Mohon tunggu...
LOEDY JALALUDIN RUMI
LOEDY JALALUDIN RUMI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Kimia Universitas Islam Negeri Jakarta. Tertarik untuk meneliti isu-isu sosial, agama dalam sudut pandang mahasiswa dan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Penilaian Climate Action Tracker Terhadap Indonesia: Seberapa Serius Indonesia Dalam Menangani Krisis Iklim

5 Juli 2024   19:30 Diperbarui: 5 Juli 2024   19:41 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah diantara kalian yang ada mengetahui mengenai Climate Action Tracker? sebetulnya apa itu Climate Action Tracker? dan apakah kalian mengetahui tentang penilaian Climate Action Tracker terhadap indonesia yang sangat tidak mencukupi atau masih sangat rendah?. Jadi, Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati paling kaya, memiliki tanggung jawab besar dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. 

Climate Action Tracker (CAT), sebuah lembaga independen yang mengevaluasi komitmen dan tindakan negara-negara terhadap perubahan iklim, memberikan penilaian yang kritis terhadap Indonesia. Dalam analisis terbaru mereka, CAT menyatakan bahwa aksi iklim Indonesia masih jauh dari memadai. Mari kita telusuri lebih dalam mengapa Indonesia menerima penilaian yang kurang menguntungkan ini dan apa yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya.

Indonesia telah menunjukkan komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui berbagai kebijakan dan program. Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 29% dengan usaha sendiri dan hingga 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Namun, CAT menilai bahwa target ini masih tergolong "Highly Insufficient" atau sangat tidak memadai untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5C sebagaimana yang diamanatkan oleh Paris Agreement.

Salah satu masalah utama adalah implementasi kebijakan di lapangan. Indonesia masih menghadapi tingkat deforestasi yang tinggi, yang berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca. Meskipun pemerintah telah berkomitmen untuk menurunkan deforestasi, kenyataannya praktik pembalakan liar dan konversi hutan menjadi lahan perkebunan, terutama untuk kelapa sawit, masih berlangsung dengan cepat. Deforestasi ini tidak hanya merusak habitat alami tetapi juga mengurangi kapasitas penyerapan karbon hutan, memperburuk krisis iklim.

Disisi lain Indonesia juga adalah salah satu produsen dan eksportir batu bara terbesar di dunia. Ketergantungan ini tercermin dalam kebijakan energi nasional yang masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, khususnya batu bara, untuk memenuhi kebutuhan energi domestik. Pemerintah memang telah mengumumkan rencana untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 23% pada tahun 2025, tetapi hingga saat ini, kontribusi energi terbarukan masih sangat kecil dibandingkan total energi yang digunakan.

Penggunaan batu bara yang masif ini tidak hanya berdampak buruk terhadap lingkungan tetapi juga menempatkan Indonesia di jalur yang bertentangan dengan komitmen global untuk mengurangi emisi karbon. Transisi menuju energi bersih membutuhkan kebijakan yang lebih tegas dan insentif yang kuat, yang sayangnya masih belum terlihat cukup di Indonesia.

Selain dari alasan diatas yang menjadi dasar mengapa lembaga CAT memberi penilaian yang sangat rendah terhadap Indonesia CAT juga menyoroti kurangnya ambisi dalam kebijakan iklim Indonesia. Target yang ditetapkan dalam NDC dinilai tidak cukup ambisius untuk mencapai tujuan jangka panjang. Untuk benar-benar berkontribusi dalam upaya global menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5C, Indonesia perlu menetapkan target yang lebih ambisius dan memastikan implementasinya yang efektif. Hal ini memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai sektor, termasuk energi, transportasi, dan industri.

Salah satu faktor dari masalah pendanaan juga menjadi salah satu hambatan utama dalam aksi iklim Indonesia. Investasi dalam teknologi hijau dan infrastruktur ramah lingkungan memerlukan biaya yang sangat besar. Meskipun ada dana internasional yang tersedia untuk membantu negara-negara berkembang, akses dan distribusi dana ini sering kali tidak optimal. Indonesia perlu memperkuat upayanya dalam mengakses pendanaan internasional dan mengalokasikan sumber daya domestik dengan lebih efisien untuk proyek-proyek hijau.

Selain pendanaan, transfer teknologi juga menjadi tantangan. Teknologi ramah lingkungan yang diperlukan untuk mengurangi emisi sering kali tidak tersedia atau tidak terjangkau di negara berkembang. Indonesia perlu meningkatkan kerjasama internasional untuk mendapatkan akses terhadap teknologi tersebut dan mengembangkan kapabilitas domestik dalam menerapkan teknologi hijau.

Meskipun ada banyak tantangan, beberapa langkah positif telah diambil oleh Indonesia. Pemerintah telah meningkatkan anggaran untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta meluncurkan inisiatif-inisiatif untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan. Beberapa daerah juga mulai mengadopsi kebijakan hijau yang inovatif, seperti pengembangan kota hijau dan transportasi berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun