Suatu sore, mereka duduk bersama di bangku taman, menikmati hembusan angin yang lembut. Nayla melihat ke arah langit yang perlahan berubah menjadi abu-abu.
"Raka," Nayla tiba-tiba membuka percakapan. "Kenapa kamu suka menyendiri?"
Raka menghela napas, menatap jauh ke depan. "Kadang, ada hal yang nggak semua orang perlu tahu. Aku nggak terlalu nyaman berbagi cerita sama orang lain."
Nayla mengangguk, meskipun masih ada rasa ingin tahu di dalam hatinya. "Kalau sama aku, kamu mau cerita?"
Raka diam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Ayahku meninggal beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, aku merasa nggak ada lagi yang benar-benar mengerti perasaanku."
Nayla terkejut, tapi dia tidak ingin memperlihatkannya. Dia hanya tersenyum lembut dan meletakkan tangannya di bahu Raka. "Aku ngerti. Kalau kamu butuh seseorang untuk berbagi, aku ada di sini."
Raka tersenyum kecil. Itu adalah senyuman yang jarang sekali Nayla lihat. Sejak itu, mereka semakin dekat. Setiap sore, mereka selalu bertemu di taman, berbagi cerita tentang banyak hal. Bagi Nayla, Raka bukan lagi sosok dingin dan misterius, tetapi teman yang penuh kehangatan di balik sikapnya yang pendiam.
Namun, saat kebersamaan mereka mulai terasa begitu indah, Nayla menerima kabar yang membuat hatinya tenggelam. Raka akan pindah ke kota lain bersama keluarganya karena ibunya mendapat pekerjaan baru. Nayla merasa ada yang hilang dari hidupnya, namun dia berusaha tetap kuat. Dia tidak ingin menunjukkan kesedihannya pada Raka.
Di hari terakhir sebelum Raka pindah, mereka duduk bersama di taman, seperti biasa. Hujan kembali turun, mengingatkan mereka pada pertemuan pertama mereka di bawah payung.
"Jadi... ini pertemuan terakhir kita?" suara Nayla terdengar bergetar.
Raka menunduk, menatap tanah basah di bawah kakinya. "Sepertinya, iya. Tapi aku nggak akan lupa sama kamu, Nay."