[caption id="" align="aligncenter" width="524" caption="Usaha Kecil Menengah | Kompasiana (Kompas.com, Heru Sri Kumoro)"][/caption]
Saat seorang wanita berkarier kemudian menikah dan memiliki anak, ia dihadapkan pada sebuah pilihan: tetap berkarier namun harus meninggalkan anak ataukah total menjadi ibu rumah tangga dan meninggalkan pekerjaannya? Dilema. Namun pilihan itu harus tetap diambil.
Bagi sebagian wanita yang pada akhirnya memutuskan berhenti bekerja dan menjadi Ibu Rumah Tangga (IRT) tentunya akan merasakan 'hampa' ketika ia bekerja memiliki penghasilan sendiri, terbiasa pegang uang sendiri, kini hanya mengandalkan penghasilan suami.
Saat masih bekerja, mau beli ini itu bisa dilakukan tanpa harus menunggu persetujuan suami. Kini saat menjadi IRT, bilapun ingin membelanjakan kebutuhan pribadi, harus mempertimbangkan apakah dana yang diberikan suami cukup untuk sebulan?
Menjadi IRT kita dituntut cerdas memutar otak mencari cara bagaimana agar uang pemberian suami cukup untuk membayar serentetan tagihan, seperti uang SPP anak, listrik, telepon, iuran bulanan RT, arisan, cicilan mobil atau cicilan rumah. Belum lagi untuk belanja bulanan dan belanja harian. Berapa besar yang harus kita keluarkan setiap bulannya?
Sekedar sharing pengalaman yang dialami oleh seorang wanita yang saya kenal. Sebut saja namanya Tuti. Saat masih lajang, Tuti bekerja di sebuah restoran siap saji di Jakarta. Beberapa tahun kemudian ia pindah kerja di sebuah cafe. Ia mengenal suaminya saat berangkat kerja. Singkat cerita mereka akhirnya menikah.
Saat memiliki anak, Tuti bingung luar biasa karena ia harus meninggalkan anak petamanya yang masih berusia 4 bulan. Penghasilan suami Tuti juga tak seberapa sehingga menuntut Tuti untuk terus bekerja. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari asisten Rumah Tangga agar si baby bisa diurus saat Tuti bekerja.
Beberapa bulan memiliki ART, Tuti merasa berat karena belum sebulan uangnya sudah habis padahal ia harus membayar gaji ART tersebut. Akhirnya Tuti memutuskan untuk berhenti bekerja dan total menjadi IRT.
Masih dalam kebingungannya, Tuti berusaha mengelola uang yang diberikan suaminya setiap bulan. Ia harus memutar otak bagaimana uang yang tak seberapa itu bisa mencukupi kehidupan mereka. Yang sangat disayangkan, Tuti hanya mengandalkan gaji suami. Ia tak tergerak untuk memiliki penghaasilan sendiri padahal profesi IRT bisa dilakukan sambil memulai bisnis rumahan apapun bentuknya.
Waktu berlalu begitu cepat. Saat suami Tuti memiliki kedudukan penting di perusahaannya. Otomatis penghasilan suami Tuti pun meningkat. Sampai pada akhirnya suami Tuti bisa membeli sebuah mobil. Taraf kehidupan mereka pun ikut meningkat.
Ternyata uang berlimpah justru menjadikan ujian bagi Tuti. Saat sang suami yang memiliki uang lebih mulai 'main mata' dengan wanita lain. Godaan demi godaan tak mampu ditepis. Suami Tuti ternyata telah menikah siri dengan WIL nya itu. Bagai disambar petir Tuti mendengar pengakuan suaminya.