"Aku tau ini semua adalah kesia-siaan. tapi Tuhan, raja tua ini juga ingin merasa bangga akan dirinya sendiri" -Alkemis, Paulo Coelho.
Entah sudah berapa malam, resah menggelayut. "sudah berapa website ya" tanya saya dalam hati. Berulang dan berulang memastikan jumlah pasti. Akhirnya di penghujung tahun lalu, saya merayakan selebrasi kecil atas terpenuhinya target pribadi. Sepuluh portal telah genap saya isi dalam kurun waktu satu setengah tahun. Bukan hal yang besar bagi sebagian orang yang sudah ulung dan terlampau cakap, namun bagi saya yang amatir ini, mendapati tulisan telah beredar di berbagai linimasa adalah kebanggaan sendiri.
Jika saya diberi hak untuk melakukan parafrase terhadap BEYOND BLOGGING, maka saya akan menggunakan dua kata sebagai padanannya "SELF-IMPROVEMENT".
Saat ini saya melihat bahwa kemudahan arus informasi bukan hanya memberikan ruang untuk unjuk eksistensi, namun lebih dari itu. Menyediakan sebuah ruang kondusif untuk didengar dan mendengar opini orang lain, termasuk untuk terus menantang diri. Ketika target pribadi nan fana ini tercetuskan, sebenarnya ada sebuah niat penuh keingintahuan untuk menjelajah. Saya melakukan komparasi dan belajar mengenal karakter masing-masing portal.
Sependek yang saya jalani, tak semua perkara mulus. Suatu ketika sore sekita mendung dalam perspektif saya kala menyadari bahwa saya menjadi korban plagiasi. Ampas kopi hitam masih kalah pahit dibandingkan melihat karya kita noktah demi noktah berlabelkan nama orang lain. Di lain kesempatan, sayapun boleh mencicipi manis rupiah-yang-tak-seberapa juga dari rangkai kata. Belum lagi ketika ada orang yang penuh ketulusan mengapresiasi dan berkata “ini bagus”. Bukankah dengan itu saja sebenarnya seorang penulis amatir sudah puas? Tapi ternyata, kita tak puas! Kita terus memacu diri dalam cipta karya. Sebuah manifestasi tepat bahwa blogging adalah jalur sakti menyemangati diri.
ADA PERGESERAN BERMAKNA. Dulu menulis dalam konteks blog tak ubahnya diary digital. Namun siapa sangka ruang diary itu telah disulap menjadi ruang publik yang tak berdinding.
Para penulis generasi Y dan Z, yang amatir terutama, berhutang budi dengan segala fasilitas ini. Tanpa berbayar dan tanpa menunggu terlalu lama untuk moderasi, kita dapat menemukan tulisan kita terpampang. Belum lagi fitur penghitung jumlah tayang, yang membuat deret angka rupiah tak menjadi penyemangat tunggal.
Ada berbagai imbalan yang diberikan oleh sebuah portal terhadap tulisan yang terbit.Pertama adalah komunitas. Setelah artikel kita terbit, tak lama sebuah undangan grup whatsapp akan hadir. Disana terjadi pertukaran ilmu dan informasi yang menurut saya semahal harga kursus menulis intensif. Kedua, rupiah. Jelas, beberapa situs sangat loyal terhadap penulisnya. Saya tidak mau menyinggung portal apa, namun portal tersebut mencuri kekaguman saya. Mengapa? Idealisme yang terjaga untuk membatasi jumlah postingan dan harus melewati tahap moderasi serius sebelum tayang. Seorang senior saya yang memang kompasianer dan blogger kawakan bahkan sempat berujar bahwa portal semacam itu kemungkinan besar dibangun dari pondasi pengalaman para penulis yang dulunya tidak diapresiasi samasekali. Ketiga, pengakuan. Jika komunitas bahkan rupiahpun tak didapat, masih ada satu bentuk apresiasi lain. Sebuah pengakuan yang tak perlu kikuk untuk dimasukkan dalam daftar portofolio.
Ketika dunia menjadi datar seperti Teori dari Friedman, blogging menjadi satu opsi untuk terus menantang diri. Bukan lagi curhat, tapi beropini. Melatih keterampilan menulis yang ternyata semakin diperhitungkan sebagai keahlian bergengsi.
Itulah mengapa, blogging adalah genre seksi bagi kaum millenials dalam memperkaya diri.
Jadi, kapan mau mulai nulis?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H