Mohon tunggu...
Ell Faridzy
Ell Faridzy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pegiat Teknologi

Merupakan pegiat teknologi yang berfokus pada pengembangan sistem skala besar. Selain itu menulis hal-hal yang bermanfaat adalah suatu hoby.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ringkasan Ngaji Ihya': Imam Al Ghazali The Master of Methaphor

5 Mei 2020   16:13 Diperbarui: 5 Mei 2020   20:43 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ihya Ulumuddin merupakan karya monumental  yang ditulis oleh Imam Ghazali  tatkala beliau merasa hampa dalam dirinya, ada yang keliru dengan segala kemeriahan hidupnya.Imam Al-Ghazali termenung. Ia kemudian banyak membaca kitab-kitab tasawuf karya al-Makky, Al-Muhaisibi dan lainnya. Jiwanya mulai bergejolak, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengasingan diri, beruzlah, meninggalkan segala ketenaran, kemewahan, dan kedudukan yang telah diperolehnya. 

Dalam karya monumentalnya ini,Imam Al-Ghazali banyak menggunakan kata metafor yang menjadikan Ihya’ memiliki  kekhasan tersendiri.Sama halnya dengan ayat-ayat Al Qur’an yang menggunakan kata metafor  dalam menjelaskan beberapa hal.Lebih lanjut, kata seperti “raja”,”buruh”,”pasukan” dan kata metafor lainnya sering digunakan Imam Al Ghazali dalam Ihya’ nya.Dengan menggunakan metafor seperti ini,beliau ingin menjelaskan dengan sesuatu  yang sangat konkrit (jelas), serta sesuatu yang dekat atau akrab dan populer pada zamannya. Makna metafor sendiri adalah perumpamaan, jadi ketika  Gus Ulil  menyebutkan “perumpamaan” namun di beberapa detik atau menit kemudian dia menyebut “metafor”, sebenarnya memiliki arti yang sama. Hanya saja, “metafor” adalah kata serapan dari bahasa Inggris “methaphor” ke Bahasa Indonesia yang maknanya adalah “perumpamaan”.

Dikalangan kyai-kyai NU menciptakan metafor-metafor mungkin sudah menjadi hal yang sangat biasa dalam ceramah-ceramah keagamaannya. Kemampuan menciptakan metafora ini juga saya rasakan sejak saya kecil sampai sekarang ketika mengikuti atau sekadar mendengar ceramah agama yang disampaikan Kyai NU. Selain kyai NU, pastinya ada lebih banyak lagi pembicara-pembicara yang menggunakan istilah ini. Saya hanya mengambil contoh yang akrab dengan saya, yaitu Kyai NU. Nah, mereka memiliki kemampuan komunikasi yang cukup bermanfaat bagi audiensnya. Apalagi, penceramah di desa pada umumnya diikuti oleh ibu-ibu dan bapak-bapak dimana dalam mencerna suatu pemahaman atau bangungan pemikiran, mereka membutuhkan metafora yang akrab dengan mereka. 

Kemampuan menciptakan metafora tersebut juga sangat kuat melekat dalam diri Imam Al-Ghazali ketika menjelaskan pemikirannya, khususnya dalam kitab-kitab yang beliau tulis. Gus Ulil di tengah penjelasannya bahkan mengatakan bahwa “Imam Al-Ghazali adalah The Master of Methaphor”, ini juga yang menginspirasi saya memberikan judul yang sama dalam tulisan ini. Kemampuan menciptakan metafor adalah salah satu keterampilan penting dan amat berguna untuk dimiliki manusia. Metafora alias perumpamaan adalah suatu bentuk komunikasi yang menggunakan suatu konsep yang sudah familier untuk menjelaskan konsep lain yang belum familier pada pendengar atau kawan bicara.

Salah satu bentuk kegunaan metafor ialah  untuk memicu peran yang sama bagi pendengar dengan suatu tokoh dan jalan kisah di dalamnya. Termasuk kita saat mendengarkan kisah tentang kerajaan dalam tubuh manusia, lantas kita akan mendapat pemahaman mendalam terkait kondisi tertentu. Metafor juga menjadi inspirasi atas solusi persoalan ata ide kreatif lainnya untuk dilakukan. Jika kita cermati, Tuhan menggunakan metafora kisah-kisah orang di jaman dulu dan diceritakan dalam bentuk kisah di kitab suci. Jika Tuhan menggunakan cara ini, maka pastilah cara ini powerful untuk kita tahu. 

Lalu, mengapa Imam Al Ghazali membuat beberapa metafor  dalam menjelaskan sesuatu dalam Ihya’nya? Maksud dari penggunaan metafor tersebut adalah agar bisa mengambil manfaat dari kitab kuning ini, khusus bagi orang-orang awam. Melalui metafora yang diciptakannya, Imam Al-Ghazali berusaha sebaik mungkin memberikan pemahaman kepada orang awam. Mengapa saya selalu menyebut orang awam? Menurut Gus Ulil, karena audiens Imam Al-Ghazali memang saat itu pada umumnya bukan mereka yang sudah mengenyam pendidikan tinggi, bukan para Filsuf seperti Ibnu Sina atau Al-Farabi, namun lebih banyak mereka yang baru belajar, kalau saat ini bisa digambarkan mereka yang masih belajar di tingkat S1, bukan S3 atau S3. Termasuk menggambarkan tubuh kita semacam mesin perang, kenapa metafor seperti perang ini dipakai? Karena dalam kitab Ibnu Sina, metafor itu tidak dipakai, tapi Imam Al-Ghazali mengartikulasikannya dengan cara yang unik, yaitu menggunakan metafor perang, alasannya karena pada masa itu, metafor  seperti ini merupakan sesuatu yang masih bisa disebut sebagai sesuatu yang biasa yang akrab di telinga masyarakat saat itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun