Mohon tunggu...
Claudya Elleossa
Claudya Elleossa Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pencerita

Seorang ASN dan ibu, yang sesekali mengisi pelatihan menulis dan ragam topik lainnya. Bisa diajak berinteraksi melalui IG @disiniclau

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Merespons dan Mengantisipasi Hoaks tanpa Marah-marah

11 November 2017   17:06 Diperbarui: 12 November 2017   08:58 1838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah derasnya arus informasi, bukan hanya Indonesia yang sedang serius menghadapi terpaan kabar tak benar yang kita kenal dengan hoaks. Kata "hoaks" sendiri tak sepopuler ini di waktu lampau. Dipahami sebagai "kabar bohong", hoaks telah menjadi satu virus sosial yang pastinya harus dihadapi dengan cerdas dan jernih. Bukan justru memboikot apalagi bersumbu pendek dengan emosi. Tulisan ini akan memaparkan secara sederhana dan praktis bagaimana menyikapi kondisi yang tak dapat lepas dari teknologi namun penuh dengan kabar bohong.

Hoaks populer dan dampaknya

Hoaks tersebar di banyak sudut interaksi, baik yang lisan ataupun tulisan. Namun jelaslah bahwa rekam jejak di dunia maya lebih mudah ditelurusi. Jika kita perhatikan, topik hoaks dinamis, beragam, dan sangat tergantung musim. Seperti ketika pilkada, maka informasi merujuk pada isu politik, dan beraroma SARA tentunya. Ketika Pokemon Go diliris, berita penyesatan seketika merebak. Satu yang terbaru adalah ketika kominfo mewajibkan pelaporan ulang SIM Card, muncul kabar bohong yang menyatakan bahwa itu tak ubahnya intrik politis. Suatu survei pernah menemukan bahwa kesehatan dan politik menjadi topik favorit para penghuni dunia maya. Maka jangan heran mengapa informasi soal pemberantasan diabetes atau asam urat kerap singgah di layar gawai, tanpa disertai dengan penelitian memadai.

Hoaks populer soal kesehatan jelas merugikan sebab mengatur tindakan-tindakan praktis sesehari. Soal resiko memakan berbahan X dan anjuran menolak konsumsi makanan jenis Y. Sedangkan di isu politik, pastilah kecenderungan untuk membela atau mendukung satu kubu akan memperpanas interaksi. Bahkan dari kasus Pilkada Jakarta yang lalu, terbukti memecah belah pertemanan. Ini semua memang tak termasuk kerugian materiil, tapi juga tak boleh dianggap remeh. Dikeluarkannya hukum ITE oleh kominfo harusnya mewanti-wanti warganet berhati-hati dengan jempolnya. Kecerobohan membagi informasi atau kemalasan membaca kini dapat berujung pada perkara pidana.

Mengapa ada hoaks dan bagaimana menanggapinya

Mempertanyakan mengapa topik hoaks kini begitu populer saat ini sama halnya bertanya mengapa ada penjajahan di zaman lampau. Setiap era pasti memiliki tantangan tersendiri.Jika dulu tantangan berada dalam level fisik melalui pendudukan bangsa lain, kini era itu telah luruh menjadi tantangan non-fisik. Terlebih dengan perkembangan teknologi informasi komunikasi. Alasan kehadirannyapun beragam, namun seringnya bermuara pada motif ekonomi. Belum lama ini telah tersingkap betapa suburnya industri penyebar kebohongan telah berkembang. Mereka membuat, merekayasa, dan menyebarkan konten yang dengan mudah memancing anggukan setuju tanpa mencari lebih dalam terlebih dulu.

Selain motif ekonomi saya melihat ada dua faktor lain yang tidak dapat dipungkiri telah menjadi sponsor tersebarnya informasi bohong. Pertama adalah minimnya minat baca. Seperti kita tahu, minat baca orang Indonesia memprihatinkan. Konon perbandingannya tak main-main, satu banding seribu. Artinya hanya ada satu orang Indonesia yang suka membaca per 1000 orang.

Minimnya minat khalayak terhadap in-depth-understanding telah membentuk sebuah mindset yang "mengerti ala kadarnya" bahkan parahnya "hanya membaca dari judul". Ketertarikan masyarakat pada topik tertentu difasilitasi kepada ketersediaan informasi yang praktis dan tidak memakan waktu lama untuk ditelan. Misalnya begini, ketika orang ramai-ramai bertengkar soal (lagi-lagi) pilkada Jakarta, mereka tak sadar ada isu-isu kritis lain yang juga menunggu sisi kritis mereka. Harus diakui memang sulit menemukan bahan bacaan yang sederhana (apalagi praktis) untuk topik perampasan lahan dan keadilan bagi kaum berkebutuhan khusus. Benar begitu?

Kemalasan atau --halusnya- keengganan membaca, membuat masyarakat melakukan seleksi topik secara sembrono. Asal sekali klik semua tersedia, mengapa harus memilih bahan rumit yang perlu berlembar-lembar referensi? Andai saja masyarakat kita lebih mau membaca dan tidak hanya terprovokasi pada gambar yang fenomenal.

Hal kedua adalah, kebencian. Ini adalah bensin ampuh tersebar luasnya berita tak benar. Algoritma sosial media sayangnya juga memfasilitasi hal ini. Ketika kita suka sesuatu maka Facebook advertising atau iklan pop-up akan hadir tanpa diminta. Hal tersebut akhirnya membuat seseorang yang sudah benci terhadap sesuatu akan semakin diberi makan konten-konten yang membenarkan kebenciannya. Alhasil, andai katapun dia suka membaca, namun dengan pikiran penuh kebencian, maka tetap saja informasi yang salah yang akan disebarkan. Itulah mengapa penting mengingat satu nasihat favorit saya dari Pramoedya Ananta Toer: "seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan."

Kaum terpelajar sudah mutlak harus menjernihkan pikirannya terhadap cinta ataupun kebencian berlebih. Keberpihakan itu pasti, namun menjadi adil itu tetap mutlak dibutuhkan.

Tentang hal ini, saya pernah melakukan survei sederhana melalui layanan pollingdi instagram untuk menanyakan manakah yang lebih berpengaruh terhadap tersebarnya hoaks: apakah kemalasan membaca atau rasa benci. Jawabannya lebih kepada kemalasan membaca. Saya sendiri berpikir bahwa kebencian lebih dominan berpengaruh. Entah yang mana lebih besar dari yang satunya, kita boleh yakin bahwa kemalasan dan kebencian tidak berbuah baik.

Perlunya memerangi hoaks dari hal kecil

Menilik perputaran informasi sebenarnya ada tiga pihak yang berperan sentral. Pertama pengguna sosial media, kedua adalah website itu sendiri, dan ketiga adalah orang-orang penghuni sosial media kita. Maka, mari kita berangkat dari masing-masingnya.

  • Terhadap Website: Skeptislah!

Facebook beberapa bulan lalu mempublikasikan beberapa poin anjuran untuk mewaspadai pemberitaan palsu. Saya rasa poin tersebut sangat relevan untuk kita mengerti. Namun di antara delapan poin yang ada, salah satu yang utama memastikan kredibilitas website atau portal tertentu. Lalu bagaimana cirinya portal yang tidak dapat dipercaya? Pertama, tidak berupa website resmi pemerintah atau lembaga kredibel. Kedua, kalimat judul cenderung provokatif dan isinya cenderung claiming tanpa data. Ketiga, ada unsur harapan (bahkan paksaan) untuk menyebar informasi itu.

Kita perlu skeptis sebelum mengangguk sepakat terhadap satu konten tertentu (apalagi memutuskan membaginya).

  • Terhadap diri kita sendiri: Bijaksanalah!

Baca boleh banyak, share secukupnya. Prinsipnya kerap sesederhana ini. Ketika kita bahkan belum yakin kredibilitas sebuah tulisan, atau ketika kita merasa sedang sangat emosional memihak sesuatu, maka itu adalah waktu yang paling tepat untuk menahan diri. Rajin membagi informasi yang seakan-akan baik dan oke menurut saya tidak serta-merta menjadikan kita orang yang paling tahu dan menjadi berguna. Menahan diri adalah kualitas penting di era keterbukaan dan kebebasan ini.

  • Terhadap orang-orang penghuni media sosial kita: Saringlah!

Mau tidak mau, penduduk media sosial kita berkontribusi terhadap bacaan apa yang kita akan kunyah setiap menatap gawai. Maka baiklah kita memilih siapa saja yang layak ada di linimasa atau cukup berteman di dunia nyata. Tak sedikit teman yang saya tegur hingga saya putuskan untuk unfriendatau unfollow(bahkan block) sebab ketidakmahiran mereka dalam memilih informasi yang dibagi. Namun di dunia nyata kami tetap teman baik tanpa ada yang berubah. Hal tersebut dapat kita pertimbangkan untuk memastikan linimasa kita diisi dengan hal yang berbobot dan terpercaya.

Catatan pentingnya adalah tindakan ini bukan ditujukan untuk mengeliminasi kawan yang berbeda pandangan. Justru baik menurut saya jika linimasa kita datang dari berbagai idealisme. Hal itu membuat kita tidak membabi buta membela atau membenci sesuatu tanpa melihat sisi seberang. Pertimbangannya bukan pada apa yang mereka percayai namun keterampilan mereka membagi informasi.

Secuplik Pengalaman -- Mengedukasi sekitar kita

Sebagai Guru secara khusus, apalagi pelajaran yang berkaitan dengan moral dan pendidikan Pancasila, dalam setiap kesempatan saya menyelipkan pesan kepada para murid agar lebih berhati-hati sebelum mengangguk sepakat pada sebuah konten dari internet. Di luar kelas, tak lupa saya melakukannya juga. Tanpa perlu marah-marah, berita bohong hanya perlu diresponi dengan kepala dingin, santun, dan informasi klarifikasi yang memadai.

Memerangi hoaks bagi saya samasekali bukan berbahan bakar kepentingan politik. Sebagai generasi (hampir) Z adalah menyebalkan nan menggemaskan ketika menemukan orang-orang menyebar informasi yang terindikasi kebohongan. Pertama, ketika Pokemon Go dirilis, saya dibuat geram bagaimana forum-forum dengan gencarnya membahas keburukan games tersebut. Alhasil, saya melakukan riset sederhana untuk membahas hal itu dan suprisingly dibaca oleh banyak orang. Belum lama ini, di grup whatsapp kumpulan Guru PKN ada seseorang yang membagi info yang belum tentu benar. Bahkan terlihat sekali aroma ketidakbenarannya. Alih-alih hanya marah, saya memberikan sumber kredibel yang menyanggah hal itu dan tak lupa diisi dengan himbauan untuk lebih hati-hati. Saya percaya kita semua punya peran untuk membenahi yang kurang baik. Kini tergantung kita mau menggunakan peran itu atau tidak.

 "we live in an unprecedented time with both the wonders and dangers of modern technologies." --Myron Williams

Sudah pasti media sosial adalah salah satu mediapenuh manfaat. Hoaks hanyalah satu virus yang sedang singgah, dan pasti tidak boleh didiamkan. Bukan untuk dihindari namun disikapi dengan bijaksana. Dibutuhkan lebih dari sekadar niat. Perlu ada tindakan, untuk membaca lebih banyak dan memutuskan dengan bijak. Enjoy Wonders, avoid dangers. Happy Scrolling!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun