Mohon tunggu...
Mbak El
Mbak El Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga, blogger, produsen nugget sayur homemade -

Ibu rumah tangga yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Evakuasi: 40 jam Libya-Tunisia

2 Maret 2011   11:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:08 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumat 25 February 2011

Sekitar jam 10 pagi waktu Tripoli aku bersama 17 orang mahasiswa lain sudah siap berada di depan kampus. Pagi ini aku akan mengambil ijazah SMA dan paspor yang disimpan pihak kampus. Di kampusku paspor dan ijazah harus dititipkan ke idarah (administrasi), dan sebagai ganti kami memiliki bithoqoh (kartu mahasiswa) yang berfungsi sebagai tanda pengenal.

Kampusku bernaung dibawah yayasan milik mertua Qadafi, yayasan yang memiliki cabang di banyak Negara-negara Islam salah satunya Indonesia. Yayasan ini bernama WICS (World Islamic Call Society). Di Libya WICS sangat dikenal dan disegani karena berada dibawah Qadafi langsung. Kampus-kampus lain pun sebagian besar milik pemerintah, beberapa yang kutahu namanya seperti Al-Fatih, jamiah Nashir dan Akademia Dirasat Ulya. Kampus swasta yang ada pun tidak memiliki otonomi penuh, tetap berada dibawah kendali pemerintah. Untuk orang-orag asing seperti kami terpusat di satu kampus bernama Kulliyah Dakwah Islamiyah (The Faculty of Islamic Call).

Setelah mendapatkan paspor dan ijazah kami bertolak menuju bandara Tripoli. Sepanjang jalan yang kutemui banyak orang-orang ajnabi (imigran)yang bertujuan sama dengan kami: Eksodus keluar Libya. Banyak tentara bersenjata berjaga-jaga di setiap lampu merah. Pertama kali aku melihat senjata api, senapan laras panjang dengan pisau di ujungnya. Entah tipe berapa dan model apa. Tank perang dengan moncong yang siap menembak pun ada. Suasana Tripoli memang belum mencekam bila dibandingkan Banghazi, tapi buatku yang belum pernah melihat itu sebelumnya, cukup menakutkan.

Sekitar jam 12 siang kami sampai bandara. Ribuan orang dan barang menumpuk. Dari wajahnya sepertinya imigran Mesir, Tunisia, Aljazair dan beberapa Negara arab lain. Mereka sudah berhari-hari disitu, mengantre. Berbekal selimut sebagai penahan dingin. Libya baru memasuki musim semi, dan hujanbisa turun setiap hari, ditambah angin kencang yang semakin menambah buruk keadaan. Bisa dibayangkan ribuan orang berhari-hari terjebak dalam antrean, campur baur kotoran manusia, angin dan hujan, kadang terik matahari menyengat, tak ada air dan makanan hanya bentakan dan pukulan dari tentara, sesekali tembakan keatas jika mereka ribut dan tak menurut.

Orang-orang itu hanya berbekal paspor. Mereka belum punya tiket, karena tiket hanya dijual didalam. Permainan uang sudah menggila. Tiket regular naik berkali-kali lipat. Siapa yang banyak uang dia yang bisa terbang.

Kami menunggu seharian diluar bandara. Kepanikan membuat kami tak bisa berpikir panjang saat seorang tentara bernama Abdullah menginformasikan bahwa semua barang elektronik tidak bisa dibawa masuk. Pilihannya hanya dua: siap disita atau ditinggal. Akhirnya seorang staff KBRI Tripoli yang saat itu mendampingi kami mengambil inisiatif agar kami menitipkan barang-barang elektronik kami seperti laptop, handphone, dan kamera ke KBRI.

Kami baru bisa masuk bandara sekitar jam 7 malam. Cuaca semakin dingin. Kulihat ada seorang imigran berteriak-teriak dan meronta. Mungkin dia stress dan psikologisnya sedikit terganggu melihat semua kejadian di bandara. Diruang tunggu bawah kami harus menunggu lagi. Kami yang berjumlah 260 orang terdiri dari karyawan PT. Wijaya Karya, mahasiswa, TKW dan beberapa karyawan Pertamina terpecah. Kelompok terakhir baru bisa masuk menjelang tengah malam.

Sabtu 26 February 2011

Dini hari semua rombongan baru bisa masuk. Kondisi lelah, lapar dan haus membuat kami tidak peduli lagi dengan harga diri. Kami meminta-minta makanan kepada rombongan Negara lain yang siap boarding. Bahkan kami harus minum air kamar mandi untuk bertahan hidup. Keadaan ini berlangsung sampai paginya. Kami tidur menggelesot di lantai, dingin tentu saja. Tapi kami tak peduli. Kami lelah, lapar dan dehidrasi.

Pagi sekitar pukul 9 pak Bimo manajer WIKA mengambil inisiatif menghubungi pihak KBRI. Kami sudah terlalu lemas. Wajah-wajah pucat dan putus asa menghiasi wajah kami. Akhirnya setelah menunggu 24 jam lebih tanpa makanan pihak KBRI datang membawa makanan. Pak duta sendiri yang datang. Itupun setelah dijarah diluar. Makanan yang terbawa keatas hanya tinggal sedikit. Kami harus berbagi, banyak yang belum kebagian.

Kami kesulitan berkomunikasi karena hp sudah dititipkan. Hanya satu hp yang tertinggal, hp jadul tanpa kamera. Informasi simpang siur. Tidak jelas kenapa kami harus menunggu selama ini sementara rombongan lain bisa masuk dengan mudahnya. Usut punya usut ternyata mereka membayar tentara untuk mencarikan jalan. Sementara kami tidak menggunakan itu. Satu-satunya tentara yang membantu kami hanya Abdullah. Itupun hanya diluar, tidak sampai mencarikan jalan menerobos antrean.

Setelah ashar kami baru bisa boarding. Lega rasanya. Setidaknya harapan untuk meninggalkan Libya masih ada. Kami tidak bisa membayangkan jika harus menunggu sehari lagi. Tahap ini adalah yang paling sulit. Banyak korban berjatuhan, harta dan psikologis. Di ruang tunggu boarding ini ternyata kami harus menunggu lagi kira-kira 6 jam. Pemeriksaan disini ketat sekali. Ada seorang perempuan Libya yang menggeledah rombongan perempuan yang lebih “berbisa” dari ular paling berbisa sekalipun. Ada seorang TKW yang dibentak-bentak di depan rombongan lain. Semua uang dinar diambil, bahkan handphone pun ada yang dirampas. Seorang teman mahasiswi ada yang dipaksa menyerahkan cincinnya, tapi dia berani melawan. Benar-benar perampok. Bisa dibayangkan betapa hancurnya perasaan TKW yang bertahun-tahun memeras keringat, bertaruh nyawa, setelah uangnya terkumpul dirampas begitu saja tanpa sisa. Dinar Libya anjlok. Hari itu 100 dolar setara dengan 300 dinar. Padahal sebelumnya jika normal 100 dolar sama nilainya dengan 124 dinar.

Ahad 27 February 2011

Sekitar pukul 1 dini hari rombongan kami baru bisa masuk pesawat, itupun setelah pilot Tunis Air menjemput kami langsung. Sudah 40 jam kami menunggu. Berjalan rasanya sulit sekali. Tak ada tenaga. Hanya harapan yang tersisa.

Penerbangan menuju Tunisia hanya memakan waktu kira-kira 45 menit. Ketika landing, aku masih tidak percaya. Dari awal pun aku tak percaya dengan apa yang kualami. Semuanya seperti mimpi. Kejadian ini cepat sekali. Padahal seminggu sebelumnya aku masih sibuk belajar dan menghafal Quran untuk ujian.

Sampai di Tunis kami disambut oleh pak Dubes dan beberapa staff KBRI Tunis. Mereka bertindak cepat. Setelah semua rombongan mengisi blanko visa on arrival kami menuju wisma duta. Disana sudah disiapkan beberapa kebutuhan mendesak seperti makanan dan pengobatan. Kami ditempatkan di beberapa pos penempatan. Aku sendiri untuk sementara tinggal dirumah home staff KBRI. Entah sampai kapan kami ditampung di Tunis. Kami berharap pemerintah segera memulangkan kami ke Indonesia.

Berat sebenarnya meninggalkan Libya. Apalagi aku yang sudah empat tahun disana. Beberapa bulan lagi seharusnya aku wisuda. Tapi karena revolusi ini aku terpaksa meninggalkan Libya dengan semua kemewahan dan fasilitas yang mungkin tidak akan kudapat di kampus lain. Masa depan kami di Libya sangat tergantung masa depan Qadafi, karena kami ini anak-anak Qadafi. Kalau Qadafi jatuh kampus kami bisa dipastikan tutup. Tapi kalau Qadafi bertahan entah berapa jiwa yang harus terkorbankan.

Saat ini harapan kami hanya satu, pemerintah bersedia menampung kami di universitas-universitas di Indonesia dan memberikan beasiswa penuh kepada kami tanpa kami harus mengulang pendidikan dari awal. Karena mayoritas dari kami hanya berbekal baju yang melekat di badan ketika meninggalkan Libya. Tidak ada transkip nilai yang bisa menjadi bukti tingkat pendidikan kami. Sulit memang. Tapi semoga harapan kami ini didengar pemerintah Indonesia.

Beribu terimakasih kami ucapkan kepada KBRI Tripoli yang dengan segala keterbatasannya mengerahkan semua tenaga membantu kami keluar Tripoli. Begitu juga kepada KBRI Tunis yang telah menampung dan memberikan pelayanan maksimal kepada kami. Semoga pengorbanan ini semakin mempererat dan mengokohkan rasa persaudaraan nasionalisme diantara kami perantau di negri orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun