kita terlambat sadar, fenomena terlambatnya akil dari baligh sdh sedemikian parah. Saat ini kasus perceraian makin marak salah satunya karena mereka yang menikah sementara mentalnya blm dewasa. Hanya karena beda selera makan, langsung cerai. Saat ini banyak sekali manusia baligh 20 tahunan yg belum akil. Mrk dihantui ketakutan dan stress saat sekali saja gagal menghadapi kesulitan hidup.

Meski terlambat, mari kita segera bertindak untuk antisipasi jangan sampai ini terus berlarut. Kita sebagai orangtua sudah saatnya mendisain tantangan dan kesulitan untuk anak-anak kita.

Kita harus tega memberi tugas, tanggungjawab, dan membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri tentu dalam pantauan kita. Kita jelang masa depan anak anak kita dengan kemandirian dan kematangan berpikir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun