Mohon tunggu...
Elizabeth Nathania
Elizabeth Nathania Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S-1 Psikologi Universitas Airlangga

https://psikologi.unair.ac.id/

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

"Cancel Culture", Memperjuangkan Keadilan atau Memupuk Kebencian?

9 Desember 2024   16:00 Diperbarui: 9 Desember 2024   16:02 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dampak dari cancel culture dapat merugikan reputasi dan kondisi finansial suatu instansi atau tokoh berpengaruh. Namun, jika budaya ini ditujukan pada individu atau kelompok dari masyarakat biasa, cancel culture dapat merugikan kesehatan fisik maupun mental seseorang. Pasalnya, budaya cancel melibatkan lontaran kata-kata yang sifatnya menjatuhkan. Hal ini dapat membuat target merasa syok dan tertekan oleh komentar-komentar netizen. Secara jangka panjang, cancel culture dapat menyebabkan gangguan mental seperti depresi, cemas, atau trauma. Budaya ini juga dapat memperparah stigma negatif yang melekat pada target sehingga mempengaruhi kinerja di sekolah, lingkungan kerja, atau kehidupan sosial.

Pengaruh terhadap masyarakat

Exposure dari cancel culture menyebabkan perkembangannya semakin marak, karena semakin banyak pengguna yang “ikut-ikutan” mencemooh dan menjelek-jelekan pihak yang menjadi target. Fenomena ini disebut herd mentality; dalam Cambridge Dictionary, artinya menyamakan pandangan dan perilaku kita dengan mayoritas karena menolak berbeda dengan yang lainnya. Fenomena ini dapat berdampak fatal karena mendorong pengguna untuk saling hasut-menghasut tanpa alasan yang jelas.

Cancel culture juga menormalisasikan ujaran kebencian dan cyberbullying. Ketika dihadapi dengan suatu kasus, para netizen tak lagi ragu untuk berkomentar dengan kata-kata berbau penghinaan dan cemooh, bahkan tak jarang komentar tersebut keluar dari konteks kasus yang sesungguhnya. Hal ini menyebabkan dehumanization antar pengguna media sosial; sikap merendahkan seseorang seakan-akan mereka tidak memiliki martabat sebagai manusia.

Melihat dari dampak dan pengaruhnya, cancel culture tidak dapat dikatakan sebagai upaya untuk menegakkan keadilan. Budaya ini justru mengakibatkan ketidakadilan dalam masyarakat dengan membuat sanksi yang dialami target lebih berat daripada kesalahan mereka.

Kesadaran diri adalah Kunci

Perilaku para siswi SMP yang viral pada Juni 2024 lalu tidak dapat dibenarkan. Tindakan mereka memang tidak bijak, dan sanksi sosial mereka alami adalah konsekuensi yang tak terelakkan dalam dunia media sosial. Namun, jika kasus ini justru memancing komentar-komentar yang menghina fisik dan kecerdasan mereka, bahkan hingga membocorkan data pribadi, maka reaksi netizen terhadap kasus tersebut adalah keliru.

Dengan tetap menanamkan kesadaran diri yang tinggi dan kontrol emosi agar tidak sembarangan berkomentar atau mengirimkan pesan pribadi yang tidak pantas, maka kondisi media sosial yang lebih kondusif dan aman dapat tercipta. Sebagai pengguna internet, sebaiknya kita melakukan riset informasi lebih dalam dan berkomentar dengan wajar dan sesuai konteks; melakukan langkah kecil tersebut dapat meminimalisir dampak-dampak negatif dari cancel culture.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun