Mohon tunggu...
Claudya Elleossa
Claudya Elleossa Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pencerita

Seorang ASN dan ibu, yang sesekali mengisi pelatihan menulis dan ragam topik lainnya. Bisa diajak berinteraksi melalui IG @disiniclau

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jika Hewan Bisa Memilih, Mereka Tidak Akan Memilih Indonesia

2 Juni 2016   13:00 Diperbarui: 2 Juni 2016   20:31 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mulai dari awal bulan April hingga saat ini, sosial media dipenuhi berita menyedihkan soal kehidupan satwa di berbagai lokasi di Indonesia. Satu yang paling baru adalah kabar kematian gajah Yani. Usianya baru 34 tahun, relatif muda untuk perhitungan usia gajah yang rata-rata dapat mencapai 60-70 tahun. 

Kondisi kritis gajah Yani dimulai dari adanya  gangguan di paru-paru, namun yang menjadi sorotan adalah tindakan dari tim medis kebun binatang Bandung –tempat gajah Yani berada. Sempat tersebar gambar dan kabar yang menunjukkan bahwa di penghujung umurnya, gajah Yani yang semakin kurus hanya tergeletak di bawah tenda. Tidak ada penanganan serius. Parahnya, ternyata kebun binatang itu dalam kondisi nihil dokter hewan.

Mundur ke belakang, ada deretan kisah pilu lain. Kasus penganiayaan anjing hitam yang dianggap sebagai jelmaan babi ngepet, adalah salah satunya. Tidak tanggung-tanggung kejadian dini hari di Bekasi pada 2 April itu hampir saja sampai pada tindakan pembunuhan. 

Beberapa manusia ada di tahap sekejam itu rupanya, hingga hewan yang atas rasa sakitnya mereka tidak mendapat keuntungan apa-apa, menjadi sasaran kepicikan yang membabi buta. Terlepas dari pandangan agama, perlakuan penganiayaan agaknya tetap tidak dapat dibenarkan. Mengusir, harusnya sudah cukup.

Fakta lain yang menyusul adalah kabar matinya badak Sumatera satu-satunya di Kalimantan yang diduga diakibatkan infeksi karat besi yang sempat mencengkram kakinya. Sesuai data dari WWF (World Wildlife Fund) populasi badak Sumatera bahkan tidak lagi mencapai 100 ekor, sehingga kabar soal Najaq –sebutan untuk badak tersebut, adalah berita duka yang besar.

(sumber gambar: www.greeners.co)
(sumber gambar: www.greeners.co)
Tidak selang lama, di dunia maya lewat akun Ucuy Wali ditunjukkan seekor anak gajah yang tergeletak tewas di pinggiran sungai. Di foto yang diunggahnya di facebook itu diberikan keterangan bahwa insiden itu tidak lain berkaitan dengan pembukaan lahan untuk kebun sawit di Leuser Aceh. 

Beberapa selebriti tanah air turut mendobrak penyebarluasan kabar ini. Kedatangan artis Hollywood papan atas, Leonardo DeCaprio, beberapa waktu lalu agaknya belum menampakkan taring.

gajah-leuser-574fc5cc2d7a61fb044577af.jpg
gajah-leuser-574fc5cc2d7a61fb044577af.jpg
Pertengahan bulan April, para pemerhati lingkungan digembirakan dengan rilisnya laporan dan data memadai dari WWF. Dirjen dari organisasi tersebut menyatakan bahwa populasi harimau dunia sedang naik. 

Sayangnya peningkatan itu tidak berlaku di tiga negara, dan Indonesia menjadi salah satunya. Kala ada sinyal positif soal pelestarian harimau di dunia, kondisi di Indonesia justru sebaliknya

Masih soal harimau, di awal bulan Mei kita dikagetkan dengan kabar soal korupsi uang jatah makan harimau. Seorang penjaga kebun binatang di Yogyakarta menjadi sorotan publik karena membiarkan seekor harimau kelaparan. Setelah diselidiki, ditemukan penjelasan bahwa uang yang menjadi jatah membeli pangan si harimau dialihkan untuk uang muka kredit mobil. Miris. 

Kita juga sempat digegerkan dengan sebuah video amatir yang diambil di sebuah kebun binatang. Di video singkat tersebut, terekam peristiwa seekor singa untuk terus dipaksa terjaga demi diajak foto oleh para pengunjung. Waktu istirahat pun seakan hanyalah formalitas Standar Operasional. Jika membahas soal motif, maka keuntungan bisnis banyak menjadi dalang dari berbagai kejadian tragis. 

Tak jauh berbeda dengan rekaman video investigasi sekitar dua tahun lalu tentang perlakuan kejam dari pihak manajemen sirkus terhadap lumba-lumba. Masih banyak pihak tidak bertanggungjawab yang ingin melanggengkan bisnis biadab beromzet besar itu. 

Perlakuan keji terhadap lumba-lumba setidaknya menyangkut tiga hal: mekanisme pengangkutan, durasi untuk melakukan atraksi menghibur, dan cara-cara pelatihan. Semuanya tidak mematuhi aturan internasional. Kepedulian akan nasib hewan seakan tidaklah penting jika dibandingkan raupan rupiah yang akan didapat.

SEKILAS SOAL ANIMAL WELFARE

Jika satwa memiliki kesempatan dan akal untuk memilih sebuah habitat, maka kemungkinan besar Indonesia akan menjadi pilihan kurang favorit. Bagaimana tidak, jika masih banyak berkeliaran cara pandang yang menyedihkan. 

Rangkaian kejadian itu mempertegas fakta bahwa masyarakat umum di negara ini masih kurang teredukasi, baik soal perlindungan satwa liar secara khusus dan perlakuan yang pantas pada segala hewan secara umum. Istilah Animal Welfare mungkin belum benar-benar diinternalisasi oleh masyarakat luas kecuali yang bergerak di bidang serupa.

Menurut Patti Strand, Presiden dari National Animal Interest Alliance, istilah animal welfare mengarah pada relasi erat yang harmonis antara manusia dengan binatang. Hal tersebut sepaket dengan kewajiban untuk memperlakukan dengan tanggung jawab. 

Isu animal welfare kadang dikonotasikan dengan semakin meningkatnya awareness masyarakat di era globalisasi, padahal lima poin kebebasan soal kesejahteraan hewan sudah ada sejak tahun 1965 tepatnya dimulai di UK. Lima poin itu menyangkut; freedom from hunger and thirst, freedom from discomfort, freedom from pain, freedom to express normal behavior, and freedom from fear and distress. Beberapa kejadian di Indonesia membuktikan bahwa masyarakat belum cukup peduli untuk memenuhi kelima hal tersebut.

Harus ada pembenaran cara pandang. Menjadi manusia yang peduli terhadap isu animal welfare tidak serta merta mengharamkan kita mengambil keuntungan dari keberadaan pada satwa. 

Perlu diketahui bahwa ada beberapa golongan ekstrim yang mengedepankan hak hewan sehingga tidak membenarkan semua perlakuan pengambilan manfaat, bahkan menjadikan beberapa hewan ternak sebagai bahan pangan. Isu animal welfare berbeda dengan istilah animal right.Keduanya memang sering tumpang tindih, namun animal welfare lebih merujuk pada tata cara yang tepat dalam perlakuan terhadap segala hewan.

Kala menuliskan setiap paragraf disini, saya dibawa pada memori saat seorang murid saya yang masih SD dengan polosnya bertanya:

miss, jika gajah mati, apakah Tuhan akan menangis?”

Saya tidak tahu jawaban yang tepat berdasarkan teologi tertentu, namun satu yang saya yakini adalah: cara kita memperlakukan makhluk ciptaan Tuhan yang lain mencerminkan penghormatan kita akan Pencipta itu sendiri.

Mahatma Gandhi, seorang tokoh kemanusiaan ternama, pernah mengeluarkan sebuah pernyataan penting: “kualitas moral suatu bangsa dapat dinilai dari bagaimana masyarakatnya memperlakukan satwanya.” Saya sepakat. 

Dibutuhkan sebuah dasar moral untuk dapat memilih tindakan yang layak. Indonesia memang dianugerahkan kekayaan alam yang begitu melimpah, namun jika nalar melulu soal untung rugi maka semua itu nantinya juga akan menjadi sejarah bagi generasi yang akan datang. 

(sumber gambar: www.izquotes.com)
(sumber gambar: www.izquotes.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun