(Tulisan diambil dari website pribadi: www.jessicafarolan.com)
Tidak terasa, komunitas stand up comedy sudah hampir genap berusia 3 tahun sejak meledak pertama kali pada Juli 2013. Selama hampir 3 tahun, saya mengamati perkembangan stand up comedy di Indonesia. Pesat. Dalam 3 tahun stand up comedy mampu mengangkat banyak nama yang tadinya hanya dikenal oleh sedikit orang menjadi dikenal oleh ribuan orang. Sebut saja beberapa di antaranya, Pandji Pragiwaksono, Ernest Prakasa, Sammy Notaslimboy.
Sebagai penikmat dan pelaku stand up comedy, saya mengamati apa yang disebut persona dan bit dari banyak komika. Tidak hanya komika yang berasal dari SUCI Kompas TV, tetapi juga dari Metro TV dan mungkin juga dari beberapa show atau open mic.
Sebagai penikmat, saya sih suka dengan banyak komika. Saya menikmati hampir semua genre materi yang dibawakan oleh banyak komika. Mulai dari yang serius (berisi pesan dan kritik sosial, politik) sampai yang genre-nya pop (boyband, girlband, galau, jomblo, relationship).
Sebagai pelaku, saya mengamati sesama komika. Bukan hanya materi, tapi juga motivasi mereka menjadi seorang komika. Bagi saya, motivasi mereka tercermin dari perilaku yang ditampilkan mereka ketika on stage maupun off stage; dari materi-materi yang mereka bawakan maupun dari perilaku / sikap mereka ketika tidak sedang melakukan stand up routines.
Sejauh yang saya amati, saya melihat seorang komika melakukan seni stand up comedy karena:
- Ingin berkarya di dunia stand up comedy,
- Ingin menciptakan sebuah perubahan dengan mengkritisi atau menceritakan kegelisahan dirinya terhadap kondisi sosial/politik,
- Ingin eksis atau popular.
Sebelum menentang atau menegasi pendapat saya di atas, coba baca lebih lanjut penjelasan saya.
Ketiga hal di atas tidak bisa benar-benar terpisah satu sama lain. Maksud saya, semulia-mulianya seorang komika yang hanya ingin memberikan kritik yg konstruktif, pasti menikmati eksistensi dan popularitas dia sebagai komika. Dan bukan tidak mungkin ia menjadi ingin berkarier sebagai seorang komika.
Tapi, yang saya ingin bahas di sini adalah motivasi utama.
Saya kenal dengan beberapa komika yang memang ingin menjadi seorang komika karena suka. Karena terinspirasi oleh komika dalam maupun luar negeri. For these people, being comedian is not a job. It’s their calling. Sama seperti ketika Anda seorang penyanyi dan Anda menjadi penyanyi karena Anda suka menyanyi. Mereka menjadi komika karena mereka memang ingin berkarya di dunia stand up comedy.
Saya juga mengenal komika dengan motivasi utama yang berbeda. Seorang komika yang motivasi utamanya adalah menciptakan perubahan melalui kritik biasanya mengkritik dengan konstruktif. Artinya, dia akan membuat kita berpikir atau terilhami jalan keluar atau setidaknya kondisi yang seharusnya terjadi atas masalah yang dipaparkan melalui materi stand up mereka. Betul, mereka tidak lepas dari nyinyir terhadap pihak atau hal tertentu di atas panggung. Tetapi, coba perhatikan baik-baik, di akhir set mereka akan menyelipkan pesan dalam bentuk apapun sebagai solusi atau insight baru. Mereka menjadikan stand up comedy sebagai alat untuk mencapai hal yang lebih dari sekadar kepentingan dirinya. Popularitas menjadi sebuah konsekuensi logis, bukan motivasi atau tujuan utama. Hal ini tercermin dari bagaimana mereka membawa diri mereka di luar panggung. Saya cukup sering bertemu dengan komika-komika yang memiliki motivasi utama ini. They don’t try to be funny at all when I talk to them off stage. Tapi tidak jarang saya tertawa ketika berbicara dengan mereka. It feels just natural.
Di sisi lain, saya cukup sering mengamati komika-komika yang terlihat hanya ingin eksis (mencari popularitas). Mereka menjadikan stand up comedy sebagai alat pembuktian diri. Karena motivasi utama mereka adalah mendapatkan pengakuan, hal yang mereka kejar adalah sebutan komika. Mereka yang memiliki motivasi ini biasanya cukup puas ketika disebut sebagai seorang komika dan tampil di beberapa event stand up comedy.