“jangan lupa bahagia” sering sekali saya temui kalimat ini di caption sebuah foto instagram. Kemungkinannya ada dua. Pertama, dia sedang bahagia walau mungkin ada beberapa masalah hadir sehingga ia ingin menyemangati orang lain pula. Kedua, dia kebingungan mencari caption kece yang bisa relevan terhadap banyak hidup orang lain sehingga akhirnya likes dapat laris diraih.
Namun, terlepas dari apa motifnya saya percaya bahwa bahagia itu memang sederhana. Misalnya, meneguk kopi di saat hari mulai penat, atau menghirup udara pagi yang sejuk dan segar. Hal-hal sederhana kerap jadi sponsor bahagia membuncah. Menyadari bahwa hal kecil di keseharian mengingatkan kita akan rasa cukup. Jika dirangkum, semua itu tentang “apa yang kita terima”. Sayangnya ketika penghayatan hanya berhenti di titik itu, akan ada versi bahagia lain yang kita lewatkan. Sebuah versi bahagia yang berkonsep “apa yang kita beri”.
Dua hari ini, secara sederhana semesta mengajarkan petuah bahwa “membahagiakan orang lain juga sederhana”.
Kemarin tepatnya, sesuai latihan drama, di depan sebuah gedung saya menunggu ojek online tiba. Muka lepek dan ambut acak-acakan mewakili kebutuhan utama saya malam itu: rebah di tempat tidur. Lalu tanpa diduga, seorang senior yang sudah lama tidak saya temui, menampakkan diri. Saya menyapanya dan kami berbincang singkat. Dia kemudian berpamit dan mengakhiri percakapan dengan celetukan pujian kecil. Tatapan matanya menyiratkan kesungguhan, atau setidaknya mencerminkan hati jernih yang terbiasa mengapresiasi. Ajaib! Segala lelah dan lesu musnah atau sekedar bersembunyi sejenak. Tubuh dan wajah saya merona penuh senyum. Energi seakan diisi ulang. Itulah keajaiban keta-kata, dapat menjadi tikaman pedang yang melukai namun dapat pula menjadi obat yang memulihkan. Semua tergantung kita.
Malam itu saya berbaring dengan raga yang super lelah namun dengan satu pemikiran menyenangkan: ternyata mudah membuat orang bahagia.
Esok pagi datang dengan segala misteri tentang apa yang akan terjadi sepanjang hari. Pagi yang tanpa aroma masakan mama sebab saya sedang tidak di rumah. Semua yang terjadi di antara hirup nafas dan langkah kaki, berlangsung biasa saja. Hingga di siang yang terik kota pahlawan, seorang kawan mengajak untuk datang ke sebuah panti werda. Tujuannya adalah survey dan meminta ijin kegiatan bulan depan. Melihat jadwal hari ini yang memang tidak terisi kegiatan khusus, sayapun segera menggangguk tanda keikutsertaan.
Panti werda itu punya bangunan yang menarik. Pemerintah Surabaya bahkan menjadikan itu sebagai panti di daerah undaan itu sebagai satu Cagar Budaya. Ada 18 lansia disana. 15 oma dan 3 opa. Semua sumringah ketika kami menghampiri satu per satu. Pertanyaan ringan dari kami seperti “Oma lagi pengen atau butuh apa?” membuat jawaban mereka dihantarkan dengan senyum bahkan gelak tawa kecil. Sesekali mereka yang bertanya kepada kami. Tidak ada bingkisan samasekali yang kami bawa siang itu, hanya niat tulus untuk satu hal: menyediakan waktu dan telinga.
Golongan orang yang merugi justru mereka yang terus menyematkan kata “nanti” untuk mulai membahagiakan orang lain (bahkan dirinya sendiri).
“nanti aku sempatkan waktu.”
“nanti jika ada komisi lebih dari bos.”
Ada banyak sekali cara yang bisa kita lakukan, bukan saja untuk sekadar merasa bahagia namun juga membahagiakan. Toh akhirnya, kala kita membahagiakan orang lain, kita juga senang menabung alasan bahagia dan syukur di hidup kita sendiri.
Saya ingin menutup kontemplasi minggu pagi ini dengan kutipan dari kritikus film professional Roger Ebert yang dikemas apik oleh Zenpencils:
“To make others less happy is a crime. To make ourselves unhappy is where all crime starts. We must try to contribute joy to the world, no matter our circumstances.”
Selamat membahagiakan diri sendiri dan orang lain dengan cara sederhana. Bukan dimulai esok, tapi hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H