Mohon tunggu...
Claudya Elleossa
Claudya Elleossa Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pencerita

Seorang ASN dan ibu, yang sesekali mengisi pelatihan menulis dan ragam topik lainnya. Bisa diajak berinteraksi melalui IG @disiniclau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apa Perlu Sakit Hati Jika Tulisan Kita Diambil Lalu Begitu Saja?

10 September 2017   09:14 Diperbarui: 11 September 2017   03:08 2945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Beberapa waktu lalu saya menulis dengan geram soal kebiasaan kekinian beberapa orang yang saya kenal. Mereka yang doyan sekali merekam segala sesuatu yang sedang terjadi di sekitarnya. Bagi saya, itu hal yang aneh sekaligus menjengkelkan. Setelah tulisan publish, saya bagi tautannya ke beberapa group chat yang memang diisi oleh orang-orang yang memiliki kebiasaan serupa. Sayangnya, respon mereka mengecewakan. Mereka tetap mereka, yang berpandangan bahwa mengabadikan melalui kamera itu penting, bahwa eksistensi dunia maya itu perlu.

Di lain waktu, ketika berbincang sejenak dengan teman tentang satu  benda yang ingin saya beli, dia memberikan pandangan lalu diakhiri dengan : "just my two cent". Walau topiknya saat itu adalah pemilihan helm, status "pengajar bahasa Inggris" membuat saya langsung berasumsi bahwa kalimat itu adalah sebuah idiom. Sayangnya pengetahuan saya soal idiom tunggal pada kalimat: "when life gives you a lemon".

Setelah saya cek di teman guru bahasa Inggris yang lain, kalimat itu persis seperti dugaan. Sebuah idiom.

Urban dictionary mencatatnya kira-kira begini:

"sebuah komentar yang tidak terlalu penting atau signifikan yang diberikan kepada ornag lain terhadap satu topik khusus. Bukan berdasarkan jaminan bahwa pendapat itu benar, namun lebih karena sang pemberi komentar merasa perlu untuk menyampaikan".

Nah kembali pada kasus opini saya (yang suprisinglyjadi most views artikel saat itu) soal kecanduan orang jaman sekarang untuk merekam dan memposting segala sesuatu, saya sadar bahwa ada kalanya saya harus berkata "just my two cents". Bukan, bukan kemudian sesekali menganggap opini saya tidak penting, tapi belajar menerima bahwa: tidak semua orang akan sepakat dengan apa yang saya pikirkan, dan itu tidak masalah; tidak semua pendapat saya akan disambut baik apalagi signifikan mengubah kebiasaan tertentu, dan sekali lagi itu tidak masalah.

Berkarya di dunia menulis hampir tepat dua tahun ini, saya melihat ada beragam respon yang hadir. Saya yakin penulis lepas lain sedikit banyak mengalamaninya. Dari yang lekas membagi karya kita karena merasa relevan, sekadar memuji atau menjadikannya bahan diskusi, diam-diam membaca atau justru pura-pura tidak tahu, hingga mendebat dan membuat sanggahan. Respon itu bukan hal baru. Maka satu pengabaian bukanlah alasan untuk menjadi jera. Sayangnya, kadang kita mendewakan opini kita sendiri. 

Kita beranggapan bahwa walaupun kita tidak sempurna, opini kita paling relevan bagi semua orang (atau setidaknya bagi orang-orang yang secara khusus kita singgung di dalam tulisan). Tentang bagaimana menilai depresi, tentang bagaimana menghidupi passion, tentang tolak ukur nasionalisme, tentang standard kerohanian, hingga segala tetek bengek lainnya.

Teman saya yang sangat pro dalam dunia otomatif saat itu masih saja menyematkan kalimat "just my two cents" terhadap topik yang jelas ia kuasai, maka rasanya kita harus malu kalau kita mencela atau mungkin sekadar berpikir negatif terhadap orang lain yang tidak mengikuti pendapat kita. Padahal kita, seorang ahlipun bukan.

Selain itu kita mustinya sadar betul bahwa kadang hidup ini terlalu mengerikan untuk dipisahkan berdasarkan benar dan salah. Kadang, kita hanya berbeda. Berbeda dalam berpakaian, berbeda dalam menggunakan sosial media, dan berbagai perbedaan lain yang semua sifatnya selera. Menjadi bahaya dan menimbulkan banyak sekali masalah, jika kita memutlakkan hal-hal terkait "cara".

Seketika teman yang membuat saya gerah hingga menulis "Be Present, people" itu melakukan ulang kebiasaannya, dengan posisi sudah membaca artikel tersebut, saya diingatkan prinsip di awal-awal saya memulai aktif menulis: "hakikat berkarya adalah berbagi dan aktualisasi diri". Setidaknya itu membuat kita tidak gampang baperhanya karena opini kita dianggap lalu, atau tidak mudah ngambek ketika kompasiana tidak menjadikan tulisan kita sebagai pilihan (oops). Kalaupun karya itu tidak mengubah siapapun, setidaknya karya itu telah membentuk sang penulis sendiri.

Memang penting untuk terus menegaskan ke diri sendiri untuk tidak menjadi hakim.

"Stop insist on playing God" --Sarayu, film The Shack.

Kini setiap selesai menulis sesuatu, saya masih sangat berharap tulisan itu membahwa dampak yang baik. Sembari itu, saya mengingatkan diri bahwa karya tersebut bukanlah alat justifikasi sikap orang lain. Saya berbagi, kalaupun saya sedang mengoreksi dan mengkritik sebuah tindakan, saya akan ingat baik-baik bahwa adalah bonus jika ada orang lain yang berubah melalui karya kita. Dan kita tahu, bonus tidak hadir setiap waktu.

Menganggap penting opini dan karya, bagi saya secara personal sifatnya mutlak. Tapi menyadari bahwa pendapat kita bukanlah sebuah indikator menilai tindakan, adalah semacam kedewasaan relasional.

Dan kita tahu, untuk berdiri di persimpangan antara sebuah prinsip personal dan toleransi relasional, bukanlah hal mudah. 

Selamat mencoba.

Just my Two Cents.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun