Mohon tunggu...
Elizabeth Natasha
Elizabeth Natasha Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Perkenalkan nama saya Natasha!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Operasi Kelamin pada Anak Harus Dimusnahkan: Dilema Etis atau Kebenaran Tersembunyi?

11 November 2024   10:56 Diperbarui: 11 November 2024   10:57 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Kalian pasti kenal dengan Lucinta Luna yang mengaku menjadi transgender dan melakukan operasi kelamin. 

Nah, sama seperti Lucinta Luna, seorang anak dari US bernama Chloe Cole yang menjalani operasi kelamin di umur 15 tahun. Pada akhirnya Ia menyesal dan pada umur 16 melakukan transisi balik.

Operasi kelamin adalah prosedur pembedahan medis yang dilakukan untuk mengganti organ kelamin untuk mengubah gender. Sebelum operasi dilakukan, psikolog akan memberikan evaluasi kesehatan mental untuk melakukan penilaian mengenai gender identity disorder. Setelah itu, akan diberikan terapi hormon estrogen untuk pria dan hormon testosteron untuk wanita. Administrasi hormon tersebut diberikan untuk memunculkan karakter gender yang diinginkan. Secara singkat, pembedahan dilakukan dengan mengangkat atau menghilangkan organ kelamin. Bagi perempuan biologis, payudara, rahim, ovarium, dan tuba fallopi. Sementara bagi laki-laki biologis, testis, dan penis. Beberapa operasi pengangkatan organ kelamin adalah hysterectomy, vaginectomy, orchiectomy, dan penectomy. Setelah pengangkatan akan dilakukan operasi perangkaian organ kelamin seperti operasi phalloplasty, scrotoplasty, vaginoplasty, dan vulvoplasty.  

Bayangkan jika hal ini dilakukan terhadap anak-anak. Ngeri bukan?

Tetapi, kenapa ada orang yang memutuskan untuk operasi kelamin?

Gender dysphoria merupakan salah satu penyebab fenomena operasi kelamin terjadi. Gender dysphoria merupakan rasa tidak nyaman ketika seseorang merasa bahwa jenis kelamin biologis yang dimiliki bertentangan dengan kepribadiannya. Orang dengan gangguan tersebut memiliki keinginan untuk menghilangkan alat kelamin yang dimiliki sejak lahir dan mengganti dengan alat kelamin yang berlawanan. Solusi yang ditawarkan oleh dunia adalah untuk melakukan operasi kelamin.

Operasi kelamin akan terlihat "manis" atau "sempurna" secara penampilan fisik. Secara medis, operasi ini memiliki efek samping negatif bahkan komplikasi. Secara fisik, efek samping negatif pasca operasi adalah pendarahan, seroma, necrosis, penggumpalan darah, dan masalah pada saluran kemih. Pendarahan dapat terjadi karena  saat prosedur pengangkatan, suatu organ dipangkas dan diangkat, sehingga terdapat luka yang mayor pada tubuh. Infeksi dapat terjadi karena luka atau insisi yang disebabkan oleh kuman yang menempel. Masalah pada saluran kemih berupa inkontinensia dan infeksi saluran kemih. Secara psikis, persentase bunuh diri dan gangguan mental meningkat setelah transisi. 

Otak anak-anak, bahkan remaja belum sampai pada fase akhir perkembangan prefrontal cortex. Dimana prefrontal cortex kelompok usia tersebut masih berkembang, sehingga belum sepenuhnya mampu untuk membuat rencana, membuat keputusan, dan mengendalikan emosi. Menurut Psikolog Yashinta prefrontal cortex adalah "bagian otak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan pengendalian diri, yang dikenal sebagai prefrontal cortex, masih dalam tahap perkembangan selama masa remaja. Ini menjelaskan mengapa mereka sering kesulitan membuat keputusan yang matang. (Sukeresminingsih & Mulyawati, 2024)"  Kasus tertentu menyatakan bahwa anak/remaja memilih untuk melakukan transisi kembali ke jenis kelamin awalnya. Dengan fakta tersebut, anak-anak belum siap untuk membuat keputusan tentang jenis kelamin mereka. Keadaan otak yang belum matang berkembang seharusnya menjadi pertimbangan bahwa pendirian anak-anak juga belum siap. Mereka belum siap untuk menentukan untuk mengubah sesuatu bagian esensial yang melekat erat dalam hidup. Ketika operasi ini dilaksanakan, tidak ada jalan untuk putar balik. Efek negatif yang timbul pasca operasi baik secara fisik maupun psikis sama-sama merugikan dan berpotensi berujung pada kematian.

Apakah etis untuk melakukan operasi ini pada anak-anak dibawah umur? "Do no harm" merupakan sumpah yang dipegang oleh tenaga medis. Operasi kelamin justru menimbulkan ancaman dan efek negatif yang melebihi rasa puas. Jika banyak anak/remaja yang menyesal pasca operasi dan memilih untuk transisi kembali, maka operasi kelamin bukanlah solusi yang tepat. Namun, di satu sisi lain, pelarangan terhadap operasi ini merupakan tindakan diskriminatif dan penolakan perawatan medis. 

Pada akhirnya, laki-laki akan tetap menjadi laki-laki dan perempuan akan tetap menjadi perempuan. Manusia tidak bisa mengubah jenis kelamin secara penuh dan sempurna. Pemotongan alat kelamin yang sudah diberikan sejak lahir adalah tindakan perlawan kodrat yang sah. Data tentang tingkat menjalani operasi kelamin yang dilakukan oleh Harvard T.H. Chan School of Public Health pada 2019 menunjukan angka 2,1 per 100 000 pada anak berumur 15-17. Miris kasus anak/remaja yang terlanjur sudah mengubah dan melakukan transisi. Perlu diciptakan hukum untuk meniadakan operasi kelamin pada anak. Sehingga pada masa depan, data menunjukan angka 0 per 100 000. 

Jangan sampai kita, sebagai masyarakat yang terdidik, membiarkan kebodohan semacam ini terus terjadi. Apalagi merusak masa depan seorang anak. Buatlah dunia sadar tentang kebenaran bahwa identitas gender manusia tidak ditentukan oleh mental. Melainkan fisik secara lahiriah. 

Referensi:

  1. Professional, C. (2023a, December 13). Gender Affirmation Surgery. Cleveland Clinic. https://my.clevelandclinic.org/health/procedures/gender-affirmation-surgery 

  2. Mayo Foundation for Medical Education and Research. (2024, October 1). Masculinizing surgery. Mayo Clinic. https://www.mayoclinic.org/tests-procedures/masculinizing-surgery/about/pac-20385105#:~:text=Fluid%20buildup%20beneath%20the%20skin,in%20the%20surgically%20created%20penis .

  3. Mayo Foundation for Medical Education and Research. (2024a, May 14). Gender dysphoria. Mayo Clinic. https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/gender-dysphoria/symptoms-causes/syc-20475255#:~:text=Gender%20dysphoria%20is%20the%20feeling,some%20point%20in%20their%20lives. 

  4. Dai D, Charlton BM, Boskey ER, Hughes LD, Hughto JMW, Orav EJ, Figueroa JF. Prevalence of Gender-Affirming Surgical Procedures Among Minors and Adults in the US. JAMA Netw Open. 2024 Jun 3;7(6):e2418814. doi: 10.1001/jamanetworkopen.2024.18814. PMID: 38935380; PMCID: PMC11211955.

  5. Astor, M. (2023, May 16). How a few stories of regret fuel the push to restrict gender transition care. The New York Times. https://www.nytimes.com/2023/05/16/us/politics/transgender-care-detransitioners.html

  6. Sukeresminingsih, L. P. (2024, September 20). Otak Remaja: Dibalik Impulsivitas yang Tinggi. Radio Republik Indonesia. https://rri.co.id/daerah/986279/otak-remaja-dibalik-impulsivitas-yang-tinggi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun