Dengan serangan tipis-tipis asam lambung, saya membuka pagi ini. Sayangnya bukan wajah kekasih atau makanan nikmat yang tersaji, justru konten ulasan menarik yang dibagi dua kawan melalui sosial media. Saya menelan keduanya tanpa segan, dan hitung-hitung jadi santapan berbobot. Siapa sangka, asam lambung saya justru meloncak.
Dua liputan yang membuat saya menatap Japanesecheesecakekesukaan saya dengan nanar. Dia tak ubahnya spons dan segumpal tepung tanpa rasa. Di sela serangan kejam asam lambung itu, sisi kontemplasi saya meningkat. Saya jadi sadar ketika hari-hari terasa damai dan tanpa gencatan senjata di depan mata, tak berarti sedang nihil kejahatan. Bahkan justru dari hal-hal yang terlihat beradab dan biasa saja. Di sekitar kita.
Liputan pertama dari dua bacaan pagi itu adalah soal kelamnya industri fashion retail yang menghadirkan style kekinian dengan begitu update dengan harga yang ramah bagi kantong kaum menengah. Fast Fashion, konon sebutannya. Di balik penampilan menawan, style yang dinamis berubah, dan harga yang tak mencekik, industri itu kerap menekan harga melalui upah yang tidak layak bagi para buruhnya. Misalnya 87 dolar AS per bulan bagi pekerja pabrik fabrik di Bangladesh. Angka itu hanya sepertiga dari besaran standar gaji minimum negara tersebut.
Hanya bergeser, masih di bidang yang identik dengan kaum hawa, liputan kedua menguak tentang penambangan mineral mica sebagai bahan dasar berbagai make-up. Industri yang penuh gemerlap glitter itu ternyata telah mempekerjakan banyak buruh anak terkhusus di India. Diestimasikan ada 20 ribu lebih pekerja anak untuk menambang mineral sarat kilau untuk industri kecantikan dan pemerah pipi hingga foundation.
ILO (International Labour Organization) mencatat 170 juta pekerja anak di negara berkembang menghadapi upah tak layak dan kondisi tak ramah kesehatan dalam industri garment, untuk memenuhi permintaan fashion dari Eropa dan Amerika.
Dua fakta ini membuat saya berpikir keras. Sebagai perempuan rada tomboy, saya bukan penggguna rutin apalagi fanatik kedua macam produk yang diangkat. Bagaimanapun saya jadi berpikir betapa repotnya menjadi konsumen hari-hari ini.
Beli minyak goreng, teringat pembakaran hutan yang menghabiskan habitat banyak orang utan. Beli benda untuk mempercantik diri tak lewat menitipkan rasa bersalah. Bahkan urusan beli es krim murah berawalan "A" itu, kita bisa sedih seketika teringat nasib para pekerjanya yang setelah ditelusuri seperti sedang kerja paksa. Tanpa jaminan kesehatan namun lengkap dengan pemotongan gaji.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita bisa jadi konsumen yang manusiawi di jaman ini? jika pada akhirnya, kita hanyalah konsumen yang tidak akan banyak mempengaruhi rantai produksi suatu barang. Dalam kasus fast fashion misalnya, melakukan boikot produkpun, saya yakin mustahil dilakukan. Kecuali segenap kaum hawa mau sukarela berhenti mempercantik diri dan puas dengan isi lemarinya. (Dan kita tahu itu mitos!)
Polemik semacam ini akan terus bergulir. Tanpa henti. Bahkan mungkin makin menukik dengan kecenderungan arus informasi. Walau sebagai pengguna tak banyak yang bisa kita lakukan, tapi pastilah ada yang bisa kita perbuat, kan?! Setidaknya untuk meresponi dengan santun kondisi macam demikian.
Ibarat menghindari virus influenza, dibandingkan bersusah payah membuat mati perputaran virus tak kasat mata itu, lebih elok dan masuk akal untuk meningkatkan imun diri sendiri. Begitu pula di tengah berbagai pergulatan etika bisnis yang kelam.
Pertama, kita dapat terus mengedukasi diri. Bukan karena kita tidak bisa melakukan banyak maka berarti dibenarkan untuk menjadi acuh. Selain itu, hal kedua adalah bagaimana kebiasaan hedonis dapat mulai kita tatap dengan instropeksi, perlukah? Patutkah? Kalau itu terlalu utopis untuk diraih, ketiga dan terakhir, kita perlu mulai dengan kritis memilih aliran dana kita. Dibandingkan menyuburkan merk-merk yang tak ramah pekerja dan santun terhadap lingkungan, lebih baik mengocek kantong sedikit lebih mahal namun menimbulkan senyum. Misalnya bagi pengrajin batik dalam negeri atau seniman rumahan yang memberi kesempatan bekerja bagi para difabilitas.
Ada banyak cara tentunya. Ya daripada berdiam pasrah.Daripada justru menyalahkan sana sini dengan nada: "ya memang zaman now begini adanya, mau diapain lagi."
Akhirnya, asam lambung saya perlahan hilang. Oh bukan karena sudah membuat konklusi ataupun nikmatnya cheesecake, tapi karena nasi hangat dan dadar jagung dari mama sudah saya santap. Memang, yang lokal lebih baik. Semoga selalu begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H