Pulau Tagulandang dianugerahi kekayaan alam yang sempurna: air laut yang jernih dan bersih, keindahan alam, kesuburan tanah serta persediaan air bersih atau air minum yang melimpah. Dengan potensi alam yang lengkap, warga bisa leluasa bercocok tanam untuk pertanian, memanfaatkan laut untuk memperoleh ikan atau mengusahakan keindahan alam untuk potensi wisata. Kelancaran angkutan laut dari dan ke Manado serta pulau-pulau utama lain di Sulawesi Utara menunjang roda perekonomian pulau yang berdekatan dengan pulau Ruang ini.
Saat mengunjungi pulau Tagulandang, pulau penghasil salak terbesar di Sulawesi Utara pada akhir pekan kemarin, kekaguman terhadap pesona alamnya memenuhi pikiran saya. Selain sumber daya alam yang lengkap, para penduduk juga hidup berdampingan dengan damai dan suka memenuhi halaman rumah dengan berbagai tanaman bunga yang indah. Bila potensi ini dikelola dan dijaga dengan baik, tak mustahil pulau mungil ini menjadi salah satu objek wisata andalan khususnya bagi para pelancong yang merindukan suasana alam nan asri yang kaya akan hasil bumi dan ikan serta tidak jauh dari Manado, ibukota Sulawesi Utara. Perjalanan dari Manado ke pulau Tagulandang hanya 3 jam dengan kapal cepat dan 4 jam dengan kapal malam.
Memasuki Pelabuhan Buhias, jernihnya laut dan keindahan karang begitu kentara. Sejauh mata memandang, perbukitan hijau dilatar-belakangi lautan biru mempesonakan mata. Namun demikian, semakin dekat ke pusat pemukiman kita akan sadar bahwa alam yang indah ini sedang terancam oleh kehadiran sampah plastik.
Di depan tugu atau tulisan “Mandolokang” di Buhias, terlihat jelas sampah pelastik berseliweran di permukaan tanah yang sebagian besar sudah cukup lama usianya karena kelihatan sudah terpecah dan terselip ke tanah. Ketika menyelam di tepian pantai Minanga yang bersebelahan dengan pelabuhan feri, terlihat begitu banyak sampah pelastik dan kain tergenang di dasar laut pesisir yang sangat mengganggu keindahan pemandangan bawah laut. Di jalan kampung pesisir pantai Minanga ditemukan berbagai tumpukan sampah plastik bersiap-siap bermuara ke laut menunggu hujan deras tercurah. Siapa yang membuang dan siapa yang akan membersihkan sampah-sampah tersebut?
Tak pelak lagi semua pakingan barang plastik yang masuk ke pulau ini akan keluar dalam bentuk sampah plastik. Setiap rumah yang memasak dan membeli bahan makanan serta bahan kemasan akan menghasilkan sampah plastik. Bila setiap rumah membuah ke laut, coba bayangkan berapa banyak sampah yang akan mengotori laut. Tidak seperti sampah basah atau tumbuhan dan hewan yang akan hilang dalam hitungan hari, sampah pelastik akan bertahan puluhan bahkan 200 tahun. Bagaimana menanganinya?
Saya yakin, pemerintah setempat telah berupaya untuk mengingatkan masyarakat mengenai pengelolaan dan resiko sampah yang tidak dikelola. Namun adanya penumpukan sampah di titik-titik tertentu, mengingatkan kita bahwa sampah harus ditangani secara serius dan bersama-sama. Sampah plastik sebaiknya dipisahkan dari sampah basa seperti sampah sayur-sayuran maupun ikan dan daging dan hal ini dimulai dari dapur setiap rumah. Jika sampah ikan dan daging dapat ditanam di dalam tanah dan sampah sayuran dan buah bisa dijadikan pupuk, maka sampah plastik dikumpul tersendiri untuk dibakar, dikelola ataupun dimusnahkan. Sampah plastik yang dimusnahkan atau dikelola dari rumah tentu tidak akan tiba di tempat-tempat umum. Pemerintah dan masyarakat juga perlu menyiapkan tempat sampah sederhana di samping jalan atau tempat umum untuk mencegah pembuangan sampah sembarangan.
Bila tanah Mandolokang terawat dengan baik; jalan dan tempat-tempat umum bersih dan indah dengan tumbuhan bunga yang menawan, maka pesona Tagulandang akan memancar dan semakin dikenal dan dapat menjadi alternatif wisata unggulan bagi penduduk di daratan. (Penulis Ellen Manueke)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H