Semakin murah hati, semakin tepat waktu, semakin mudah memaafkan, semakin tidak haus pengakuan, and the list goes on.
Menerima dan mencintai diri tak terbantahkan memang perlu, tapi semoga itu dilakukan tanpa menghapus sama sekali sebuah tekad untuk terus ingin berbenah.
Mudahnya memutus hubungan
"Dia toksik sih"
"Aduh, malah kritik, speak kindness kek"
"Temenku mah ga cuma dia"
Suatu hari saya membaca Instagram Story seorang selebgram. Sesaat setelah potong rambut dan membaginya di media sosial, seorang netijen memberi komentar "kenapa potong? Dulu juga cantik". Dia membagi screen capture komentar itu dengan tambahan teks "toksik banget sih, time to block."
Saya sendiri juga pernah memberi komentar di postingan seseorang bahwa konten informasi yang ia bagi belum terbukti kebenarannya, dan dengan begitu lugasnya dia membalas "kalau ga setuju, unfriend aja ga papa kok."
Terakhir, di sebuah akun tertentu, seseorang mengkritisi film Emily in Paris yang dianggap terlalu klise dibandingkan kenyataan.Â
Lantas netijen berkomentar "aduh beginian dikritisi, ga bisa have fun aja apa, toksik deh!" Naluri kepo membawa saya ke akun sang pengomentar, dan dia berkata di IG Story-nya bahwa demi ketenangan hidup, mending jauh-jauh deh dari akun yang hobinya mengkritisi sesuatu begitu.
Ketiga momen ini membuat saya mengernyitkan alis seraya berpikir keras. Dengan dalih meraih ketenangan hidup sebab kita mencintai hidup (alias: self-love itu sendiri), betapa banyak komunikasi yang sengaja diputus?Â