Mohon tunggu...
Claudya Elleossa
Claudya Elleossa Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pencerita

Seorang ASN dan ibu, yang sesekali mengisi pelatihan menulis dan ragam topik lainnya. Bisa diajak berinteraksi melalui IG @disiniclau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Seorang Polisi yang Minta Didoakan Saat Bertugas, Menghancurkan Stereotip Kita

10 April 2018   17:24 Diperbarui: 10 April 2018   20:03 3642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tindakan Langsung Polisi Lalu Lintas/Tribunnews.com

Rasanya di beranda Facebook saya beberapa kali muncul curhatan tentang tingkah laku oknum polisi. Mulai dari perkara tilang, atau tindakan-tindakan lain yang dirasa tidak tepat untuk dilakukan oleh seorang polisi.

Saya mungkin menjadi satu orang yang diam-diam berpikir hal sama, dan hal itu makin ditegaskan kala orang terdekat saya mengalami sendiri bagaimana polisi melakukan tindak kecurangan.

Deretan informasi yang berulang kita telan akan memengaruhi persepsi kita terhadap suatu hal. Bahkan ekstrimnya kita tanpa sengaja melakukan stereotip atau dalam artian lain kita mendefisinikan sifat-sifat  suatu kelompok berdasarkan tindakan spesifik dari satu bagian kelompok tersebut.

Misalnya, kita sekali waktu memakan jeruk yang amat masam, lalu membuat kesimpulan bahwa semua jeruk pasti masam. Ya setipe dengan kalimat "semua lak-laki sama saja" hanya karena dikecewakan satu dua mantan kekasih. Padahal jeruk masih banyak yang manis dan laki-laki juga masih banyak yang setia.

Dalam pendefinisian bahasa Inggris bahkan digunakan kata "oversimplified", karena akar dari tindakan stereotip tak lain adalah kemalasan untuk mengurai lebih utuh dan melihat fakta dengan lebih menyeluruh, bahwa satu tindakan spesifik satu orang tidak serta merta mendefisinisikan karakter dari kelompok di mana orang itu berada.

Sayangnya, kadang kita melakukan itu. Atau setidaknya saya. Bahkan ketika saya tahu bahwa itu salah, ada pikiran-pikiran yang otomatismelakukan justifikasi berlandaskan stereotip, salah satunya ke oknum polisi.

Sebuah Pengalaman yang Mengubah Pandangan

Sekitar dua minggu lalu saya kena tilang di satu ruas jalan Surabaya. Dua polisi berdiri sigap dan salah satunya menghadang saya. Sejujurnya hari itu saya sangat lelah karena deretan kegiatan yang berpencar di berbagai titik berbeda Surabaya. Saat saya tahu polisi memberi 'urusan tambahan' buat saya, suasana hati langsung hancur. Tumpukan asumsi menyerang, bahwa ini pasti akan berujung uang dan bahwa dia akan mencari-cari kesalahan. Bukankah begitu seringnya?

Setelah saya berhenti, satu polisi memarahi saya sebab jalur yang saya pilih itu salah dan parahnya itu berpotensi membahayakan diri saya sendiri. Setelah kenyang mendengar teguran tersebut, saya diarahkan ke pak polisi kedua. Bapak satu ini lebih kalem dan tidak marah ataupun mengomel seperti rekannya. 

Beliau meminta SIM dan STNK saya, lalu berkomentar tentang daerah asal saya, bertanya tempat kelahiran saya, hingga ... bertanya apa agama saya. Sontak firasat buruk mencuat. Saya kemudian dijadwalkan sidang pada tanggal 27 April (tepat sebulan dari hari kejadian). Kemudian dia bertanya lebih lanjut apa aktivitas saya belakangan ini, tanpa ragu saya jawab "besok Kamis Putih, lusa Jumat Agung, hari Minggunya Paskah." Dalam hati saya bergumam kalau memang karena identitas Kristen saya akan dipersulit, maka sekalian saja. Ternyata responsnya berbeda.

Pak Polisi itu berkata saya dibebaskan dengan syarat saya tahu persis kecerobohan saya memilih jalur saat itu dan tidak mengulangi lagi. "Supaya mbak juga bisa ibadah dengan tenang" begitu penjelasan tambahan dari pak polisi tersebut. "saya Cuma minta satu hal," begitu lanjutnya. Lagi dan lagi, firasat buruk menyerang. Jangan-jangan saya harus melakukan sesuatu yang melanggar integritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun