Jarang-jarang pukul 16.00 sore saya sudah lapar. Setelah saya ingat-ingat saya memang melewatkan makan siang karena sebuah telepon yang merusakkan hari saya. Sore itu, akhirnya saya memutuskan singgah ke sebuah warteg.
"Cumi, sayur nangka, sama tahu ya bu"
Begitu kata saya ke sosok ibu yang punya senyum amat sumringah. Tak lama, piring sudah mendarat di hadapan dan siap saya santap untuk mengusir rasa lapar. Sayangnya, dalam beberapa suap, tahu yang saya ekspektasikan begitu nikmat ternyata sangat mengecewakan. Saya pun memakannya hanya sedikit dan meninggalkan sekitar 3/4 nya tanpa tersentuh lagi.
"Berapa bu?" tanya saya siap membayar. Dia pun menjawab satu kisaran angka yang masuk akal dan sudah terduga.
Saat memberi kembalian, sang ibu menengok ke arah piring saya dan mendapati tahu ditelantarkan begitu saja. Dia pun bertanya "kenapa mbak?". Saya menjelaskan alasan saya yang sepenuhnya perkara selera. Alih-alih dia membela diri dan memaksakan versi tahu saat itu adalah yang terenak, dia meminta maaf. Kemudian dia berkata lain kali dia akan memberi informasi lebih dulu apakah yang sedang tersaji tahu pong atau tahu padat, ketika saya sedang memesan.
Saya terheran namun di saat yang sama tersenyum menyadari bahwa saya sedang dimanusiakan saat itu. Faktanya dia tidak harus melakukan itu, bukan? Namun dia menghargai selera saya dan berusaha sedapat mungkin menjadikan saya puas dengan hidangan yang tersajikan di kesempatan selanjutnya.
Apa yang terjadi di pagi hari sepenuhnya berbeda.
Sebuah kegiatan mengharuskan saya mengurus perizinan di satu lembaga Pemerintah yang artinya sepaket dengan interaksi dengan Pegawa Negeri Sipil (PNS). Tahap demi tahap dilewati hingga surat izin pun siap diambil. Satu PNS berkata bahwa saya harus membawa foto 3x4 dan KTP asli untuk mengambil surat tersebut, maka sehari sebelumnya saya siapkan segala persyaratan.
Mari kita akui terlebih dulu, bahwa kadang birokrasi dan perizinan di pemerintah itu melelahkan. Maka, tidak ada cara lain untuk menghemat waktu selain berusaha menepati persyaratan dengan sebaik-baiknya.
Ketika di kantor, petugas PNS yang saya hubungi tidak secara langsung menemui. Saya kemudian berhadapan dengan seorang CPNS. Dia kebingungan apa yang harus dia lakukan hingga akhirnya dia memberi surat yang saya minta.
Segepok persyaratan saya letakkan di atas meja, dengan asumsi itulah yang harus diperiksa. Anehnya, petugas CPNS ini terkaget dan terkesan merasa keberatan memeriksa puluhan kartu identitas kemudian berkata bahwa itu akan dibutuhkan nanti. Surat dia beri, dan saya dengan entengnya diizinkan pergi.