Hujan selalu mengingatkanku padamu. Seolah aku begitu menyukaimu. Itu sangat tidak benar. Tentu itu tidak benar. Kau tahu itu. Aku amat mencintaimu. Tapi... anggap saja kau tidak tahu. Berpura-puralah. Sehingga pipiku bisa merona karena malu.
Pada tiap tetes gerimis yang menyenandungkan dingin. Berderak namamu seperti bisikan yang dipantulkan pada tanah, daun, bangku taman, genting, bahkan mobil yang terparkir di depan ruko itu. Menghujam tajam, lalu meresap ke dalam kulit. Laiknya aku menggigil kedinginan. Apa kamu akan bertanggung jawab?
Tapi aku tak mau mengikatmu seperti itu.
Kamu bisa jatuh dimanapun hujanku. Silahkan. Tapi tempatmu pulang hanya tanahku. Biarkan bunga tumbuh. Biarkan bulir padi menguning. Itu yang terlihat. Meski kadang kau tampak bejat.
Di sudut genangan rindu yang melampaui daya tampung. Kau membanjiri kota. Menghanyutkan kata-kata makian yang manis ke got-got yang tersumbat. Itu saat-saat cinta kita bersekat. Seperti lamunan yang tak sampai pada kenyataan.
Hujan selalu tentang dirimu, yang menebarkan hangat pada tanganku saat kau genggam di jalan sepi di kampusku. Tentang dirimu yang cemburu saat sajak kopi ini terbaca laki-laki lain. Harusnya aku tertawa bahagia. Hahahaha...
Tapi bukan itu yang kumau.
Tentunya kamu tahu sulitnya menjadi aku yang menentang matahari sendirian. Hujan baru datang setelah keringatku meleleh di ketiak. Tentu aku bukan perempuan yang suka berteriak. Kamu selalu berbisik padaku tentang takdir yang membuat kita bertemu. Entah karena Tuhan atau bukan. Kita akan selalu bertemu.
Tuhan.
Tentu sebagai makhluk beriman aku harus percaya Dialah yang menjatuhkanmu dari langit ke pangkuanku. Tentu begitu. Kau lelaki hujanku, dan aku tanah merah yang pemarah. Kalau bukan karena Tuhan tentu tidak ada yang dapat kupersalahkan atas cintaku kepadamu.