Ada yang mengatakan, “Untung Indonesia tidak menjadi negara agama. Sebab, sangat banyak negara agama yang punya konflik, menjadi negara miskin, radikal, dan sangat tidak manusiawi.” Realita yang mereka dapat menyimpulkan bahwa negara agama bukanlah solusi atas kesejahteraan, kedamaian, apa lagi keharmonisan antar individu/kelompok di tengah pluralitas suku, ras, dan agama. “Andai saja Indonesia menjadi negara agama, bisa jadi Indonesia akan sama dengan Afganistan, Pakistan, atau Bangladesh,” kata mereka.
Ditambah lagi, beberapa aksi terorisme selalu saja memiliki kaitan dengan ideologi tertentu, khususnya Islam. Agama menurut mereka adalah momok yang menakutkan, membatasi ruang gerak, dan mengkotak-kotakkan. “Agama mengakibatkan manusia seakan menjadi Tuhan, paling benar atas segalanya. Ini membuat manusia menjadi sewenang-wenang, angkuh, dan berhak atas segala hal termasuk hidup orang lain. Itu sebabnya, agama mestinya menjadi urusan pribadi, tidak turut ikut campur mengurusi orang lain,” ujar mereka.
Argumentasi-argumentasi seperti ini sering muncul, apa lagi menjelang kontes-kontes tertentu. Pastinya sebagai bentuk perlawanan terhadap orang-orang yang membawa-bawa agama. Ini pula yang kita dapati menjelang Pemilukada DKI dan beberapa daerah lainnya. Terasa agama begitu dipojokkan dan diidentikkan kepada hal-hal yang intoleran. Tulisan ini mencoba mengomentari persepsi mereka yang alergi dengan istilah-istilah agama, sampai-sampai mengatakan “jangan bawa-bawa agama” dalam hal tertentu.
Persepsi mereka antara lain, dalam hal politik misalnya, “Agama paling tidak akan membuat manusia menjadi kelompok yang rasis dan tidak fair. Para pendukung hanya akan mendukung calon tertentu karena seagama. Sementara aspek lainnya tidak lagi diperhatikan. Ini tentu merusak kebhinekaan, menghancurkan persatuan, dan menyalakan api permusuhan. Kualitas calon pemimpin menjadi tidak penting, padahal Pemimpin akan mengurusi orang banyak,” ungkap mereka. Penolakan-penolakan di atas tidak perlu disanggah, sebab definisi agama sudah sedemikian rupa bagi mereka. Atas definisi yang begini, kita juga semestinya menolak agama untuk dibawa-bawa ke ranah mana saja seperti politik atau negara.
Definisi yang mereka buat bagaikan patron, atau kaca mata bagi mereka. Bisa disebut, demikianlah mereka memandang agama. Ini menjadi persoalan sudut pandang. Jadi, wajar saja jika hasilnya berbeda dengan kita. Ini seperti muhadditsin (ahli hadits) melihat sunnah, bagaimana mau disamakan dengan ushuliyyin (ahli ushul fiqh) melihat hal yang sama, sebagaimana pula fuqaha’ (ahli fiqh/hukum) yang berbeda pandangannya dengan ushuliyyin terkait dengan definisi sunnah. Definisi yang mereka buat berbeda satu dengan yang lainnya. Ya, jadi nggak akan ketemu, kecuali, kita samakan dulu persepsinya. Untuk itu, perlu diajukan pertanyaan agar yang apa mereka pahami dapat pula kita mengerti.
Pertanyaan mendasar atas definisi mereka adalah, apakah demikian agama semestinya? Benarkah definisi agama yang mereka bangun? Jangan-jangan, agama diartikan sebagai realitas pemeluknya, sedangkan arti sesungguhnya tidak demikian. Ya, idealnya agama tidak demikian. Bukanlah agama yang menyebabkan suatu bangsa hancur, terpecah belah, rasis, gaduh, dan sebagainya. Sumber agama ternyata malah memancarkan cahaya persatuan, menghormati keberagaman, menunjukkan kepada jalan kesejahteraan, kesuksesan, dan kebaikan lainnya. Sebagai contoh, Allah mengatakan bahwa Dialah yang menjadikan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Lantas, semua manusia sama saja, taqwa yang membedakan, kebaikan yang membuat kita lebih unggul satu sama lainnya. Lantas Ia sebut, “Janganlah menghina suatu kaum, sebab bisa jadi kaum itu lebih baik dari yang menghina”.
Dalam suatu ayat juga disebut bahwa kepercayaan kepada Allah menjadi sebab dibukakanNya keberkahan (kesejahteraan, kekayaan, dll), baik dari langit maupun bumi. Di banyak tempat, Allah juga memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada siapapun; manusia (suku, ras, dan agama apapun), hewan, tumbuhan, bahkan kepada benda mati sekalipun. Itu sebabnya mengapa ada perintah, larangan, dsb. Bagian mana dari ajaran agama yang membuat kita terancam, sedangkan tujuan syariat melindungi hak mulai dari hak beragama hingga sucinya keturunan?
Sebagai contoh, dalam hal menyerahkan kepercayaan atau amanah, Allah menyuruh kita agar menyerahkannya kepada yang ahli. Hal ini amat sangat berguna dalam hal pemilihan Pemimpin di level manapun. Di antara keahlian (atau yang berhak atas amanat tersebut) adalah berilmu, adil (ke yang miskin juga yang kaya), tegas (bukan kasar), bijaksana, dan rentetan syarat lainnya. Ini nilai yang umum namun ternyata diambil dari agama. Lalu, mengapa terlalu anti dengan agama?
Mereka yang mengerti agama namun ternyata korupsi, ngebom, miskin, dan sebagainya, bukan karena mereka taat kepada agama, justeru sebaliknya, mereka ingkar. Apapun yang dijadikan contoh dari kegagalan agama dalam memberi solusi, sama sekali tidak logis, di luar nalar, dan tidak nyambung. Nilai luhur ajaran agama tentang toleransi, larangan membunuh pemuka agama sekalipun dalam perang, tidak memaksa orang lain untuk masuk Islam, kita dapati itu semua dalam Islam. Lalu, nilai ini diadopsi, dan pertanyaannya pantaskah kita mengatakan agama yang membuat kehancuran? Bagaimana kita bisa mengatakan, kalau Indonesia menjadi negara agama, maka akan mengalami kehancuran?
Terkait pilihan faunding father kita, kalaupun ada yang menyebutnya sebagai kekeliruan pada saat itu, maka paling tidak itu merupakan kekeliruan yang ternyata benar di hari ini. Dan itu berdasarkan musyawarah dimana Islam menyeru kita untuk bermusyawarah dalam setiap urusan. Jadi, bukan mereka meninggalkan agama dan memilih pancasila, justeru model negara lebih banyak diserahkan pada ijtihad manusia oleh agama. Toh pemuka segala agama ada di sana dan turut memberi sumbangan terhadap dasar Negara. Dan hasilnya, meski bukan negara agama, namun Indonesia merupakan negara yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Indonesia dan agama itu sejalan, sedangkan agama dan kehancuran saling bertolak belakang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H