Mohon tunggu...
Elizah Nursifah
Elizah Nursifah Mohon Tunggu... Penulis - Student of International Relation (IR)

“You can always edit a bad page. You can’t edit a blank page.” ― Jodi Picoult

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Perspektif Realisme terhadap Konflik Indonesia-China di Perairan Natuna

14 Maret 2020   04:10 Diperbarui: 10 April 2020   21:38 2687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Beberapa waktu yang lalu, Indonesia dihebohkan dengan kedatangan kapal kapal asing tak di undang milik China di Perairan Natuna. Tak hanya memasuki kawasan RI, China juga dengan sengaja mengambil kekayaan laut di Perairan Natuna tanpa izin. Walau Indonesia telah melakukan sejumlah hal termasuk memprotes tindakan mereka, tetapi China tetap saja tidak mau hengkang dan mengajukan klaim atas sebagian wilayah Natuna dengan  beralasan bahwa sebagian Perairan Natuna adalah tempat penangkapan ikan Tradisional bangsa mereka. Di sisi lain, Indonesia tidak mau kalah dan menunjukkan bukti sah berupa pengakuan UNCLOS atas wilayah Natuna. Lalu, bagaiman kacamata Realisme melihat Konflik Indonesia-China ini?


Realisme merupakan salah satu paham dalam Hubungan Internasional yang cenderung berprasangka buruk terhadap sifap manusia, bahwa manusia iri, dengki, dan selalu egois mementingkan diri sendiri sehingga menyebabkan konflik, kompetisi hingga perang yang diakibatkan sifat dasar manusia tersebut (Sorensen, 2004). Negara sendiri dibaratkan sebagai manusia , karena pada dasarnya negara dibuat oleh manusia sehingga memiliki sifat negatif manusia  seperti keinginan untuk menguasai.


Dalam persoalan China-Indonesia di perairan Natuna kemarin, saya berpendapat bahwa Cina lebih mementingkan Tujuan mereka dengan memasukki wilayah Indonesia serta melakukan hal hal terlarang yang berpotensi merusak kedaulatan negara Indonesia daripada menghargai moral negara tersebut. Cina merupakan salah satu negara yang menendatangani UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), yang sering disebut konvensi PBB tentang hukum laut (Kevin, 2020). Hingga kini, tak kurang dari 158 negara yang telah menyatakan bergabung dengan Konvensi ini. Indonesia sendiri sudah meratifikasi Konvensi ini melalui UU No. 17 Tahun 1982 (Qorib, 2020). Konvensi ini tentunya memiliki arti penting bagi Indonesia yang telah berjuang selama 25 hingga mendapatkan pengakuan resmi masyarakat Internasional. Termasuk dalam ketentuan Konvensi adalah ZEE (Zona Eksklusif Indonesia) Indonesia di wilayah perairan Natuna (Qorib, 2020). Kali ini kapal kapal Cina berani memasuki serta melakukan eksploitasi di sana. Tak hanya itu, Cina juga bersikeras tak melanggar apa apa. Nine dash lina atau sembila garis putus putus sebagai wilayah penangkapan ikan Tradisional menjadi klaim cina atas Natuna.


Berdasarkan peta Nine Dash Line, terlihat bahwa klaim China mencangkup 90% atau hampir seluruh wilayah perairan laut China Selatan. Adanya pengklaiman ini didasarkan fakta sejarah bahwa sejak era Dinasti Han (Setiaji, 2020), bangsa China sudah menlakukan ekspedisi laut ke kepulauan Spratly dan para nelayan  serta pedagang sudah bekerja dan menetap di wilayah tersebut. Klaim ini juga diperkuat dengan  dikeluarkannya peta sembilan garis putus-putus pada tahun 1947 dan Mei 2009 (Kevin, 2020). Namun begitu, Mahkama Arbitrase Internasional atau a Permanenet Court of Arbitration (PCA) yang merupakan kelembagaan hukum di bawah PBB menyatakan tidak pernah mengakui bukti sejarah tersebut.


Malaysia, Brunei Darusalam, Vietnam dan Filipina menganggap klaim atas wilayah di Laut China Selatan atas wilayahnya di laut China Selatan tidak berdasar karena hanya mengacu pada faktor sejarah dan tidak ada persetujuan tertulis (Kevin, 2020). Ini membuat klaim China menjadi Subjektif dan tidak sesuai tata pergaulan Internasional. Indonesia sendiri melalui keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri pada 1 Januari 2020 mengatakan bahwa klaim historis RRT atas ZEE dengan beralasan bahwa para nelayan China yang telah lama melakukan aktifitas di perairan tersebut bersifat unilateral atau sepihak, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982 (Kevin, 2020).
Posisi Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB cukup kuat untuk menegakkan komitmen atas hukum Internasional, apalagi dengan mempertimbangkan segala bukti yang ada. Apalagi China yang merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB harusnya memberi contoh untuk menjamin keamanan dan perdamaian Internasional (Qorib, 2020).  
Dalam perspektif Realisme, tindakan yang dilakukan China mendapatkan beberapa pembenaran. Pembenaran dalam hal apa? Berikut saya paparkan analisi perspektif Realisme terkait konflik Indonesia-China di perairan Natuna :


1. Adanya Security Dilemma
Seperti yang kita ketahui, beberapa waktu lalu, sejak awal kemunculan kapal kapal penangkap ikan China di Laut Natuna, turut hadir juga beberapa kapal berukuran raksasa yang menjadi kapal penjaga Pantai China. Sebelumnya juga terdengar kabar bahwa China sempat menambah jumlah kapal raksasa tersebut berjumlah dua (CNN Indonesia, 2020). Menanggapi hal tersebut, pemerintah menghadirkan kapal perang TNI Angkatan Laut (AL) di wilayah perairan Natuna Utara. Walau banyak pihak yang menganggap langkah yang diambil Indonesia kurang tepat seperti yang dikatakan pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. Ia mengatakan sejumlah negara negara terkejut dengan cara Indonesia mengirim kapal TNI di Laut Natuna. Dalam persoalan ini, ia mengaku dapat memahami kondisi RI. Karena, kapal coast guard yang miliki Indonesia tidak terlalu besar (Prabowo, 2020).
Dalam perspektif realisme, persoalan ini dapat dijelaskan menggunakan konsep security dilemma yang merupakan salah satu inti dari paham Realisme. Security dillema adalah keadaan dimana apa cara yang ditempuh suatu negara bisa memicu lahirnya konflik (Herz, 1951). Di persoalan laut Natuna ini, kita sudah mengetahui bahwa yang pertama memasukki kawasan Indonesia dengan kapal raksasanya adalah China yang mana menimbulkan dillema keamanan bagi Indonesia. Dampaknya, Indonesia mengeluarkan kapal TNI sebagai dalih untuk menjaga hak kedaulatan negara.
Jadi, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kemandirian negara untuk mengurus keamanannya sendiri, entah apapun niatnya, cenderung memicu ketidaknyamanan bagi negara lain, apalagi jika di negara tersebut berseteruh langsung atau pernah berseteruh sebelumnya karena saat satu negara melakukan sesuatu yang mana tindakannya hanya dimaksudkan untuk pertahanan. Negara lain mungkin melihat hal tersebut sebagai bentuk perlawanan (Herz, 1951)


2. Adanya Keinginan untuk Menguasai
Konflik Indonesia-China di perairan Natuna sesungguhnya bukan hal yang baru. Seperti yang saya paparkan diatas, terlihat betapa ambisiusnya China untuk mengklaim sebagian laut Natuna. Tanggapan yang dilontarkan pemerintah China pun tetap sama yaitu rasa tidak bersalah dan terus mengatakan sebagian perairan Natuna adalah lokasi penangkapan ikan tradisional berbentuk U yang dikenal dengan sembilan Garis Putus Putus atau Nine Dash Line. Lantas apa yang membuat China begitu ingin menguasai perairan Natuna walau sebenarnya mereka tahu bahwa Indonesia mempunyai dasar hukum yang sah sebagai perlindungan untuk mempertahankan hak kedaulatannya?
Pakar Hukum Laut Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta I Made Andi Arsana Mafhum mengatakan bahwa China tidak akan berhenti berbuat ulah untuk mengklaim Natuna. Pasalnya, kawasan tersebut memang kaya akan potensi sumber daya alam. Menurutnya, ada tiga potensi yang ia yakini menarik perhatian yaitu kekayaan sumber daya perikanan dan bawah laut, kandungan minyak dan gas (migas), dan yang terakhir Natuna sebagai jalur perdagangan strategis yang diperkirakan menjadi rute utama bagi sepertiga pelayaran dunia (Thomas, 2020). Dengan ketiga potensi tersebut pantaslah China "ngiler" untuk menguasai potensi yang ada sehingga Konvensi UNCLOS pun tidak mereka hiraukan. Walaupun, China adalah salah satu anggota tetap UNCLOS yang seharusnya memberikan teladan bagi negara lain di dunia.


Menurut morgenthau, seorang  tokoh politik Internasional ternama pada abad ke-20, dalam bukunya Politik Among Nations, menekankan pentingnya "kepentingan nasional". Lebih lanjut ia mengatakan bahwa realitas atau kenyataan yang terjadi saat ini adalah pertempuran untuk mencari kekuasaan "struggle over power" yang mana berkaitan dengan sifat dasar manusia yang ingin berkuasa atas satu sama lain"power is the goal". Lebih lanjut, kaum Realis mengatakan bahwa kepentingan adalah sebuah kekuasaan, "power is every state's intersest". Hasilnya demi mendapatkan kepentingan nasional yang berbeda, bisa jadi saling bertentangan dan konfliktual (Morgenthau, 1948)
Kita dapat ambil contoh pada konflik ini dimana China berusaha memasuki dan mengambil kekayaan laut Indonesia . Walaupun, sebenarnya mereka tahu betul tindakan mereka salah karena klaim mereka tidak diakui oleh masyarakat Internasional dan Indonesia sendiri memiliki dasar hukum yang sah. China mengklaim bahwa wilayah tersebut menjadi lokasi penangkapan ikan tradisional, tetapi hal tersebut tidak pernah diakui oleh UNCLOS sedangkan China sendiri menjadi salah satu dewan tetap keamanan UNCLOS, sudah seharusnya China sendiri yang memberi contoh yang baik kepada negara negara lain. Ini sama dengan kaum Realis yang mengatakan bahwa satu satunya aktor dalam sistem Internasional adalah negara. Aktor aktor lain cenderung tidak dihiraukan karena tidak ada otoritas yang lebih tinggi daripada negara itu sendiri.

Referances :

CNN Indonesia. (2020, Januari 7). China Kirim 2 Kapal Coast Guard Tambahan ke Natuna. 

Dipetik Maret 10, 2020, dari CNN Indonesia: https://m.cnnindonesia.com


Herz, J. H. (1951). Political Realism and Political Idealism. Chicago: Cambridge University Press .


Kevin, A. (2020, January 5). China Ngotot Klaim Natuna, Ada Harta Karun di Natuna. Dipetik Maret 10, 2020, dari CNBC: https://www.cnbcindonesia.com/news/20200105172154-4-127775/china-ngotot-klaim-natuna-ada-harta-karun-di-natuna


Morgenthau, H. J. (1948). Politivs Among Nation. New York: Cambridge University Press.


Prabowo, D. (2020, Januari 12). Hikmahanto : Dunia Internasional Heran, Kapal TNI Bersiaga di Perairan Natuna. Dipetik Maret 12, 2020, dari KOMPAS.com: https://nasional.kompas.com/read/2020/01/12/18162211/hikmahanto-dunia-internasional-heran-tni-bersiaga-di-perairan-natuna?page=all


Qorib, F. (2020, januari 9). Kenali UNCLOS, Dasar Hukum Internasional untuk Kedaulatan Indonesia di Natuna. Dipetik maret 10, 2020, dari HUKUMONLINE.COM: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e16f5b67589c/kenali-unclos--dasar-hukum-internasional-untuk-kedaulatan-indonesia-di-natuna


Setiaji, H. (2020, januari 3). Panas Dingin Indonesia dan China di Natuna. Dipetik maret 10, 2020, dari CNBC INDONESIA: https://www.cnbcindonesia.com/news/20200103105059-4-127361/panas-dingin-indonesia-dan-china-di-natuna/1


Sorensen, J. &. (2004). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Thomas, V. F. (2020, Januari 9). Kekayaan Laut Natuna & Alasan Kenapa Cina Selalu Mengklaimnya. Dipetik Maret 10, 2020, dari tirto.id: https://tirto.id/kekayaan-laut-natuna-alasan-kenapa-cina-selalu-mengklaimnya-erpk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun