Mohon tunggu...
Elisa Wahyu
Elisa Wahyu Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga

ibu-ibu yang mencoba kembali menarik pena dan memenuhi lembaran kertas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan, Teh dan Secangkir Lamunan

5 April 2013   15:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:41 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teh dan hujan adalah perpaduan yang sempurna dari sebuah sore. Tak ada panas atau mendung yang menggelayut. Hanya ada suara rintihan hujan dan bau tanah basah yang khas. Aromanya menggoda naluriku untuk sekedar melepas rindu dengan apa yang disebut kanak-kanak.

Celana pendek dan kaos singlet, itulah pakaian wajib saat hujan dulu. Diiringi suara cempreng ibukku, aku bermandikan hujan dengan riangnya. Larangan itu kuasa aku tolak. Badungnya aku nampak ketika hujan tiba. Ibukku sudah mengingatkan berkali-kali, sampai capai beliau berteriak. Aku masih setia pada hujan. Menikmatinya dan menggodanya untuk semakin deras.

Kini, aku mencoba menikmati hujan. Namun tak ada lagi singlet atau celana pendek. Aku menikmatinya dengan secangkir teh atau kopi di tangan. Bukan lagi menikmati aroma tanah yang basah, karena hampir semua telah tertutup semen. Aku begitu merindukan hujan di masa dulu. Seperti sore ini, hanya ada aku, secangkir teh dan lamunan tentang hujan di luar sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun