Mohon tunggu...
ella ning
ella ning Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA NEGERI 3 BREBES

Seorang gadis yang suka membaca, menulis, mendengarkan musik dan juga berimajinasi. Si pemimpi yang ingin jadi menteri Luar Negeri dan selalu punya keinginan untuk jalan-jalan ke Edinburgh.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesawat Kertas yang Mengudara

28 November 2024   19:53 Diperbarui: 1 Desember 2024   11:44 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah taman kecil yang sepi, seorang gadis duduk di bangku kayu sambil melipat kertas. Di tangannya, selembar kertas putih sederhana berubah menjadi pesawat kecil yang kokoh. Matanya menatap pesawat itu dengan senyuman penuh harapan, seakan benda kecil itu membawa sesuatu yang lebih besar dari sekadar permainan.

Namanya Nara, gadis berusia 16 tahun yang selalu percaya bahwa harapan bisa terbang sejauh yang ia mau, selama ia berani memercayainya. Hari itu, ia melipat pesawat kertas ketiganya---semua berisi doa-doa kecil yang ia tulis di badan pesawat dengan pulpen hitam.

"Semoga aku bisa menjadi penulis yang menginspirasi banyak orang."

Itu tulisannya kali ini. Setelah selesai, Nara berdiri, mengangkat pesawat kertas itu ke udara, lalu melemparkannya dengan sekuat tenaga. Pesawat itu terbang melintasi angin sebelum akhirnya jatuh di rerumputan tak jauh dari bangku lain di taman itu.

Seorang pria yang duduk di bangku tersebut memungutnya. Usianya mungkin pertengahan dua puluhan, dengan raut wajah tenang yang memancarkan kehangatan. Ia membuka pesawat kertas itu, membaca tulisan Nara, lalu tersenyum tipis.

"Ini pesawatmu?" tanya pria itu sambil berjalan menghampiri Nara.

Nara sedikit terkejut, tapi mengangguk. "Iya. Maaf kalau mengganggu."

Pria itu menggeleng. "Tidak. Aku malah penasaran. Kamu benar-benar ingin jadi penulis?"

"Iya," jawab Nara sambil tersenyum malu. "Aku ingin menulis cerita yang bisa mengubah hidup orang lain. Seperti cerita-cerita yang pernah mengubah hidupku."

Pria itu terdiam sejenak. Matanya menatap Nara dengan pandangan lembut, seakan melihat dirinya sendiri di masa lalu.

"Namaku Aksa," katanya, mengulurkan tangan.

"Nara," jawab gadis itu sambil menjabat tangan Aksa.

Sejak hari itu, Nara dan Aksa sering bertemu di taman kecil itu. Mereka berbeda usia, tapi memiliki semangat yang sama---mencapai impian yang sepertinya jauh di ujung cakrawala.

Aksa bercerita bahwa ia adalah seorang mahasiswa pascasarjana yang sedang berjuang menyelesaikan tesisnya. Mimpinya adalah menjadi seorang dosen dan menulis buku yang bisa membantu orang memahami kehidupan lebih baik.

"Aku ingin menulis buku yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga memberi makna," katanya suatu hari.

"Kita punya tujuan yang sama, Kak," kata Nara sambil melipat pesawat kertas lain. "Tapi kenapa kamu kelihatannya ragu?"

Aksa terdiam. Ia tahu Nara melihat sesuatu yang selama ini ia sembunyikan.

"Kadang aku merasa mimpiku terlalu besar untuk diraih," jawabnya akhirnya. "Dan aku takut gagal."

Nara tertawa kecil. "Kalau Kakak takut gagal, Kakak nggak akan pernah tahu seberapa jauh Kakak bisa terbang."

Kata-kata Nara membuat Aksa tertegun. Gadis muda itu, dengan keberanian dan keyakinannya, seperti mengingatkan Aksa pada semangat yang pernah ia miliki dulu.

***

Minggu demi minggu berlalu, dan taman kecil itu menjadi tempat mereka berbagi mimpi. Setiap kali Nara melipat pesawat kertas, ia akan menuliskan harapan baru di atasnya dan melemparkannya ke udara. Aksa, yang awalnya hanya mengamati, akhirnya ikut melakukannya.

"Kalau harapan ini nggak sampai, aku akan buat lagi," kata Nara suatu hari ketika pesawat kertasnya jatuh terlalu cepat.

"Berarti harapan itu harus lebih kuat," balas Aksa sambil tersenyum.

Dari pertemuan-pertemuan itu, mereka belajar bahwa meskipun mimpi mereka berbeda bentuk, inti dari perjalanan mereka sama---keberanian untuk terus mencoba, meskipun ada kemungkinan gagal.

Namun, tidak semua harapan bisa terbang selamanya.

Pada suatu hari yang mendung, Nara datang ke taman dengan wajah yang lebih muram dari biasanya. Tangannya sibuk melipat kertas, tapi kali ini tanpa senyuman. Aksa yang melihat itu segera tahu ada sesuatu yang salah.

"Nara, ada apa?" tanyanya lembut.

Nara menatapnya dengan mata yang mulai basah. "Orang tuaku nggak suka aku ingin jadi penulis. Mereka bilang aku harus memilih sesuatu yang lebih pasti, seperti dokter atau pengacara."

Aksa tidak segera menjawab. Ia tahu perasaan itu---tekanan untuk mengikuti jalan yang tidak sesuai dengan hati nurani.

"Kamu mau menyerah?" tanya Aksa akhirnya.

Nara menggeleng. "Aku nggak tahu. Tapi rasanya berat, Kak. Aku nggak mau mengecewakan mereka."

Aksa menarik napas dalam-dalam. Ia ingin memberikan jawaban yang benar, tapi tidak ada yang benar-benar sederhana dalam situasi seperti ini.

"Kamu tahu, Nara," katanya akhirnya, "mimpi itu seperti pesawat kertas. Kadang, angin akan membuatnya jatuh. Tapi kalau kita berhenti melipat dan melempar, kita nggak akan pernah tahu apakah pesawat itu bisa sampai ke tujuan."

Kata-kata Aksa membuat Nara terdiam. Meski dadanya masih terasa berat, ada sedikit kelegaan di hatinya.

Beberapa minggu kemudian, Aksa berhenti datang ke taman. Awalnya, Nara mengira ia hanya sibuk, tapi setelah berminggu-minggu tanpa kabar, ia mulai merasa ada yang hilang.

Nara mencoba mencari tahu, tapi Aksa seperti menghilang tanpa jejak. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi.

Namun, Nara tidak berhenti melipat pesawat kertas. Ia tetap datang ke taman setiap minggu, melemparkan harapan-harapan kecilnya ke udara, berharap suatu hari pesawat itu akan membawa kabar dari Aksa.

Pada suatu sore yang cerah, di tengah tumpukan pesawat kertas yang ia bawa, Nara menemukan sebuah amplop yang terselip di bangku taman. Tulisan tangan di depan amplop itu membuat hatinya berdebar.

Untuk Nara,

Dari Aksa.

Dengan tangan gemetar, Nara membuka amplop itu dan membaca surat di dalamnya.

"Nara,

Maaf aku tidak sempat mengucapkan selamat tinggal. Aku harus kembali ke kotaku untuk menyelesaikan urusan keluarga. Tapi aku ingin kamu tahu, pertemuan kita di taman ini telah mengubah hidupku. Kamu mengingatkanku pada semangat yang pernah hilang.


Pesawat kertas yang kamu lipat selalu membuatku tersenyum. Teruslah melipatnya, teruslah melemparkannya ke udara, dan teruslah bermimpi. Kamu adalah orang yang luar biasa, dan aku yakin suatu hari nanti, pesawat kertasmu akan mencapai tempat yang bahkan kamu sendiri tidak pernah bayangkan.


Dengan harapan terbaik,

Aksa."

Air mata Nara jatuh perlahan, tapi kali ini bukan karena kesedihan. Ia tersenyum, memandang pesawat kertas terakhir yang ia lipat hari itu.

"Terima kasih, Kak Aksa," bisiknya pelan.

Lalu, ia melemparkan pesawat itu ke udara. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa harapannya benar-benar terbang jauh.

***

Ella Ning, gadis yang suka menghabiskan seluruh waktunya untuk berpikir dan menulis di perpustakaan sekolah, SMA NEGERI 3 BREBES. Sosok yang juga menyukai sastra dan berlogika ketika menulis. Pertama kali menulis ketika berada di bangku SMP kelas 7. Berkeinginan untuk bertemu Jeon Wonwoo, member dari boygroup SEVENTEEN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun