Secara sosial, korupsi menggerogoti kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ketika masyarakat melihat bahwa tindakan kriminal seperti suap dan penyelewengan dana dapat terjadi tanpa hukuman yang berarti, mereka mulai kehilangan keyakinan bahwa sistem hukum dan pemerintahan bekerja untuk mereka. Kepercayaan yang menurun ini dapat memicu ketidakstabilan sosial, seperti protes massal, kerusuhan, dan bahkan revolusi. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi bukan hanya merupakan kebutuhan moral, tetapi juga kunci untuk menjaga stabilitas sosial dan politik suatu negara. Pemerintahan yang bersih, transparan, dan berkeadilan menjadi prasyarat untuk menciptakan kemakmuran bersama dan mengembalikan rasa percaya publik terhadap lembaga-lembaga negara.
Dalam konteks ini, pemahaman tentang perilaku manusia melalui perspektif psikologi, seperti yang ditawarkan oleh Sigmund Freud, dapat memberikan wawasan penting tentang motivasi di balik tindakan koruptif. Freud, yang dikenal sebagai bapak psikoanalisis, mengemukakan teori mengenai struktur kepribadian manusia yang terdiri dari id, ego, dan superego. Menurut Freud, perilaku manusia, termasuk tindak kriminal seperti korupsi, seringkali dipengaruhi oleh ketegangan antara keinginan bawah sadar (id) dan kontrol moral (superego) yang ada dalam diri individu.
Id, yang merupakan sumber keinginan dan dorongan instingtual, mungkin mendorong seseorang untuk mencari keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. Ego, sebagai bagian dari kepribadian yang mencoba menyeimbangkan tuntutan id dengan kenyataan dunia luar, kadang-kadang memilih untuk menutup mata terhadap etika demi memperoleh keuntungan jangka pendek. Sementara itu, superego berfungsi sebagai kontrol moral yang seharusnya menuntun seseorang untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diterima. Namun, dalam banyak kasus korupsi, konflik antara keinginan untuk mendapatkan lebih banyak dan pengaruh dari sistem nilai moral ini dapat mengarah pada keputusan yang salah, seperti menerima suap atau menyalahgunakan kekuasaan.
Freud juga menekankan bahwa banyak tindakan kriminal, termasuk korupsi, dapat dilihat sebagai manifestasi dari kegagalan dalam perkembangan psikologis individu. Ketika individu tidak mampu menyeimbangkan dorongan pribadi dengan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat, mereka cenderung mencari jalan pintas untuk memuaskan kebutuhan mereka, meskipun itu berarti merugikan orang lain. Oleh karena itu, untuk memahami lebih dalam mengapa korupsi terjadi, kita perlu melihat bukan hanya faktor eksternal, tetapi juga faktor internal yang melibatkan struktur kepribadian dan konflik psikologis individu.
Dalam skala yang lebih luas, peran pendidikan, pembentukan karakter, dan sistem hukum yang adil sangat penting dalam mengatasi akar penyebab korupsi. Masyarakat yang memiliki pemahaman yang lebih kuat tentang nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan rasa tanggung jawab sosial akan lebih mampu menanggulangi godaan korupsi. Pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perilaku etis, di mana individu merasa bertanggung jawab atas tindakan mereka, baik di dunia pribadi maupun publik.
WHY
Sigmund Freud, tokoh utama dalam teori psikoanalisis, mengembangkan konsep mengenai struktur kepribadian manusia yang terdiri dari tiga komponen utama: id, ego, dan superego. Masing-masing komponen ini memainkan peran vital dalam mempengaruhi perilaku manusia, termasuk dalam konteks perilaku koruptif. Id mewakili bagian dari kepribadian yang berfokus pada kepuasan instan dan dorongan naluri yang tidak terhalang oleh norma sosial. Ia beroperasi berdasarkan prinsip kesenangan, mencari kepuasan segera tanpa mempertimbangkan akibat jangka panjang atau dampaknya terhadap orang lain. Dalam hal ini, id sangat terkait dengan keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi yang cepat dan tidak sah, yang sering kali menjadi pendorong utama dalam tindakan korupsi.
Sementara itu, ego berfungsi sebagai penengah yang rasional antara keinginan-keinginan dasar yang berasal dari id dan nilai-nilai moral yang diajarkan oleh superego. Ego berusaha untuk memenuhi dorongan id dengan cara yang realistis dan dapat diterima dalam konteks sosial, dengan mempertimbangkan hukum dan norma yang berlaku. Dalam kasus korupsi, ego memainkan peran penting dalam memproses keputusan individu---apakah ia memilih untuk mengikuti dorongan id yang mengarah pada perilaku koruptif atau menahan diri dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang lebih tinggi.
Adapun superego, yang dibentuk dari norma-norma sosial dan moral yang dipelajari sejak dini, berfungsi sebagai pengontrol yang lebih kuat dalam menentukan apa yang benar dan salah. Superego sering kali menjadi suara hati yang menuntut individu untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral, seperti kejujuran dan integritas. Dalam konteks korupsi, ada perbedaan yang seringkali tajam antara dorongan id untuk meraih keuntungan pribadi dan norma moral yang ditekankan oleh superego yang menuntut kepatuhan terhadap hukum dan etika. Ketegangan antara ketiga elemen ini sering kali menciptakan konflik internal dalam diri individu yang terlibat dalam perilaku koruptif.
Dalam fenomena korupsi, konflik internal ini sangat terlihat. Seorang pejabat publik, misalnya, mungkin tergoda untuk mengambil keuntungan pribadi dari posisi yang dimilikinya---dorongan yang datang dari id. Namun, kesadaran bahwa tindakan tersebut tidak sesuai dengan prinsip moral dan hukum (superego) menciptakan ketegangan batin yang dapat memperburuk keadaan psikologis individu tersebut. Ego, yang seharusnya menilai situasi secara rasional, mungkin akhirnya memilih untuk mengabaikan norma-norma moral demi keuntungan jangka pendek. Dalam banyak kasus, keputusan ini didorong oleh kebutuhan akan kepuasan instan, atau keinginan untuk segera meredakan ketegangan psikologis yang mungkin timbul akibat ketidakpuasan dalam kehidupan pribadi atau profesional. Dalam hal ini, korupsi tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai respons terhadap ketegangan internal yang terjadi dalam diri individu.
Freud juga menyoroti pentingnya ketidakpuasan dan ketegangan batin sebagai faktor pendorong perilaku kriminal. Individu yang merasa tidak puas dengan kehidupannya---entah itu karena masalah ekonomi, status sosial, atau ketidakadilan yang mereka alami---mungkin merasa terdorong untuk mencari pelarian dari perasaan tersebut melalui tindakan yang bisa memberikan kenyamanan sekejap, seperti menerima suap atau melakukan penyelewengan dana publik. Korupsi, dalam pandangan ini, bisa dilihat sebagai manifestasi dari pencarian kepuasan atau pelarian dari tekanan emosional dan psikologis yang tidak terkelola dengan baik.