Saya bisa dikata beruntung sebab menjadi salah satu dari 15 pendidik seantero Surabaya, yang dapat bergabung makan malam membicarakan soal kependidikan bersama mbak Ela dan belasa rekan lain yang juga memperkaya pandangan. Ditemani penne cream and tomato sauce dan japanese roasted tea (iye menunya gaya bingits ye), saya merekam baik-baik berbagai topik pembicaran yang dipagari dalam satu kata: "pendidikan. Dalam durasi sekitar tiga jam, beberapa hal ini yang paling berkesan dan melekat dalam ingatan.
- Mimpi yang terwujud adalah mimpi seorang Guru
Mendengar bahkan mereka ulang kalimat ini membuat saya terus merinding. Merasa bangga boleh mencicipi profesi ini. menurut mbak Ela, bukan mimpi Jokowi ataupun Kemendikbud yang akan tercapai namun mimpi para guru. Sederhana alasannya, sebab yang hari demi hari berhadapan dengan generasi penerus bangsa adalah guru. Kurikulum hanya strategi (yang kerap dianggap beban dan identik dengan perkara administrasi), namun esensi utama pendidikan akan digerakkan oleh mimpi para guru.Â
Apakah guru (hanya) bermimpi muridnya lulus ujian? Maka terjadilah seperti itu. Atau guru bermimpi muridnya menjadi orang yang berkarakter, bermanfaat, dan penuh daya juang? Maka itu pula yang akan terjadi.Jelaslah utopis untuk berkata bahwa 100% semua sempurna terealisasi, namun poinnya adalah mimpi guru akan menggerakkan tujuan durasi anak di sekolah. Dan saya rasa, itu benar sekali. Guru (dan orang tua murid) akan merugi jika berjam-jam kegiatan di sekolah hanya ditujukan untuk lulus ujian, pastilah sekolah menyimpan makna lebih dari itu.
- Tidak ada orang jahat yang ingin jadi guru
Mbak Ela yang telah melakukan banyak sekali riset menemukan satu fakta yang saya rasa sulit dibantah: tidak ada orang jahat yang ingin jadi guru. Maksudnya begini, rata-rata guru adalah orang baik yang memang sedari awal punya maksud yang juga baik. Terlepas ada beberapa pelanggaran dan kekejian, tidak ada orang jahat yang secara sadar penuh memilih menjadi seorang pendidik. Itulah mengapa, dengan modal kebaikan dan expertise di bidang masing-masing, akan sangat disayangkan jika guru tidak memanfaatkan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Di waktu yang sama, sadarkah kita banyak orang jahat yang jadi orang tua. Kesimpulan seorang ibu yang duduk di depan saya juga pantas direnungkan. Banyak sekali orang jahat yang tetap menjadi orang tua dan akhirnya asal-asalan. Tapi tidak dengan para guru, maka sudah sepatutnya guru berjuang giat penuh ketulusan.
- Kita bisa memilih, membangun dari kekuatan atau dari kelemahan
Kerap kali sebagai orang tua atau tenaga pengajar kita digemaskan lantaran tingkah remaja yang kita golongkan nakal. Kita fokus terhadap segala kekurangan lantas lupa bahwa individu tersebut juga memiliki kelebihan. Proses pendidikan akhirnya dapat memilih, hendak berfokus pada yang mana. Mengembangkan serta mengapresiasi bakat dan talenta, atau menyemangati sisi-sisi yang masih perlu dieksplor.
- Kemampuan reflektif mutlak dimiliki seorang pendidik
Kemampuan reflektif artinya bertanya terus dan terus mengapa seseorang butuh sekolah dan mengapa guru perlu mengajar. Selanjutnya, itu akan membentuk pola pengajaran yang berlangsung. Apakah semata menjejalkan sisi kognitif atau tak luput memperhatikan karakter. Saat membicarakan ini, beberapa dari kami termasuk saya sendiri membagi pandangan.Â
Setidaknya ada dua jawaban yang menjadi jawaban sentral: "mengapa perlu sekolah?". Pertama, membentuk pola pikir. Bahwa tidak semua rumus dalam matematika akan selalu aplikatif namun bagi rumus atau konsep dasar, siswa wajib memahaminya. Mbak Ela menambahkan jawaban dari guru senior itu dengan keterangan bahwa miskonsepsi sering terjadi dan membuat anak tidak didorong untuk mengusai sisi kognitif yang dasar, padahal begitu banyak pintu di dunia ini yang terlebih dulu dibukakan bagi yang memiliki penguasaan dasar yang memadai. Jawaban kedua, melatih etos kerja. Kegigihan bukanlah sesuatu yang lahir alami. Jika siswa menyerah karena tugas, maka siapa bisa menjamin dia akan berupaya keras terhadap bisnisnya kelak? Sekolah menjadi ladang pelatihan yang subur.
Kita tidak bisa menggunakan pola pikir pragmatis bahwa semua ilmu di sekolah harus terpakai semuanya. Tapi cara pikir atau logika dasar serta etos kerja ampuh ditanamkan di jenjang sekolah.
- Membentuk hubungan berlandaskan kepercayaan
Guru dan orang tua, rasanya ini seperti love-hate relationship. Sering sekali keluhan muncul. Dari sisi guru terhadap orang tua, vice versa. Namun saya diingatkan bahwa relasi guru dan orang tua haruslah berbahan bakar kepercayaan. Orang tua percaya bahwa gurunya mumpuni dalam mengajar dan membimbing, dan gurupun sedia memahami segala kecemasan dan ekspektasi sebagai orang tua. Rasa saling percaya akan meminimalkan konflik atau setidaknya membuat relasi berkembang dalam bentuk yang sehat. Bukan menyetir-disetir.
- Produk berhasil atau gagalnya pendidikan di masa lampau
Fakta lain yang mmebuat saya manggut-manggut sepakat adalah, temuan bahwa rata-rata guru adalah bentukan yang berhasil dari pola pendidikan masa lampau. Unik, mendapati fakta ini. hal ini menjelaskan mengapa sebagian besar guru enggan berbenah memikirkan cara jitu dan mukhtahir dalam mengajar, sebab seakdan ada stigma "aku dulu diajari dengan cara gini, juga berhasil aja kok".Â
Nah! Itulah mengapa model pembelajaran lama terus lestari, sebab banyak produk berhasil di masa lampau. Guru-guru demikian (mungkin saya juga seikit banyak) melupakan konteks jaman. Bagaimana selera generasi Z atau perkembangan teknologi. Dan di sisi seberang, produk "gagal" yang kini menjadi guru justru sedemikian rupa mencari cara agar proses belajar di kelas dapat efektif.
- Menyenangkan. Dan Bermakna.
Poin terakhir yang sebenarnya ada di bagian awal diskusi seru ini adalah soal makna. Mbak Ela menyinggung bagaimana beberapa guru begitu bersikeras membuat proses yang menyenangkan. Membuat siswa tertawa dan gembira namun seusai jam pelajara, para siswa tidak tahu persis apa yang dipelajari. Saya rasa penting diingat bahwa pendidikan tidak ditujukan sebagai area komedi.Â
Membuat siswa bergembira itu penting. Apalagi di usia dini. Namun, memfokuskan energi hanya untuk bersenang-senang itu kurang tepat. Siswa membutuhkan ilmu, membutuhkan lingkungan dan sosok yang membentuk kepribadiannya. Pendidikan sudah sepatutnya tentang dua hal ini: menyenangkan dan bermakna.
 ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H