Mohon tunggu...
Eliza WendraFebriana
Eliza WendraFebriana Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswi S1 Administrasi Negara, UIN Suska Riau

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ada Apa dengan Etika Pejabat Publik? Pengabaian Kode Etik Pejabat Publik dalam Problematika Korupsi

30 Desember 2022   02:24 Diperbarui: 30 Desember 2022   02:24 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Etika kerapkali di samakan dengan moral, perilaku, sikap, tingkah laku, dan perbuatan. Secara lebih luasnya, Etika dapat diartikan sebagai sebuah tata cara bagaimana seseorang melakukan perbuatan dan aturan dalam bersikap serta bertingkah laku, yang mana adanya nilai-nilai yang melandasinya dari kebiasaan yang merefleksikan apa yang baik dan buruk dilakukan. Secara singkatnya etika atau kode etik merupakan acuan standar penilaian dari baik dan buruknya sesuatu perbuatan dan perilaku.

Jika dikaitkan dengan Administrasi Publik, maka etika dipergunakan sebagai controlling bagi para administrator publik. Dalam hal ini etika juga berperan kepada para pejabat publik ataupun birokrat. Etika di jadikan barometer baik dan buruknya tindakan-tindakan yang dilakukan para pejabat publik, bahkan menjadi barometer dalam menjalankan wewenangnya, fungsi-fungsinya maupun kebijakan yang dibuatnya. Bagi para pejabat publik ada standar etika atau kode etik yang harus di implementasikan dalam melaksanakan tugasnya. Adapun standar etika pejabat publik : 1) kepatuhan pada ajaran agama, seorang pejabat publik harus taat pada ajaran agama yang dianutnya sebagaimana dasar negara sudah menjelaskan dalam sila pertama Pancasila. 2) Patuh terhadap sumpah dan janji yang telah di ucapkan. 3) Patuh terhadap aturan yakni peraturan perundang-undangan. 4) perilaku yang menjadi protector bagi bawahannya dan juga masyarakat. 5) Selalu bersikap dan berkata jujur. 6) Mempunyai watak sebagai seorang pelayan dan penunjuk arah serta penerang bagi masyakatnya. 7) Bersikap sebagai integrator sosial.

Standar etika ini mengarahkan para pejabat publik untuk menyelenggarakan roda pemerintahan dengan baik dan tertib. Namun adanya problem dalam pengimplementasian etika pejabat publik ini yang kerap kali dibicarakan dan sudah seperti budaya yang terjadi di negara kita, yakni korupsi. Adanya penyimpangan dalam praktek salah satu etika pejabat publik yaitu selalu bersikap dan berkata jujur. Korupsi merupakan salah satu bentuk ketidakjujuran dalam perbuatan yang dilakukan para pejabat publik. Pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang memberikan penjabaran mengenai Korupsi. Menurut Undang-undang ini korupsi merupakan tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang dapat berakibat merugikan negara atau pereokonomian negara. Tidak hanya itu para ahli juga mengkaji mengenai maksud dari korupsi. Salah satunya mendefiniskan bahwa Korupsi merupakan suatu tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpangan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan untuk pribadi atau golongannya sehingga secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara atau masyarakat. (Juniadi Suwartojo, 1997)

Dilansir dari Tranprancy International, yang mana organisasi ini mengukur tingkat korupsi suatu negara melalui dari berbagai persepsi (anggapan) terhadap pemerintah atau pejabat publik. Pada tahun 2021 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia adalah 3,83. Namun pada tahun 2022 adanya penurunan sebesar 0,03 poin terhadap Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menjadi 3,80. Penurunan ini bukan bermakna baik, melainkan dengan adanya penurunan poin ini, maka adanya penurunan dalam persepsi (anggapan) masyakarat terhadap kepercayaan publik kepada para pejabat publik atau pemerintah. Dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang di lakukan oleh Tranparancy International mengukapkan bahwa jika nilai indeks dari suatu negara mendekati angka 5 menunjukkan bahwa masyarakat suatu negara berperilaku semakin antikorupsi, sebaliknya jika nilai indeks  suatu negara semakin mendekati angka 0 menunjukkan bahwa masyarakat di suatu negara tersebut semakin berperilaku permisif terhadap korupsi.

Problematika yang terjadi dari tahun ke tahun tanpa adanya penyelesaian yang pasti, membuat masyarakat semakin tidak percaya terhadap pejabat publik. Kasus-kasus korupsi yang sering kali terjadi tidak lagi menjadi yang sorotan di masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap problematika ini sudah hal yang lumrah terjadi dikalangan pejabat publik. Walaupun sebenarnya yang membuat tindakan korupsi adalah oknum-oknum saja namun persepsi masyarakat hanya melihat dari indentitas diri sebagai pejabat publik.

Pada tahun 2022, KPK memberikan informasi mengenai kasus korupsi, bahwa dalam semester pertama tahun 2022 ini KPK telah melakukan 66 penyelidikan, 71 penuntutan, 60 penyidikan, 59 perkara inkracht dan mengeksekusi putusan 51 perkara. Jika dirinsi lagi, perkara yang berjalan pada semester pertama tahun 2022 ini sebanyak 99 kasus yang terdiri 63 kasus carry over dan 36 kasus baru dengan 61 sprindik yang diterbitkan. Maksud dari carry cover adalah kasus yang sudah berlangsung lama namun kemudian dikembangkan oleh KPK dan ditentukan dugaan tindak pidana korupsi lainnya.

Selain itu, KPK juga telah melakukan 52 kali penggeledahan dan 941 penyitaan dalam proses penyidikan perkara. Pada tahun 2022 semester I, adanya pemulihan kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi atau asset recovery sebesar Rp. 313,7 miliar. Total ini terdiri dari beberapa pembagian yaitu Rp. 248,01 miliar pendapatan uang sitaan hasil korupsi, tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan uang pengganti yang diputuskan atau ditetapkan oleh pengadilan. Sebesar Rp. 41,5 miliar merupakan pendapatan dari denda dan penjualan hasil lelanh korupsi dan TPPU, serta Rp. 24,2 miliar pendapatan yang berasal dari penetapan status penggunaan dan hibah. Pencapaian angka asset recovery pada tahun ini meningkat dari tahun dan periode sebelumnya sebesar 83,2 %. Tahun 2021 semester 1 angka asset recovery KPK sebesar Rp. 171,23 miliar.

Data-data yang dipaparkan menggambarkan bahwa negara kita masih bergelut dengan permasalahan yang sudah cukup lama namun belum tertuntaskan sampai saat ini. Permasalahan ini terus terjadi disetiap tahunnya seperti budaya yang menjadi warisan turun temurun. Sepatutnyakah jika kita melestarikan budaya tersebut. Sungguh ironis sekali bukan jika sesuatu hal yang tidak baik menjadi budaya bagi negara kita tentunya itu sangat merugikan bagi masyarakat bangsa dan negara.  Lalu apakah yang faktor penyebab terus terjadinya korupsi? Apakah kode etik pejabat publik terlalu rumit untuk di realisasikan? Atau bentuk suatu pengabaian terhadap etika pejabat publik?

Jika ditanya apa yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi tentu berbagai alasan yang di pergunakan. Namun secara umumnya faktor penyabab dari korupsi dikenal dengan teori GONE. Teori GONE ini dikemukakan oleh Jack Bologna yang merupakan singkatan dari Greedy (Keserakahan), Oppurtunity (kesempatan), Need (Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan).

Alasan seseorang korupsi bisa beragam, namun secara singkat dikenal dengan teori GONE untuk menjelaskan faktor penyebab korupsi. Teori GONE yang dikemukakan oleh penulis Jack Bologna adalah singkatan dari Greedy (Keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan). Keserakahan terhadap sesuatu hal merupakan sifat yang umum pada manusia. Ketidakpuasan yang merasuk ke dalam jiwanya membuat untuk terus menggali kesempatan yang ada. Dilihat dari kebutuhan-kebutuhan hidup yang semakin hari tidak terbatas membuat rasa ketidakpuasaan merajalela dan merasuk kalbunya. Ditambah lagi dalam pengungkapan kasus yang lemah  dalam penegak hukum, menindaklanjuti tindak pidana korupsi dan efek jera yang masih lemah terhadapnya.

Alasan dari para koruptor yang melakukan tindak pidana juga merupakan bentuk pengabaian dari kode etik pejabat publik. Artinya kurangnya pemahaman yang mendalam akan moral dan nilai-nilai yang terkandung ke dalam kode etik pejabat publik. Kode etik pejabat publik dibuat tidak untuk diabaikan, tetapi untuk direaliasasikan kepada seluruh pejabat publik. Pejabat publik harus benar paham terhadap kode etik yang telah dibuat agar terlaksananya roda pemerintahan yang baik, bersih dan tertib. Pengabaian etika dalam birokrasi pemerintah hanya membuat problematika yang lebih rumit lagi. Tata Kelola pemerintah yang baik dan bersih tidak hanya impian dari pejabat publik sebagai pemimpin negara tetapi juga impian dari masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun