Mohon tunggu...
Elita PutriPradipta
Elita PutriPradipta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa yang terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Algoritma Mengatur Diskusi Publik: Kritik terhadap Public Sphere Era Digital

13 Januari 2025   13:45 Diperbarui: 13 Januari 2025   14:05 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jurgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog Jerman yang dikenal sebagai salah satu pemikir terkemuka dalam tradisi teori kritis Frankfurt School. Salah satu kontribusi utamanya adalah konsep public sphere atau ruang publik, yang di perkenalkan dalam bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere (1962). Habermas mendefinisikan public sphere sebagai ruang diskursif di mana individu dapat berdiskusi secara rasional dan terbuka tentang isu-isu publik, terlepas dari intervensi negara atau kepentingan ekonomi. Ia menekankan pentingnya diskusi yang inklusif, rasional, dan egaliter sebagai fondasi demokrasi yang sehat. Pemikirannya telah menjadi kerangka kerja penting dalam studi komunikasi, demokrasi, dan media di era modern

Teori public sphere yang diperkenalkan oleh Jurgen Habermas merupakan salah satu konsep kunci dalam studi komunikasi dan demokrasi. Konsep public sphere dengan gagasan bahwa ruang publik seharusnya mengedepankan rasionalitas dan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk berdiskusi mengenai ide serta gagasan mereka. Habermas (1987: 200) menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak yang setara untuk berpartisipasi dalam ruang publik, dengan jaminan kebebasan tanpa rasa takut terhadap tekanan dari pihak mana pun. Saat ini, ruang publik mengalami transformasi dengan adanya perkembangan internet, yang menciptakan ruang public digital atau virtual sphere sebagai respons terhadap realitas yang terjadi secara digital. Media sosial kini menjadi instrumen penting dalam mendistribusikan pesan dan ide progresif secara lebih luas dan beragam, tanpa adanya batasan bagi masyarakat untuk terlibat dalam diskusi.

Namun, konsep ini menghadapi tantangan baru, terutama dengan munculnya dominasi algoritma dalam mengatur informasi dan interaksi publik di media sosial. Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna sering kali menciptakan polarisasi, menyebarkan disinformasi, dan meminggirkan diskusi yang berbasis fakta. Artikel ini mengkaji bagaimana algoritma memengaruhi public sphere digital, mengkritisi relevansi konsep Habermas, dan menyoroti implikasinya terhadap demokrasi. Dominasi algoritma dalam Public Sphere menentukan konten yang dilihat oleh pengguna. Algoritma ini didesain untuk mempertahankan perhatian pengguna, dengan memprioritaskan konten yang viral, kontroversial, atau emosional. Akibatnya, public sphere digital menjadi ruang yang didominasi oleh sensasi dan konflik, bukan diskusi yang rasional.

Salah satu contoh nyata adalah polarisasi politik di media sosial. Algoritma cenderung memperkuat echo chamber dan filter bubble, dimana pengguna hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka. Hal ini memperburuk polarisasi dan mengurangi peluang untuk dialog lintas perspektif. Selain itu, penyebaran disinformasi yang didorong oleh algoritma semakin memperlemah fondasi public sphere sebagai ruang diskursif yang berbasis fakta. Media sosial sering disebut sebagai public sphere modern, tetapi praktiknya menunjukkan fragmentasi diskusi publik. Misalnya, perdebatan tentang perubahan iklim, vaksinasi COVID-19, atau politik sering berakhir dengan konflik daripada dialog rasional. Relevansi dengan public sphere Habermas dimana menekankan pentingnya diskusi rasional dan inklusif dalam public sphere. Polarisasi ini menunjukkan penyimpangan dari ideal tersebut, karena algoritma media sosial lebih memprioritaskan konten yang memicu keterlibatan emosional daripada diskusi kritis.

Konsep public sphere Habermas idealnya adalah ruang di mana individu dapat berdiskusi secara rasional dan inklusif. Namun, dalam praktiknya, algoritma telah mengubah dinamika ruang publik menjadi lebih terfragmentasi dan emosional. Kritik utama terhadap konsep Habermas dalam konteks digital meliputi:

  1. Ketimpangan Akses dan Representasi Algoritma sering kali menguntungkan kelompok dengan sumber daya teknologi dan kemampuan literasi digital yang lebih baik, sementara kelompok marginal sulit mendapatkan representasi yang setara. Hal ini bertentangan dengan prinsip inklusivitas public sphere.
  2. Pengaruh Emosi terhadap Diskusi Publik Habermas menekankan pentingnya rasionalitas dalam diskusi, tetapi algoritma cenderung memprioritaskan konten yang memicu emosi. Narasi berbasis ketakutan, kemarahan, atau kebencian sering kali lebih menonjol dibandingkan diskusi yang berbasis data.
  3. Komersialisasi Ruang Publik Platform digital, sebagai entitas komersial, lebih memprioritaskan keuntungan daripada kualitas diskursus publik. Ini memperlihatkan distorsi public sphere oleh logika pasar yang tidak diperhitungkan secara mendalam oleh Habermas.

Implikasi terhadap demokrasi dominasi algoritma dalam mengatur diskusi publik memiliki dampak serius terhadap demokrasi. Disinformasi yang meluas mengurangi kemampuan masyarakat untuk membuat keputusan yang berbasis fakta. Polarisasi menghambat dialog yang konstruktif dan menguatkan konflik antar kelompok. Selain itu, ketimpangan akses terhadap informasi dan representasi memperlebar kesenjangan sosial dan politik. Public sphere digital bukan lagi ruang demokratis yang ideal, melainkan arena yang dikendalikan oleh kekuatan ekonomi dan teknologi. Demokrasi menghadapi ancaman serius ketika diskursus publik dipandu oleh algoritma yang lebih memprioritaskan keterlibatan emosional daripada diskusi rasional.

Fenomena echo chamber dan filter bubble merupakan suatu konsep yang dapat mengkritik asumsi Habermas bahwa public sphere dapat menjadi ruang diskusi rasional dan inklusif. Konsep echo chamber dimana individu cenderung hanya berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa, sehingga memperkuat bias mereka tanpa mempertimbangkan perspektif lain. Sementara itu, filter bubble yang diciptakan oleh algoritma platform digital, membatasi akses pengguna terhadap informasi yang beragam dengan menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi mereka. Kedua fenomena ini menciptakan fragmentasi dalam ruang diskusi publik, di mana dialog lintas pandangan menjadi langka, dan pemahaman bersama sulit dicapai. Akibatnya, public sphere modern seringkali didominasi oleh polarisasi dan narasi emosional, yang bertentangan dengan gagasan Habermas tentang ruang diskursif yang rasional dan egaliter.

Era digital menghadirkan tantangan besar terhadap konsep public sphere Habermas. Algoritma, sebagai kekuatan dominan dalam ruang publik modern, telah mengubah dinamika diskusi publik menjadi lebih terfragmentasi, emosional, dan tidak inklusif. Dalam mengatasi tantangan ini, perlu ada upaya kolektif untuk mereformasi struktur media digital, meningkatkan literasi digital, dan menciptakan regulasi yang mendukung diskusi publik yang sehat dan demokratis. Hanya dengan demikian, public sphere dapat kembali menjadi ruang diskursif yang mendukung demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun