Sejauh semenanjung Korea yang membentang, begitulah ketegangan cukup lama dirasakan dan berliku proses penyelesaiannya hingga kini. Sejak pecah perang dingin 1950, merenggangkan hubungan dua negara yang awalnya menyatu. Perang keduanya sempat menemui gencatan senjata pada tahun 1953 dan membuahkan kesepakatan zona bebas militer (DMZ). Konflik dua "bersaudara" Korea Utara dan Korea Selatan nyatanya semakin pelik dengan adanya intervensi kepentingan asing.
Tercatat sejak masih berbentuk Kerajaan Chooson hingga menjadi negara yang terpisah telah terjadi 9.000 kali invasi tentara luar negeri yang memenuhi negeri jantung Asia ini. Kerajaan Chooson (1392-1910) berada di bawah pengaruh Dinasti Ming maupun Dinasti Qing, Cina. Kemudian menjadi negara protektorat di bawah Jepang. Hingga akhirnya komunis menjangkiti Korea dengan dibentuknya Partai Komunis Korea (KCP) pertama, yang berkegiatan di Uni Soviet.
Keretakan hubungan dua negara Korea mencapai puncaknya karena perseteruan ideologi yang dimulai tahun 1948. Korea Utara di bawah "belaian" Uni Soviet (komunis) sedangkan Korea Selatan dengan Amerika Serikat (kapitalis). Sempat memicu Korea Utara melakukan invasi ke Korea Selatan pada 25 Juni 1950, dengan maksud ingin menyatukan kembali keduanya di bawah satu atap ideologi, komunis. Hal itu membuat Amerika Serikat bereaksi mendatangkan pasukan PBB untuk memukul mundur pasukan Korea Utara.
Sejarah terus bergulir mengikat negara-negara yang bertikai; Amerika Serikat, Rusia, Cina, Jepang, Korea Utara dan Korea Selatan di semenanjung Korea sehingga sering disebut konflik enam pihak. Upaya perundingan dalam pertemuan di antara mereka terus diagendakan bersama untuk mencapai normalisasi hubungan. Hubungan baik yang ingin dibangun kemudian kian bersitegang lantaran isu senjata nuklir Korea Utara tahun 1993. Per Agustus 1998 setelah pihak Amerika mencurigai adanya reaktor nuklir bawah tanah, Korea Utara terang-terangan melakukan uji coba nuklir jenis Taepodong yang diketahui berkekuatan mencapai pantai barat AS melewati Jepang. Peluncuran nuklir Korut ini mampu membuat AS ketar-ketir, bahkan juga komunitas internasional.
Menulusuri Nuklir Pyongyang
Program senjata nuklir Korea Utara bermula tahun 1950-an. Ketika, di bawah "payung" Uni Soviet, Pyongyang mulai memiliki akses teknologi, tenaga ahli dan fasilitas untuk program nuklir. Meski tahun 1985 Korut sempat menyetujui Pakta Nonproliferasi Nuklir (NPT) dan meratifikasi perjanjian dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada tahun 1992. Namun pecahnya Uni Soviet sebagai negara "naungan" dan meroketnya ekonomi Korsel setelahnya, memicu Korut menjalankan program nuklir secara terselubung walau masih menjadi anggota NPT. Hal inilah yang menjadikan krisis nuklir pertama tahun 1993-1994.
Pada tahun-tahun berikutnya, moncong negara pimpinan Kim Jong Un yang makin bernyali besar dalam beberapa kali melakukan uji coba nuklir sejak 2006 itu cukup beralasan karena ada penyokongnya; Rusia dan Cina. Namun labilnya Korut dengan senjata mematikan yang dimilikinya, sangat mengkhawatirkan masyarakat internasional karena tidak menutup kemungkinan jika salah penanganan akan membuat malang melintang kawasan rentan konflik tersebut bahkan bisa berimbas seluruh negara dunia.
Permulaan Perlombaan Senjata Nuklir Dunia
Berakhirnya Perang Dunia II akibat bom atom seolah membuka mata dunia terkait pemanfaatan energi nuklir. Para ilmuan dan insinyur mulai mengembangkan fisi nuklir menjadi energi berlimpah dan murah. Meski sebagian yang lainnya sedang menyalakan api dalam senyap dengan meneruskan program senjata pembunuh massal yang mematikan. Persaingan dan perlombaan senjata pembunuh ini pun semakin marak setelah Amerika Serikat menunjukkan kemampuan supremasinya di bidang pernukliran dengan peluncuran "Trinity" pada 1945, diikuti oleh Uni Soviet dengan pengujian bom nuklir pertamanya pada 29 Agustus 1949 yang dinamai "Joe-1". Tak ingin tertinggal, Inggris juga unjuk gigi dengan "Hurricane" pada 1952. Kemudian senjata nuklir mulai dilancarkan kawasan Asia, dipelopori Cina tahun 1964. Berlanjut India dengan "Smiling Buddha" yang mengudara pada tahun 1974. Hingga disusul oleh negara tentangganya, Pakistan. Dan tak luput Korea Utara pada Oktober 2006 juga meramaikan peta dunia dalam pernukliran.
Kerentanan kawasan Asia pasca perang dingin juga semakin memanas akibat krisis dan konflik nuklir. Negara-negara krisis konflik telah menyatakan diri menjadi negara senjata nuklir sebagai bentuk perlindungan diri terhadap lingkungan keamanan yang tidak menentu. Terutama bagian negara-negara yang terlibat persaingan historis dan sengketa teritorial. Alasan lainnya yang berkembang, karena kurangnya kepercayaan dan ketersediaan jaminan yang ditawarkan Amerika serikat terhadap sekutu-sekutunya, mengakibatkan kebutuhan untuk melakukan perbentengan dari ancaman dan pertahanan diri negara-negara berkonflik dengan menggencarkan senjata nuklir.
Otak Atik Senjata Nuklir dan Bahaya yang Mengincar
Bom atom "Little Boy" yang dijatuhkan AS di kota Hiroshima dan "Fat Man" di kota Nagasaki menimbulkan korban tewas seketika diperkirakan mencapai 200 ribu orang. Selain itu, korban tewas akibat leukimia, kanker, dan radiasi bom atom tersebut mencapai puluhan ribu orang. Hal itu belum termasuk orang-orang yang mengalami kecacatan permanen.
Tragedi besar juga pernah menimpa dunia akibat kegagalan program nuklir. Seperti kejadian pada April 1986, reaktor yang beroperasi di Chernobyl, Ukraina, dulu bagian Uni Soviet tiba-tiba meledak. Atapnya terlempar menyebabkan bahan radioaktif tumpah ke langit dan menyebar di wilayah sekitarnya. Teras reaktornya terbakar, orang-orang yang tidak mengenal bahaya radiasi nuklir, tanpa pelindung mencoba memadamkan api. Kemudian mereka jatuh sakit dan meninggal. Pemerintah Soviet mengumumkan 31 orang menjadi korban tewas mendadak dan beberapa lainnya diprediksi akan terkena penyakit parah pada bulan-bulan atau tahun-tahun berikutnya.
Satu sisi, penggunaan fisi nuklir sebagai sumber energi dinilai cukup ekonomis karena nuklir diketahui dapat memperbarui diri. Menilik PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) yang bisa diproyeksikan untuk pembangkit listrik pengganti batubara dan mengantisipasi habisnya cadangan minyak bumi. Sebaliknya, pemanfaatan energi nuklir sebagai energi terbarukan juga patut menjadi perhatian karena bahaya yang tidak tanggung-tanggung. Penggunaan nuklir untuk senjata perang dan kejadian kecelakan program nuklir telah banyak memberi pencerahan dibalik ketakutan yang semakin meningkat. Hal ini menumbuhkan para penentang sejak tahun 1960-an dari masyarakat yang sadar ancaman nuklir.
Mengaca Manifesto Einstein Tentang Nuklir
"Saya tidak tahu dengan senjata apa Perang Dunia III dilakukan, tetapi pada Perang Dunia IV peperangan akan dilakukan dengan tongkat dan batu."
(Albert Einstein)
Dikutip detiknews, sang fisikawan terkemuka dunia Albert Einstein juga sempat mengeluarkan manifesto yang dirilis pada 9 Juli 1955, menolak pengembangan senjata nuklir sebagai senjata perang. Einstein juga menyesali keterlibatan tidak langsungnya dalam proyek Manhattan pimpinan Openheimer. Proyek yang menewaskan banyak korban akibat bom atom yang pernah mengguyur Negeri Sakura tahun 1945 silam.
Memperediksikan kawasan rentan konflik dan memiliki persenjataan nuklir sewaktu-waktu bisa luluh lantak jika mereka benar-benar mengunakan nuklirnya sebagai senjata berperang. Menjadi cikal bakal kehancuran peradaban dunia. Sepertinya tepat jika merujuk pada ungkapan Einstein di atas tentang kelanjutan keilmuan program nuklir yang disalahgunakan sebagai senjata pemusnah massal karena ambisi manusia dan berakibat musnahlah peradaban maju yang telah dibangun saat ini, dan manusia yang tersisa harus mengulangi lagi peradabannya sehingga terjadi semacam siklus perputaran peradaban.
"Demi Selangkah" Upaya Penyelesaian Konflik Nuklir Dunia
Amerika Serikat meluncurkan Prakarsa Keamanan Proliferasi (PSI) pada tahun 2005, bertujuan mencegah perdagangan gelap nuklir. Sebagian besar negara Asia, termasuk Cina dan India telah bergabung dalam rencana ini. Akhir perkembangannya, Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) dan Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tengah (CANWFZ) menandatangani Deklarasi Zona Perdamaian, Kebebasan dan Netralitas (ZOPFAN).
Tokyo pada tahun 1970 dan Seoul tahun 1990-an juga serius memilih opsi meninggalkan persenjataan nuklir setelah proses panjang dalam hal pertimbangan penilaian biaya-manfaat secara keseluruhan, faktor ekonomi serta kepercayaan pada komitmen keamanan yang ditawarkan AS. Mereka memilih meninggalkan ambisi nuklirnya meski berada di wilayah rentan ancaman konstan Korea Utara dan Cina yang terus menambah kekuatan militernya.
Dikutip dari laman Kemlu, diplomasi Indonesia dalam isu nuklir difokuskan pada penghapusan total senjata nuklir dengan mendukung masyarakat internasional dalam upaya nonproliferasi dan pelucutan senjata nuklir. Negara Kepulauan itu juga menunjukkan partisipasinya dalam Nuclear Security Summit (NSS) dari tahun 2010 hingga 2016 dan menggagas inisiatif yang disebut NLIK (National Legislation Implementation Kit on Nuclear Security) sebagai model legislasi untuk memfasilitasi negara-negara dalam menyusun undang-undang yang terkait dengan keamanan nuklir, pengimplementasian perjanjian dan ketentuan IAEA. Inisiatif ini mendapat sambutan hangat oleh 29 negara peserta NSS dan PBB dalam Pernyataan Bersama tentang NLIK.
KesimpulanÂ
Warisan sejarah, sengketa teritorial, negara-negara yang terbagi, dan persaingan ekonomi berkembang hingga perbedaan ideologi terus mendefinikan lanskap geostrategis kawasan rentan konflik. Negara yang menghadapi ancaman keamanan yang serius, mempunyai sedikit jaminan keamanan atau jaminan keamanannya menurun, kalah dalam kemampuan militer konvensional, dan khawatir tentang kelangsungan hidupnya mempunyai dorongan besar untuk beralih ke senjata nuklir sebagai alternatif. Begitu juga masalah keamanan ini mencuat ketika Pyongyang tidak melihat ada teman sejati yang dapat diandalkan ketika interpretasinya tentang ancaman keamanan yang mengintai.
Upaya strategis penyelesainnya selain negosiasi multilateral, juga dibutuhkan komitmen Amerika Serikat sebagai faktor kunci yang dapat memberikan tekanan kuat dan sanksi (ekonomi, kemungkinan tindakan militer dan isolasi diplomatik) untuk negara yang masih "bandel" mengupayakan program senjata nuklir. Menciptakan pandangan positif terhadap manfaat menganut norma nonproliferasi, memberikan dorongan kuat untuk mematuhi aturan tiga pilar NPT (pelucutan senjata nuklir, non-proliferasi nuklir dan penggunaan energi nuklir secara damai). Komitmen ini perlu terus didukung dan dilakukan untuk mencapai konsensus keamanan dan perdamaian di Semenanjung Korea, bahkan dunia.
Referensi:
https://news.detik.com/berita/d-7430185/einstein-pernah-tolak-senjata-nuklir-demi-hentikan-perang
Ismail, dkk. 2024. Maju Mundur Penghentian Program Nuklir Korea Utara. Tempo Publishing.
Ismail, dkk. 2024. Menanti Komitmen Anti Nuklir Korea Utara. Tempo Publishing
Ratino. 2016. Otak Atik Taktik Senjata Nuklir. Yogyakarta: Aksamaraya.
Saadia, dkk. 2021. Politik Nuklir Asia: Handbook Hubungan Internasional ASIA. Nusamedia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H