Kebaikan, dengan demikian, tidaklah diraih dengan memfokuskan pada satu kebaikan saja dan menjauhi kebaikan lain. Yang penting, jika kita sudah condong, atau menikmati satu kebaikan, maka upayakan untuk bergeser kembali ke sifat semula. Jika sudah terlampau kikir, maka kembalilah suka berinfak. Sebaliknya, jika sudah terlampau menikmati infak maka belajarlah untuk menahan harta.
Jalan Tengah = Tidak Stabil
Jalan tengah ini adalah jalan yang tidak stabil. Kita mudah sekali tergelincir dari jalan atau titik ini. Jadi jangan mengira bahwa firman Allah yang menyebutkan “Dan demikian Kami menjadikan kamu ummatan washatan …” (QS Al-Baqarah/2: 143), sebagai ajaran yang mudah. Jalan tengah ini justru jalan yang paling sulit karena kecenderungan alamiah manusia adalah tergelincir ke kiri atau ke kanan.
Kita harus bisa mendeteksi di mana kita merasa nyaman. Kalau sudah merasa sangat nyaman dan mudah, berada dalam comfort zone, maka itu bukan jalan tengah lagi. Jika kita sudah merasa nyaman dengan ibadah ritual yang biasa kita lakukan setiap hari, maka itu tandanya kita sudah harus meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah kita.
Beyond Kikir dan Infak
Manusia itu sejak dulu sangat rumit struktur jiwanya. Jauh lebih rumit daripada struktur fisiknya. Struktur jiwa manusia tidak banyak berubah. Teknologi berkembang pesat tetapi jiwa manusia sangat sedikit mengalami perubahan. Tema-tema benci-cinta, dendam-kasih sayang, pengkhianatan-loyalitas dsb, terus mendominasi wacana mengenai jiwa manusia.
Tentang kikir dan memberikan harta secara berlebihan, walaupun tampak dalam praktiknya berbeda, dalam ilmu tasawuf sebenarnya hakikatnya sama, yakni sama-sama terikat dengan harta. Kelihatannya berbeda karena yang satu “menyimpan” sementara yang lain “melepaskan”. Tetapi keduanya sama-sama concern dengan harta meskipun manifestasinya berbeda. Keduanya sama-sama bukan jalan tengah lagi.
Seringnya, kita merasa tidak lagi dikuasai harta, padahal sebaliknya. Dalam istilah Imam Al-Ghazali, kita tidak lagi dikuasi harta apabila harta itu kita perlakukan seperti air (catatan: air dalam konteks masyarakat ketika kitab Ihya ditulis adalah komoditi yang sangat berharga), yang memberikannya maupun menahannya sama saja rasanya bagi kita. Tidak memberikan efek bangga. Biasa saja. mungkin di Indonesia perbandingannya adalah emas, yang kita simpan dan tumpuk sebagai tabungan. Memperlakukan komoditi berharga dengan cara biasa-biasa saja, inilah gambaran dari “relationship goal” antara kita dengan harta, yakni kondisi beyond infak dan kikir. “Setiap kalbu yang sudah bisa merelativisir hartanya, maka pasti ia akan menemui Allah dengan selamat.”
Kesimpulannya, jalan tengah itu mudah dikatakan tetapi sulit dipraktikkan. Tapi minimal sekarang kita tahu ada standar kebaikan yang setinggi itu, yang setiap kita harus berusaha mencapainya. Godaan lainnya: mengaji Ihya itu baru tahap kognitif, belum mencapai tahap afektif apa lagi konatif. Masalahnya kita ini sering overpricing. Awam tapi merasa alim, karena tidak tahu ada standar. Ini pentingnya mengaji Ihya, kitab yang menetapkan standar tertinggi.
Menjadi orang berakhlak baik itu tidak ada ujungnya. Harus berusaha untuk naik tingkat terus, karena kalau tidak kita akan jatuh kepada yang selain jalan tengah itu tadi. Karena itu dalam ilmu tasawuf, orang yang menjalaninya disebut sebagai pejalan (salik). Jalan itu adalah jalan menuju Allah. Di sepanjang jalan itu selalu muncul godaan untuk condong ke kiri atau ke kanan. Menapaki jalan tengah adalah menapaki jalan yang dinamis. Bukan jalan statis.
Kitab Ihya yang merupakan kitab tasawuf tidak menggunakan porsi bagi dalil akal atau dalil ayat, melainkan “roso”. Tasawuf adalah masalah melatih intuisi atau “roso”: Bagaimana kita tahu bahwa kita sudah menyimpang atau masih berada di jalan tengah, hanya kita yang tahu. Tasawuf tidak mempunyai standar obyektif. Masing-masing orang menghadapi situasinya masing-masing. Dia sendiri yang tahu mana jalan yang mudah, mana yang susah. Kapan harus meninggalkan yang mudah, dan ke mana harus mengarah.