Masih tentang cara mengobati akhlak yang buruk di dalam diri. Penyakit fisik akan langsung disadari oleh seseorang yang sakit, dan ia mungkin sekali akan segera ke dokter. Tetapi pada penyakit rohani atau spiritual orangnya sering kali tidak sadar. Ini hal yang sangat umum. Bukan hanya tidak sadar, tapi seseorang yang sakit rohaninya sering menyangkal bahwa dia sakit dan membutuhkan bantuan.
Ada pun tanda-tanda kembalinya jiwa kepada kondisi sehat setelah pengobatan, adalah:
- Seseorang itu bisa melihat ke dalam penyakitnya (introspeksi). Jika penyakitnya berupa kekikiran, misalnya, maka prosesnya adalah: pertama, mengakui bahwa ia kikir. Ini adalah proses pertama penyembuhannya.
- Kedua, setelah menyadari dan mengakui, ia akan mencari obatnya. Obat untuk penyakit rohani adalah lawannya. Lawan dari kikir adalah infak. Atau, lawan dari menghina orang lain adalah menghargai orang lain. Atau, lawan dari menyakiti orang lain adalah mengasihi orng lain. Tiap penyakit pasti ada lawannya. Allah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan. Positif – negatif.
- Ketiga, setelah mengetahui obatnya, telan obatnya! Jika terasa pahit atau tidak enak, ya demikianlah namanya obat. Dan pengobatan juga memerlukan proses. Tidak bisa langsung sembuh total dengan hanya sekali “minum obat”.
Tetapi, ini penting, setiap obat ada efek sampingnya dan ini yang sering dilupakan orang. Pada contoh penyakit kikir (taktiri) yang obatnya adalah infak, maka efek sampingnya adalah menginfakkan harta sampai level menghambur-hamburkan harta (tabdziri). Kebablasan. Misalnya menginfakkan uang kepada orang yang diketahui akan menggunakan uang tersebut untuk berjudi. Jadi infak pun akan berubah menjadi penyakit/kecanduan baru. Infak bisa menjadi penyakit rohani baru karena ia menyebabkan seseorang dipuji, lantas terkenal, karena kebiasaannya berinfak. Apa lagi di era media sosial ketika semua hal dengan mudah dipamerkan. Tak terasa, sampai infak itu dilakukan melebihi batas (overdosis).
Dengan demikian, kebaikan yang kita jalani sebagai upaya kesembuhan dari suatu penyakit rohani bisa menjadi penyakit baru. Sangat “tricky”. Begitu seseorang menikmati obatnya, maka ia lupa masalah awal, yaitu ingin mengobati penyakit. Ia kembali menjadi kecanduan hal yang sebaliknya.
Jalan Tengah atau Keseimbangan
Jadi apa sebenarnaya tujuan dari pengobatan bagi penyakit lahiriah maupun batiniah? Yaitu upaya mengembalikan kepada kondisi seimbang (al-i’tidal). Sehat adalah seimbang, bukan ketiadaan penyakit. Pengobatan bukan upaya mengusir penyakit. Tampaknya di sini Imam Al-Ghazali mengadopsi filsafat pengobatan Timur yang mendasari pengobatan Ayurveda (India), dan pengobatan Cina yang berpegang pada prinsip keseimbangan Yin dan Yang. Karena itu pengobatan yang berlebihan bisa menjauhkan seseorang dari kondisi seimbang.
Pembahasan ini mengingatkan kita pada teori akhlak Imam Al-Ghazali yang pernah dibahas sebelumnya. Akhlak yang baik terbentuk ketika seseorang bisa menyeimbangkan dua titik ekstrem dalam dirinya, yakni syahwat (belum tentu maksudnya negatif) dan ghadhab (ini juga artinya netral). Syahwat dalam diri seseorang tidak boleh defisit, karena kalau terlalu sedikit maka orang tidak akan punya motivasi. Mager. Sebaliknya, kalau berlebihan bisa timbul berbagai penyakit fisik. Diabetes, tekanan darah tinggi, atau IMS misalnya. Sebaliknya, ghadhab juga tidak boleh berlebihan, sebab ia dapat memicu peperangan dan perselisihan. Ghadhab yang dikelola dengan baik akan mengantarkan orang mencapai prestasi.
Keseimbangan atau titik tengah (i’tidal) antara syahwat dan ghadhab inilah yang disebut akhlak. Pertanyaannya sekarang, di mana titik tengah itu berada? Lihatlah/pikirkanlah tindakan yang harus diwaspadai. Jika ada tindakan yang terasa lebih mudah dan nyaman untuk kita dibandingkan tindakan yang sebaliknya, maka tindakan itulah yang dominan (menang atas diri kita).
Beberapa langkah untuk kembali ke titik tengah adalah (i) Sadari obyek tindakan yang ingin kita ubah. Misalnya, di antara infak dan sifat kikir, mana yang terasa lebih ringan untuk dilakukan. Jika jawabannya adalah kikir, maka sifat inilah yang dominan dalam diri kita, dan ini yang harus diobati. Sebaliknya, jika infak atau mendermakan harta lebih mudah dilakukan sampai level menghambur-hamburkan harta seperti contoh di atas, maka ini yang harus diupayakan pengobatannya. Ini adalah tindakan mendiagnosa penyakit rohani. (2) Lakukan sifat sebaliknya. Upayakan untuk melawan sifat dominan tadi dengan sifat yang menjadi lawannya. Ini adalah teknik untuk menguasai jiwa.
Tetapi harus diingat bahwa teori Imam Al-Ghazali tentang jalan tengah ini berlaku dalam situasi normal. Ada situasi-situasi yang menuntut kita untuk menjauhi titik tengah demi kebaikan. Misalnya, seseorang yang membaca buku terus-menerus sampai mengabaikan hal-hal lain seperti makan, minum, atau bahkan keluarganya, demi menulis disertasi. Situasi ini bukan situasi normal. Bukan pola tetap. Dalam hal ini teori jalan tengah Imam Al-Ghazali tidak berlaku.
Ada riwayat yang merekam kejadikan ketika beberapa sahabat Nabi membicarakan mengenai berlomba-lomba dalam kebaikan. Ada sahabat yang mengatakan ia tiap hari berpuasa untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada yang tidak tidur supaya bisa bermunajat sepanjang malam. Ada pula yang tidak menikah agar bisa fokus kepada perjuangan di jalan agama. Mendengar ini Nabi menunjukkan sikap tidak suka dan mengatakan bahkan sebagai Nabi pun beliau berbuka, beristirahat, dan berkeluarga.