Mohon tunggu...
Claudya Elleossa
Claudya Elleossa Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pencerita

Seorang ASN dan ibu, yang sesekali mengisi pelatihan menulis dan ragam topik lainnya. Bisa diajak berinteraksi melalui IG @disiniclau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Butuh Penghayatan yang Setara, Saat Kita Menerima Seperti Saat kita Memberi

4 Maret 2017   22:21 Diperbarui: 5 Maret 2017   20:00 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di ruang tunggu sebuah bengkel, saya bertemu orang tua dari murid saya dua tahun lalu. Kami bercengkrama sembari menunggu motor kami diservis. Walau saya datang awal, motornya ternyata selesai lebih dulu. Wajar saja, saat itu motor putih saya memang sedang mengalami komplikasi. Dari spidometer yang rusak, rem yang tak lagi cakram, hingga tarikan yang kasar. Ibu dengan penampilan sederhana itu melangkahkan kaki ke kasir kemudian berpamit. Kami saling melemparkan senyum. Giliran saya tiba. Derap kaki saya ke kasir agak berat mengingat tagihan yang membengkak karena komplikasi tersebut. Di hadapan bapak pemilik bengkel saya siap dengan dompet. Namun bapak dengan kumis garang itu melemparkan senyum seraya mengatakan bahwa tagihan saya telah lunas. Saya terkejut, ternyata mama dari (mantan) murid saya itulah yang telah menraktir ongkos servis motor. Senang, kaget, dan sungkan bercampur jadi satu. Bapak pemilik bengkel lantas menyambung ucapnya, saya kuatir dia akan berkata “cuma bercanda”, namun untungnya tidak. Dia dengan logat Suroboyo-nya justru mengatakan sesuatu yang saya akan ingat seumur hidup: “wajar kamu dibayari, tapi nanti kalau kamu sudah mapan kamu akan gantian bayari orang seusiamu sekarang”.

Dengan selisih waktu yang cukup jauh, hal serupa terjadi. Akibat keteledoran, saya bersama tim lupa memasukkan suatu keperluan di anggaran dana organisasi. Sayangnya benda itu tak tergolong murah untuk kami –para pemuda kere- usahakan secara mandiri. Kami hampir saja ingin merengek dan memelas ke ketua yayasan, namun keajaiban terjadi. Seorang donator yang enggan menyebutkan nama menyumbang sejumlah persis yang kami butuhkan. Ketua yayasan kami sontak tersenyum lalu berkata “kelak kalau ada anggota organisasi teledor namun sungguh membutuhkan, kalian akan ingat dan tahu apa yang harus kalian lakukan”.

Terakhir, malam ini.

Ada seorang senior saya dalam dunia menulis. Kebetulan dia juga seorang kompasianer. Kami sama-sama sudah ter-verivikasi *ciee. Bedanya, dia biru dan saya (masih) hijau *fiuh. Sudah sering saya terheran dengan sosoknya yang mau saja menjawab setiap bawel pertanyaan saya soal menulis. Tak tanggung, dia bahkan menyemangati, memberi tips, hingga memberi tantangan tertentu agar keterampilan saya terus diasah. Lalu malam ini, saya - yang tak tahu diri ini - kembali merepotinya. Untuk kegiatan tertentu saya harus pergi ke kota tempat dia tinggal, sayapun meminta tolong dicarikan guest houseterjangkau dan dekat dengan lokasi kegiatan. Siapa sangka dia justru menawarkan rumahnya sendiri. “Ini tawaran istri saya, kamu bisa tidur sekamar dengan putri kami,” begitu ungkapnya menjelaskan. Saya terdiam penuh sukacita. Bukan hanya soal penghematan biaya, namun juga karena diteguhkan terhadap repetisi pesan dua peristiwa sebelumnya.

Kata orang, adalah lebih baik memberi daripada menerima. Terlepas dari kadar sepakat atau tidak, kita memang secara tersamar telah didoktrin untuk mengecilkan kegiatan ‘menerima’ namun mengagungkan aktivitas ‘memberi’. Padahal, jika kita mau renungkan sejenak, pemaknaan yang tepat akan tindakan menerima itu akan memurnikan motivasi kala memberi. Saya meyakini hal tersebut. Itulah mengapa, menurut saya kita membutuhkan penghayatan yang sama atas kegiatan memberi ataupun menerima. Hanya orang yang besar hati yang sanggup mengakui dia butuh menerima bantuan, dia tidak segan atau gengsi, namun di saat itu dia tahu betul dia sedang berhutang sesuatu.

Dengan menghayati kebaikan yang kita terima, kita sedang disemangati dan memacu diri untuk melakukan yang serupa. Pay it forward kalau istilah kerennya. Meneruskan kebaikan kepada orang lain dan menjadikan kebaikan tersebut terus menyebar.

Ini sebenarnya berawal dari hukum tabur tuai yang dikenal dalam berbagai agama dan kebudayaan. Kita ditanamkan keyakinan bahwa benih yang baik akan menghasilkan panenan yang baik, dan sebaliknya pula. Anggapan itu menyemangati kita untuk menabur sebanyak mungkin benih kebaikan.Kita dapat yakin bahwa suatu hari kita akan menuai hasilnya. Hasil yang baik. Hasil yang tidak mengecewakan.

 Tiga cerita soal benih kebaikan diawal cerita ini membuat saya makin mantab dengan kebenaran bahwa benih kebaikan itu tidak akan terbuang percuma, terlepas jika orang yang menerima benih itu tidak dapat memberikan balas budi yang memadai secara langsung.

Tiga kebaikan itu pula telah menyemangati saya untuk bekerja keras. Sehingga kelak, saya mampu menyokong kegiatan organisasi, menraktir seorang pemuda akan ongkos tertentu, dan memberi tumpangan. Semuanya dimulai karena saya telah menerima itu terlebih dulu.

Source: Pexels
Source: Pexels

Kita tidak bisa memastikan dari siapa tuaian itu, seberapa subur benih itu, semanis apa buahnya, dan seberapa banyak panenannya. Bukan bagian kita untuk menebak apalagi mengatur, bagian kita adalah menggerakkan tangan terus untuk menabur benih baik. Toh sebenarnya kita tidak murni sedang menyemai benih, kadang kita hanya sekedar meneruskan benih itu dari seseorang ke orang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun