Mohon tunggu...
Elisa DeboraYunita
Elisa DeboraYunita Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswi

NIM: 43223110031| Program Studi: Strata Akuntansi Fakultas: Ekonomi dan Bisnis | Universitas: Mercu Buana | Pendidikan Anti Korupsi dan Etik Umb | Dosen Pengampu : Prof.Dr.Apollo, M.Si., AK.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB 2 - Kebatinan Mangkunegara IV Pada Upaya Pencegahan Korupsi dan Transformasi Memimpin Diri Sendiri

21 November 2024   07:27 Diperbarui: 21 November 2024   07:27 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar pribadi 
Gambar pribadi 

Gambar pribadi
Gambar pribadi

Gambar pribadi
Gambar pribadi

Gambar pribadi
Gambar pribadi

Gambar pribadi
Gambar pribadi

Gambar pribadi
Gambar pribadi
Gambar pribadi
Gambar pribadi
Gambar pribadi
Gambar pribadi
Gambar pribadi
Gambar pribadi
Gambar Pribadi
Gambar Pribadi
Gambar pribadi 
Gambar pribadi 

Modul Prof. Apollo
Modul Prof. Apollo

Modul Prof. Apollo
Modul Prof. Apollo
Modul Prof. Apollo
Modul Prof. Apollo
 

Modul Prof. Apollo
Modul Prof. Apollo
Modul Prof. Apollo
Modul Prof. Apollo
Modul Prof. Apollo
Modul Prof. Apollo

What

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran IV, atau Raden Mas Sudiro, lahir pada 15 April 1826 dan memerintah Kerajaan Mangkunegaran dari tahun 1853 hingga 1881. Sebagai putra dari Mangkunegaran III, ia menggantikan ayahnya pada usia muda. Mangkunegaran IV dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana, dengan fokus pada stabilitas pemerintahan, modernisasi ekonomi, dan pelestarian budaya Jawa.

Selama pemerintahannya, Mangkunegaran IV memperkenalkan berbagai reformasi dalam sistem pemerintahan, termasuk perbaikan administrasi, pengelolaan perpajakan, dan peningkatan sistem keamanan serta keadilan. Meskipun berada di bawah pengaruh Belanda, ia berhasil mempertahankan otonomi kerajaan dan menjaga hubungan baik dengan pemerintah kolonial.

Dalam bidang ekonomi, Mangkunegaran IV mendorong perkembangan kerajinan tangan seperti batik, tenun, dan perak, yang menjadi industri lokal yang menguntungkan. Beliau juga memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan pertanian, yang menghasilkan kemakmuran bagi kerajaan. Kebijakan ekonomi ini memperkuat kemandirian Mangkunegaran di tengah pengaruh kolonial.

Sebagai pelindung budaya, Mangkunegaran IV memprioritaskan pelestarian seni dan kebudayaan Jawa. Ia mendirikan berbagai pusat seni dan mendukung pengembangan gamelan, wayang kulit, tari, dan seni tradisional lainnya. Inovasi dalam seni dan kebudayaan ini menjadi bagian dari upayanya untuk menggabungkan nilai tradisional dengan pengaruh modern, yang memperkaya kebudayaan Jawa.

Kepemimpinan Mangkunegaran IV juga dikenal karena penerapan nilai-nilai kebatinan dalam pemerintahannya. Ia mengajarkan pentingnya pengendalian diri, kejujuran, dan kesederhanaan, yang menjadi pedoman bagi pemimpin dan masyarakat Mangkunegaran. Nilai-nilai kebatinan ini turut memastikan bahwa pemerintahannya tetap adil dan jauh dari penyalahgunaan kekuasaan.

Meskipun Mangkunegaran IV meninggal pada tahun 1881, warisan kepemimpinannya tetap hidup hingga saat ini. Ia meninggalkan jejak dalam pengelolaan kerajaan yang lebih modern, pengembangan kebudayaan yang kaya, dan prinsip-prinsip moral dalam kepemimpinan. Mangkunegaran IV dikenal sebagai pemimpin yang mampu mempertahankan identitas budaya Mangkunegaran, menjaga kemakmuran rakyat, dan membawa kerajaan menuju kemajuan meskipun berada di bawah pengaruh Belanda.

Serat Wedhatama adalah karya sastra Jawa baru yang sedikit dipengaruhi Islam dan tergolong sebagai karya legendaris. Pencipta serat ini adalah KGPAA Mangkunegara IV, yang memerintah Praja Mangkunegaran dari 1853 sampai 1881. Serat Wedhatama mengandung banyak ajaran mengenai kehidupan manusia yang masih relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Serat Wedhatama terdiri dari lima bagian utama yang masing-masing terdiri dari beberapa pupuh, yaitu Pangkur, Sinom, Pocung, Gambuh, dan Kinanthi. Setiap pupuh mengandung ajaran yang mendalam mengenai kehidupan, yang disusun dalam urutan yang sistematis.

Pangkur

Pupuh Pangkur terdiri dari 14 pupuh yang mengajarkan tentang dasar-dasar moral dan etika hidup. Ajaran dalam bagian ini berfokus pada pentingnya kesederhanaan dan kerendahan hati, serta pengendalian diri. Dalam pupuh Pangkur, diungkapkan bahwa manusia seharusnya tidak terjebak pada hawa nafsu dan kesenangan duniawi. Untuk mencapai kebahagiaan sejati, seseorang harus mampu menahan diri dari godaan dan fokus pada pencapaian ketenangan batin. Selain itu, pupuh ini juga mengajarkan tentang pentingnya berbuat baik dan menjaga hubungan harmonis dengan sesama manusia. Manusia diajarkan untuk tidak membanggakan diri sendiri dan selalu bersikap rendah hati serta menjaga moralitas dalam setiap tindakan.

Sinom 

Bagian Sinom dalam Serat Wedhatama terdiri dari 18 pupuh dan melanjutkan ajaran moral yang telah disampaikan pada Pangkur. Ajaran dalam Sinom lebih fokus pada pengembangan pengendalian diri dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pupuh ini, ada penekanan pada pentingnya keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kehidupan spiritual. Manusia harus dapat mengelola pikiran dan perasaan mereka agar tidak terjerumus dalam perbuatan buruk. Sinom mengajarkan agar seseorang dapat menjadi pribadi yang bijaksana, sabar, dan mampu menghadapi segala cobaan dengan hati yang lapang. Selain itu, dalam pupuh ini juga terdapat ajaran tentang kesetiaan kepada Tuhan dan bagaimana menjalani hidup dengan keikhlasan serta tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan.

Pocung

Pocung terdiri dari 15 pupuh yang lebih mendalam dalam membahas hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan Tuhan. Bagian ini mengajarkan tentang pencapaian spiritual dan pentingnya penyucian hati. Dalam pupuh ini, ditekankan bahwa seseorang yang ingin mencapai kebahagiaan sejati harus mampu mengendalikan hawa nafsu dan memiliki kedalaman spiritual. Tindakan baik dan buruk dalam kehidupan duniawi hanya akan mengarah pada penderitaan jika tidak dilandasi dengan kebijaksanaan dan pengabdian yang tulus kepada Tuhan. Ajaran dalam Pocung juga menekankan pentingnya berusaha untuk menjaga kesucian hati, serta memperbaiki diri dengan kontemplasi dan perenungan yang mendalam.

Gambuh 

Gambuh terdiri dari 35 pupuh dan mengandung ajaran yang lebih mendalam tentang kebijaksanaan hidup. Bagian ini mengajarkan tentang pentingnya kesabaran, pengendalian diri, serta kemampuan untuk melihat dunia dengan perspektif yang lebih luas. Dalam pupuh Gambuh, diajarkan bahwa seseorang harus menghindari kebodohan dan keserakahan, serta mengembangkan pengertian dan pengetahuan yang lebih tinggi. Gambuh juga berbicara tentang bagaimana manusia harus bersikap adil dan bijaksana dalam berinteraksi dengan orang lain, serta bagaimana cara menjaga hati dan pikiran tetap murni agar tidak terjerumus dalam tindakan yang salah. Pencapaian spiritual yang tinggi hanya dapat dicapai dengan menjaga ketenangan batin dan selalu berusaha untuk mengerti dan memaknai setiap kejadian dalam hidup secara mendalam.

Kinanthi 

Bagian terakhir dari Serat Wedhatama adalah Kinanthi, yang terdiri dari 18 pupuh. Kinanthi lebih berfokus pada pengabdian kepada Tuhan dan sesama manusia. Ajaran dalam bagian ini menekankan pada kesetiaan dalam menjalani hidup yang penuh dengan tanggung jawab. Kinanthi mengajarkan bahwa hidup ini adalah kesempatan untuk memberikan manfaat bagi orang lain, dengan cara mengutamakan kebaikan dan pelayanan yang tulus. Selain itu, dalam pupuh ini juga disampaikan pentingnya untuk tidak hanya fokus pada kehidupan duniawi, tetapi juga untuk memperhatikan kehidupan spiritual dan menjalani hidup dengan keikhlasan dalam setiap langkah. Dengan pengabdian yang tulus, seseorang dapat mencapai kebahagiaan sejati yang berasal dari dalam diri, serta hubungan yang harmonis dengan Tuhan dan sesama.

Secara keseluruhan, Serat Wedhatama mengajarkan ajaran-ajaran hidup yang mengarah pada kesempurnaan diri melalui pengembangan moralitas, spiritualitas, dan kebijaksanaan. Setiap pupuh dalam serat ini memberi panduan untuk menjalani kehidupan dengan penuh makna, menjaga keseimbangan antara duniawi dan spiritual, serta mencapai kebahagiaan yang sejati melalui pengabdian dan pengendalian diri.

Konsep Manunggaling Kawula lan Gusti mengajarkan bahwa manusia seharusnya dengan sadar mengutamakan niat yang tulus dan ikhlas dalam setiap aspek kehidupannya. Dalam konteks ini, ajaran tersebut mengajarkan agar seseorang selalu memiliki niat baik dalam segala hal, baik dalam hubungan dengan Tuhan, diri sendiri, maupun sesama manusia. Dalam hal kepemimpinan, ajaran ini menunjukkan pentingnya kesadaran akan peran kita---kapan harus memimpin dan kapan harus mengikuti.

Ketika seseorang memimpin, yang menjadi prioritas utama adalah kepentingan orang lain atau orang yang dipimpin. Seorang pemimpin harus mampu mengutamakan kebutuhan dan kesejahteraan mereka yang dipimpinnya, bukan hanya kepentingan pribadi. Sebaliknya, ketika seseorang berada dalam posisi sebagai pengikut atau yang dipimpin, yang harus dilakukan adalah mengikuti arahan dan kebijakan pemimpin dengan penuh kesadaran, rasa hormat, dan tanggung jawab.

Dengan mempraktikkan ajaran ini, kita belajar untuk menjalani kehidupan dengan kedamaian batin dan keseimbangan, serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam setiap tindakan, baik saat memimpin maupun saat mengikuti.

Dalam menjalani peran kepemimpinan, yang terpenting adalah memprioritaskan kepentingan dan kesejahteraan orang yang dipimpin. Pemimpin yang bijaksana akan selalu mengutamakan kebutuhan serta kesejahteraan bawahannya, bukan kepentingan pribadi. Kepemimpinan yang demikian berfokus pada pelayanan terhadap orang lain, memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil adalah untuk kebaikan bersama, dan bukan semata untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Sebaliknya, ketika seseorang berada dalam posisi sebagai pengikut atau yang dipimpin, maka ia harus menunjukkan sikap ketaatan, rasa hormat, dan kesadaran penuh terhadap kebijakan serta arahan yang diberikan oleh pemimpin. Ini bukan berarti mengikuti tanpa pertimbangan, tetapi lebih kepada memahami peran dan tanggung jawab dalam setiap tindakan yang diambil. Seorang pengikut yang baik tidak hanya mengikuti perintah, tetapi juga memahami tujuan dan visi pemimpin untuk mencapai tujuan bersama. Dengan kata lain, baik pemimpin maupun pengikut memiliki peran yang saling melengkapi, dengan kesadaran penuh terhadap kewajiban dan tanggung jawab masing-masing. Dalam konteks kepemimpinan Mangkunegaran IV, terdapat tiga kategori kepemimpinan yang menjadi panduan dalam menilai dan memahami berbagai tipe pemimpin. Ketiga kategori ini adalah Nistha, Madya, dan Utama. Masing-masing kategori mencerminkan tingkatan kepemimpinan yang memiliki ciri-ciri, kualitas, dan tanggung jawab yang berbeda. Kategori ini berfungsi sebagai penilai atau acuan dalam menilai sejauh mana seorang pemimpin dapat menjalankan peran dan tanggung jawabnya dengan baik, serta sejauh mana mereka memenuhi standar moral dan etika yang diharapkan dalam kepemimpinan. Yaitu :

  • Nistha merujuk pada tipe kepemimpinan yang buruk dan tidak benar. Pemimpin yang berada dalam kategori ini gagal dalam melaksanakan tugasnya dan tidak menjalankan kewajibannya dengan baik. Pemimpin Nistha tidak memiliki kualitas moral yang kuat dan sering kali bertindak untuk kepentingan pribadi, tanpa mempertimbangkan kesejahteraan orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan yang buruk ini tercermin dalam korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, serta ketidakadilan dalam membuat keputusan. Pemimpin Nistha lebih mengutamakan ambisi pribadi, sering kali mengabaikan aturan dan norma yang ada, serta tidak memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap orang yang dipimpinnya. Dalam masyarakat atau organisasi, pemimpin Nistha dapat menyebabkan kerusakan besar, baik secara sosial, ekonomi, maupun budaya. Mereka cenderung berfokus pada keuntungan pribadi dan bukan pada kebaikan bersama. Oleh karena itu, pemimpin dalam kategori Nistha sangat berbahaya bagi kelangsungan sebuah organisasi atau negara karena tindakan mereka justru merusak harmoni dan stabilitas yang ada.
  • Madya adalah kategori kepemimpinan yang berada di tengah, di mana pemimpin sudah memiliki pemahaman yang jelas tentang hak dan kewajibannya. Pemimpin Madya mampu menjalankan tugasnya dengan cukup baik, meskipun tidak selalu sempurna. Pemimpin dalam kategori ini sadar akan peran mereka, serta memiliki kesadaran moral dan integritas yang baik. Mereka tahu apa yang menjadi hak mereka sebagai pemimpin dan apa kewajiban yang harus mereka penuhi untuk orang yang dipimpinnya. Namun, dalam praktiknya, pemimpin Madya mungkin belum sepenuhnya mampu mencapai potensi terbaiknya. Mereka cenderung dapat menjalankan kepemimpinan dengan cukup adil dan rasional, tetapi terkadang bisa terjebak dalam situasi yang memerlukan keputusan yang lebih bijaksana atau transformatif. Pemimpin Madya masih memiliki ruang untuk berkembang lebih jauh, baik dari segi kemampuan teknis, emosional, maupun kepemimpinan moral. Mereka dapat mengatasi sebagian besar masalah yang dihadapi, tetapi kadang-kadang membutuhkan bimbingan atau dukungan untuk menangani tantangan yang lebih besar.
  • Utama merujuk pada tipe pemimpin yang melampaui standar biasa dan dianggap sebagai pemimpin yang terbaik dalam segala hal. Pemimpin dalam kategori Utama adalah sosok yang tidak hanya memenuhi kewajibannya dengan sangat baik, tetapi juga mampu memberikan inspirasi, kebijaksanaan, dan teladan yang luar biasa. Mereka memiliki kemampuan untuk memimpin dengan bijaksana dan adil, serta selalu mengutamakan kepentingan orang yang dipimpin di atas kepentingan pribadi. Pemimpin Utama memiliki visi yang jelas dan dapat memimpin dengan integritas yang tinggi, menciptakan dampak positif yang besar bagi masyarakat, organisasi, atau negara. Mereka tidak hanya cakap dalam memimpin, tetapi juga mampu menciptakan perubahan positif yang bertahan lama. Pemimpin Utama menunjukkan kualitas moral dan spiritual yang sangat tinggi, dan sering kali dianggap sebagai sosok yang dapat diandalkan dalam menghadapi tantangan besar. Kepemimpinan mereka melampaui sekadar pencapaian materi, karena mereka lebih fokus pada pembangunan karakter dan perbaikan moral dalam masyarakat atau organisasi yang mereka pimpin.

Secara keseluruhan, ketiga kategori ini mencerminkan perkembangan dan kualitas seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Nistha menunjukkan kegagalan dalam kepemimpinan, Madya menggambarkan pemimpin yang berada dalam posisi menengah, dengan kapasitas yang cukup untuk menjalankan tanggung jawabnya namun masih memiliki ruang untuk berkembang, dan Utama adalah puncak dari kepemimpinan yang mencakup kualitas moral dan kepemimpinan yang luar biasa. Dalam tradisi Mangkunegaran IV, ketiga kategori ini digunakan untuk mengevaluasi kepemimpinan dalam konteks yang lebih luas, dan memberikan petunjuk tentang bagaimana seorang pemimpin harus berkembang dan berperan untuk kesejahteraan rakyat dan negara.

WHY

Korupsi merupakan salah satu masalah besar yang selalu menghantui pemerintahan, baik pada masa lalu maupun sekarang. Dalam konteks Mangkunegaran IV, korupsi bukan hanya masalah moral, tetapi juga berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat dan stabilitas kerajaan. Sebagai seorang pemimpin, Mangkunegaran IV sangat menyadari bahwa korupsi bisa menggerogoti fondasi kekuasaannya dan merusak hubungan antara pemerintah dan rakyat.

Di masa pemerintahan Mangkunegaran IV, meskipun Surakarta adalah sebuah kerajaan yang relatif kecil, banyak pejabat dan penguasa daerah yang terlibat dalam praktik-praktik korupsi. Mengingat posisinya sebagai pemimpin yang harus mengelola berbagai kepentingan dan sumber daya, Mangkunegaran IV tidak bisa mengabaikan masalah ini. Oleh karena itu, salah satu aspek penting dalam kebatinannya adalah upaya untuk selalu menjaga integritas dan kesucian hati dalam memimpin.

Mangkunegaran IV melihat bahwa untuk mencegah korupsi, dia harus memberi contoh yang baik dan menjadi panutan bagi bawahannya. Kejujuran, disiplin, dan keteguhan dalam memegang prinsip-prinsip moral adalah kunci yang dia terapkan dalam setiap keputusan. Dengan menjalani kehidupan yang sederhana, menekankan pentingnya keseimbangan batin, dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat, dia berharap bisa mengurangi praktik-praktik korupsi yang merusak.

salah satu cara Mangkunegaran IV mencegah korupsi adalah dengan mempraktikkan nilai-nilai kebatinan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pemimpin yang paham betul akan pentingnya moralitas dalam kepemimpinan, dia mengutamakan prinsip kejujuran dan kedisiplinan. Mangkunegaran IV selalu berusaha untuk tidak tergoda oleh kekayaan atau kekuasaan yang dapat menyimpangkan niatnya dalam memimpin kerajaan.

Selain itu, Mangkunegaran IV juga memperhatikan pengelolaan sumber daya kerajaan dengan lebih bijaksana. Dalam administrasi kerajaan, dia menegakkan aturan yang ketat untuk memastikan bahwa sumber daya yang ada digunakan dengan tepat dan tidak disalahgunakan. Dia menerapkan sistem pengawasan yang cermat dan membangun tim yang berkomitmen untuk menjaga integritas dalam setiap aspek pemerintahan.

Namun, pencegahan korupsi oleh Mangkunegaran IV tidak hanya dilakukan melalui aturan dan pengawasan. Dia juga menekankan pentingnya pembentukan karakter moral di kalangan para pejabatnya. Melalui pendidikan dan pelatihan, dia berusaha menanamkan nilai-nilai kebatinan kepada setiap individu yang terlibat dalam pemerintahan. Dia percaya bahwa dengan memperbaiki batin seseorang, maka dia akan mampu mengambil keputusan yang lebih bijaksana dan adil.

Kebatinan Mangkunegaran IV sangat penting dalam mencegah korupsi karena mengajarkan nilai-nilai moral, spiritual, dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Kepemimpinan Mangkunegaran IV berfokus pada pembentukan karakter yang baik dan kesadaran diri yang tinggi, yang dapat mencegah perilaku koruptif. Kebatinan ini mengajarkan bahwa pemimpin harus mengutamakan kepentingan orang banyak dan negara, bukan kepentingan pribadi. Dengan memahami pentingnya kejujuran, tanggung jawab, dan keikhlasan, seseorang akan lebih mampu menahan godaan untuk melakukan korupsi.

Kebatinan Mangkunegaran IV menekankan integritas moral sebagai dasar pengambilan keputusan. Ajaran ini mendorong setiap orang untuk menjaga niat yang murni dalam segala tindakan mereka, baik yang besar maupun yang kecil. Tindakan yang didorong oleh nafsu pribadi untuk mendapatkan keuntungan tidak sah, seperti korupsi, bertentangan dengan nilai-nilai kebatinan ini. Konsep Manunggaling Kawula lan Gusti, yang mengajarkan hubungan erat antara manusia dan Tuhan, juga penting dalam kepemimpinan. Pemimpin yang menyadari bahwa mereka bertanggung jawab tidak hanya kepada masyarakat tetapi juga kepada Tuhan, akan lebih berhati-hati dalam membuat keputusan dan menghindari korupsi.

Sifat-sifat seperti kesabaran, keikhlasan, dan tawakal juga sangat relevan dalam mencegah korupsi. Orang yang memiliki sifat tawakal tidak akan tergoda untuk mencari jalan pintas demi keuntungan pribadi, karena mereka yakin bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh Tuhan dan bahwa kebahagiaan datang dari usaha yang jujur. Kebatinan Mangkunegaran IV juga mengajarkan kejujuran, yang penting untuk menciptakan transparansi dalam pemerintahan dan bisnis, sebagai cara efektif untuk mencegah korupsi.

Secara keseluruhan, kebatinan Mangkunegaran IV memiliki peran besar dalam mencegah korupsi dengan membangun kesadaran moral, integritas, dan tanggung jawab. Ajaran-ajarannya mendorong pemimpin dan individu untuk selalu mempertimbangkan konsekuensi moral dari setiap tindakan, serta menjaga hubungan spiritual yang baik dengan Tuhan.

Selain upaya pencegahan korupsi, Mangkunegaran IV juga berusaha untuk mentransformasi dirinya sebagai seorang pemimpin yang lebih baik. Dalam kebatinan, transformasi diri tidak hanya berhubungan dengan perubahan eksternal, tetapi juga dengan perkembangan internal yang berkelanjutan. Mangkunegaran IV percaya bahwa untuk menjadi pemimpin yang baik, dia harus terus berproses dalam pengembangan diri, memperbaiki kekurangan, dan selalu berusaha untuk mencapai kedamaian batin.  Dalam konteks pemberantasan korupsi dan transformasi diri seorang pemimpin, nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam Serat Pramayoga oleh Raden Ngabei Ranggawarsita memberikan petunjuk yang sangat relevan. Berikut terdapat delapan prinsip atau kewajiban seorang pemimpin yang dapat menjadi landasan dalam menghadapi tantangan korupsi serta membangun kepemimpinan yang berintegritas, yaitu:

Hanguripi ( Mewujudkaan kehidupan baik).

Serat Pramayoga menekankan pentingnya keseimbangan dalam kehidupan manusia. Dalam kepemimpinan, "Hanguripi" mengharuskan pemimpin menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan bersama, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk rakyat. Pemimpin harus memperhatikan kebutuhan orang lain, bukan hanya ambisi pribadi atau kekuasaan. Menurut Ranggawarsita, kehidupan yang baik dalam kepemimpinan adalah yang sejalan dengan alam, budaya, dan nilai agama, serta mengayomi rakyat dengan kasih sayang. Pemimpin harus bijaksana dan memanfaatkan segala potensi untuk membangun masyarakat yang makmur. "Hanguripi" mengutamakan kebijaksanaan, moralitas, dan pengelolaan yang adil, serta menjadi contoh bagi rakyat, yang relevan dalam menghadapi tantangan kepemimpinan masa kini.

Hangrungkepi (Berani berkorban).

Hangrungkepi mengajarkan bahwa seorang pemimpin yang baik harus berani mengorbankan dirinya demi kesejahteraan rakyat, bukan hanya mengejar keuntungan pribadi atau kekuasaan. Pengorbanan ini bisa berupa fisik, emosional, atau material, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pemimpin yang berkorban menunjukkan dedikasi tulus terhadap tugasnya dan siap menghadapi kesulitan demi kebaikan orang banyak, bukan untuk keuntungan pribadi. Selain pengorbanan fisik, ini juga mencakup pengorbanan waktu dan energi, bahkan mengesampingkan kepentingan pribadi untuk tujuan bersama. Pemimpin yang mengamalkan Hangrungkepi juga harus berani mengambil keputusan moral yang benar meskipun itu dapat membuatnya tidak populer.

Hangruwat (Menyelesaikan masalah)

Hangruwat secara harfiah berarti "menyelesaikan masalah," yang dalam kepemimpinan mengharuskan pemimpin untuk mampu mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat, baik itu masalah sosial, ekonomi, politik, atau konflik. Pemimpin yang baik harus memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan dalam mencari solusi konstruktif yang membawa dampak positif bagi semua pihak. Seorang pemimpin tidak hanya bertanggung jawab atas pemerintahan atau organisasi, tetapi juga harus siap menghadapi hambatan yang muncul. Hangruwat mengajarkan pemimpin untuk memahami akar masalah, mencari penyebabnya, dan memberikan solusi yang tepat dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang. Untuk itu, pemimpin perlu keterampilan analitis, pemikiran jernih, dan ketenangan dalam menghadapi krisis. Selain keterampilan teknis, pemimpin

juga harus memiliki empati dan kepekaan sosial. Dengan memahami kebutuhan masyarakat, pemimpin dapat menyelesaikan masalah tanpa memperburuk keadaan.

Hangayomi (perlindungan)

Dalam Serat Pramayoga karya Ranggawarsita, konsep Hangayomi atau perlindungan mengajarkan bahwa pemimpin bertanggung jawab untuk melindungi rakyatnya dari berbagai ancaman, baik fisik, sosial, maupun emosional. Perlindungan ini mencakup keamanan, kesejahteraan, keadilan, dan hak-hak dasar setiap individu dalam masyarakat. Pemimpin yang mengamalkan prinsip Hangayomi tidak hanya bertindak sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pelindung yang memastikan warganya hidup aman dan sejahtera, bebas dari penindasan. Pemimpin harus menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan tanggung jawab, serta menggunakan kekuasaannya dengan bijaksana demi kebaikan bersama. Perlindungan ini melibatkan pemeliharaan kesejahteraan masyarakat, dengan kebijakan yang adil dan merata, serta memastikan hak-hak individu dan akses terhadap kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan terjamin. Pemimpin yang baik juga harus melindungi rakyatnya dalam situasi kritis, bukan hanya dalam kondisi normal.

Hanguribi (menyela, motivasi)

Dalam Serat Pramayoga karya Ranggawarsita, Hanguribi mengajarkan pemimpin untuk memberikan motivasi dan dorongan yang menginspirasi. Pemimpin yang mengamalkan Hanguribi mampu mengubah situasi stagnan dengan kata-kata yang membangkitkan semangat, membantu orang menghadapai tantangan dengan keyakinan. Tindakan "menyela" di sini dimaksudkan untuk menggantikan pembicaraan tidak produktif dengan ide yang memotivasi.

Pemimpin juga harus bijak dalam menilai waktu yang tepat untuk memberikan motivasi sesuai situasi, dan menggabungkan dorongan semangat dengan tindakan nyata. Hanguribi mengajarkan pemimpin untuk memberi arahan dan semangat yang mendorong perubahan dan pencapaian tujuan bersama.

Hamayu (Harmoni, keindahan, kerukunan).

Dalam Serat Pramayoga karya Ranggawarsita, Hamayu mengajarkan kepemimpinan yang menekankan harmoni, keindahan, dan kerukunan dalam masyarakat. Prinsip ini menyoroti pentingnya menciptakan keseimbangan sosial, politik, dan budaya untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan. Pemimpin yang menerapkan Hamayu memahami bahwa tanpa keharmonisan antar individu, kelompok, dan alam, masyarakat tidak akan berkembang. Oleh karena itu, mereka berfokus pada menciptakan suasana damai dan menjaga keseimbangan, bukan hanya pada kekuasaan atau materi. Hamayu juga mencakup keindahan dalam moralitas, budaya, dan hubungan sosial, memastikan setiap individu dihargai dan diberi kesempatan untuk berkembang. Pemimpin yang mengamalkan prinsip ini menciptakan masyarakat yang damai, bebas dari ketegangan dan konflik.Kerukunan dalam Hamayu menjadi landasan keberlanjutan kepemimpinan, yang mengharuskan pemimpin merangkul perbedaan dan mencari solusi adil. Secara keseluruhan, Hamayu mengajarkan pemimpin untuk menjaga keseimbangan dan menciptakan lingkungan yang damai dan sejahtera.

Hamengkoni (membuat persatuan).

Hamengkoni dalam Serat Pramayoga mengajarkan pemimpin untuk membangun persatuan dengan menghargai keragaman masyarakat. Pemimpin harus menyatukan perbedaan suku, agama, budaya, dan pandangan politik untuk menciptakan kesatuan yang harmonis. Pemimpin yang menerapkan Hamengkoni berfokus pada tujuan bersama, menjembatani perbedaan, dan mengatasi konflik. Komunikasi yang jelas dan adil sangat penting dalam menciptakan solusi bersama. Prinsip ini juga menekankan kerjasama antar kelompok dan memastikan kebijakan memperhatikan kepentingan seluruh masyarakat, untuk menciptakan stabilitas dan kesejahteraan.

Hanata (bisa mengatur/menanta).

Hanata dalam Serat Pramayoga mengajarkan kepemimpinan yang fokus pada kemampuan pemimpin untuk mengatur, mengelola, dan menata semua aspek dalam masyarakat atau organisasi. Pemimpin yang mengamalkan prinsip ini harus terampil dalam merencanakan, mengorganisir, dan mengendalikan agar tujuan tercapai dengan efektif. Pemimpin yang menerapkan Hanata membuat keputusan yang tepat dalam mengelola sumber daya---baik manusia, materi, maupun waktu---dengan efisien. Prinsip ini juga menekankan pentingnya keseimbangan dalam mengelola berbagai aspek kehidupan, seperti sosial, ekonomi, dan politik, agar semuanya berjalan harmonis. Prinsip Hanata mengharuskan pemimpin untuk memiliki wawasan luas, kemampuan analisis yang baik, dan ketegasan dalam menghadapi tantangan, sehingga tercipta sistem yang teratur dan efisien.

Delapan prinsip kewajiban pemimpin dalam Serat Pramayoga karya Raden Ngabei Ranggawarsita menunjukkan bahwa pemimpin memiliki tanggung jawab besar dalam memberantas korupsi dan membangun integritas. Penerapan prinsip-prinsip ini tidak hanya menciptakan kepemimpinan yang jujur dan bermoral, tetapi juga membentuk masyarakat yang lebih transparan dan bebas dari korupsi. Dengan mengamalkan prinsip-prinsip tersebut, seorang pemimpin akan menjadi agen perubahan yang menjaga kepercayaan rakyat dan memastikan kesejahteraan bagi semua.

HOW

bagaimana seharusnya pemimpin beretika sesuai dengan nasihat-nasihat Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama, yaitu:

  • Eling lan waspada (selalu ingat dan waspada)

Eling lan Waspada dalam Serat Wedhatama mengajarkan pemimpin untuk selalu ingat akan tanggung jawabnya dan waspada terhadap segala situasi. Pemimpin yang eling akan menjaga nilai dan tujuan, sementara waspada berarti berhati-hati dalam setiap keputusan. Prinsip ini mendorong pemimpin untuk tetap peka dan sigap dalam menghadapi perubahan serta tantangan, demi menjaga kestabilan dan kesejahteraan.

  • Awya mematuh  nalutuh

Awya Mematuh Nalutuh dalam Serat Wedhatama mengajarkan prinsip kepemimpinan yang menekankan pentingnya menjaga kehormatan, etika, dan kesopanan dalam bertindak. "Awya mematuh" berarti menghindari sikap atau perbuatan yang tidak pantas atau tidak sesuai dengan norma, sementara "nalutuh" mengarah pada sikap yang bijaksana dan penuh tanggung jawab. Seorang pemimpin harus bertindak dengan penuh perhatian terhadap perilaku dan keputusan, memastikan bahwa tindakan yang diambil selalu sesuai dengan nilai moral yang baik, serta menjaga reputasi dan kehormatan diri dan masyarakat

  • Nggugu karepe priyangga

Nggugu Karepe Priyangga dalam Serat Wedhatama mengajarkan pemimpin untuk mendengarkan dan memahami pendapat atau keinginan orang lain, terutama yang lebih berpengalaman atau bijaksana. Prinsip ini mengajak pemimpin untuk menghargai masukan dari orang lain, terbuka terhadap pandangan yang berbeda, dan membuat keputusan berdasarkan pertimbangan yang matang dari berbagai sumber. Pemimpin yang menerapkan prinsip ini harus memiliki sikap rendah hati dan kemauan untuk belajar demi menghasilkan keputusan yang lebih baik.

  • Bangkit ajur ajer

Bangkit Ajur-Ajer dalam kepemimpinan Serat Wedhatama mengajarkan tentang kemampuan pemimpin untuk pulih dan memperbaiki keadaan setelah menghadapi kerusakan atau kegagalan. Ini menekankan pentingnya ketangguhan pemimpin dalam mengatasi krisis dan memulihkan situasi menjadi lebih baik. Seorang pemimpin harus bisa menginspirasi dan memberi semangat kepada orang-orang di sekitarnya agar tetap berjuang meski dalam kesulitan.

  • Lumuh asor kudu unggul

Lumuh asor kudu unggul dalam kepemimpinan Serat Wedhatama menekankan bahwa pemimpin harus tetap rendah hati meskipun memiliki kemampuan dan posisi yang tinggi. Sikap sombong dapat tercermin dari tutur kata dan perilaku pemimpin yang meremehkan orang lain. Oleh karena itu, pemimpin yang bijaksana harus mampu menjaga kerendahan hati, menghargai orang lain, dan berbicara dengan bijak tanpa merendahkan siapapun, guna menciptakan suasana yang positif dan mendukung kemajuan bersama.

  • Mung Ngenaki Tyasing Lyan

Mung Ngenaki Tyasing Lyan dalam konteks kepemimpinan Serat Wedhatama mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus mampu menghormati dan menerima orang lain meskipun mereka memiliki perbedaan. Prinsip ini menekankan pentingnya toleransi, saling menghargai, dan tidak memandang rendah perbedaan, baik itu dalam hal latar belakang, pandangan, atau budaya. Pemimpin yang baik tidak akan menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain hanya karena perbedaan yang ada. Sebaliknya, pemimpin yang bijaksana akan mengedepankan sikap inklusif, merangkul keberagaman, dan membangun hubungan yang harmonis antar individu, demi menciptakan suasana yang saling mendukung dan membangun.

Asta Brata adalah konsep dalam kebudayaan Jawa yang merujuk pada delapan sifat atau perilaku yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Asta Brata berasal dari kata "Asta" yang berarti delapan dan "Brata" yang berarti sifat atau tingkah laku. Konsep ini pertama kali diperkenalkan dalam berbagai karya sastra, termasuk dalam Serat Wedhatama yang mengajarkan tata krama dan etika kepemimpinan yang bijaksana.

Secara umum, Asta Brata mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualitas-kualitas tertentu yang mencakup aspek moral, sosial, dan spiritual. Berikut adalah kategori kepemimpinan asta brata (Serat Ramajarwa R.Ng. Yasadipura).

Ambeging Lintang dalam konsep Asta Brata menggambarkan pemimpin sebagai penuntun dan contoh bagi masyarakatnya, seperti bintang yang memberikan arah di malam hari. Pemimpin harus mampu menunjukkan jalan yang benar, memberi motivasi, dan menjadi teladan dalam moralitas dan tindakan. Selain itu, pemimpin harus bisa memberikan harapan dan menjaga kestabilan masyarakat, terutama di saat sulit. Dengan demikian, pemimpin yang mengamalkan Ambeging Lintang berperan sebagai pemandu dan sumber inspirasi untuk kemajuan bersama.

Ambeging Surya dalam konteks kepemimpinan Asta Brata mengacu pada prinsip pemimpin yang bertindak dengan keadilan, kekuatan, dan kebenaran, mirip dengan peran matahari yang memberikan terang bagi kehidupan. Pemimpin yang mengamalkan Ambeging Surya harus dapat menerangi jalan bagi rakyatnya, memastikan setiap kebijakan yang diambil adil dan berlandaskan kebenaran.

Ambeging Rembulan dalam konteks kepemimpinan Asta Brata mengajarkan pemimpin untuk menjadi sumber ketenangan dan penyeimbang dalam masyarakat, seperti bulan yang memberikan cahaya lembut di malam hari. Pemimpin yang mengamalkan prinsip ini harus mampu meredakan ketegangan, memberi rasa aman, dan menciptakan suasana yang harmonis. Seorang pemimpin dengan Ambeging Rembulan juga diharapkan dapat menjadi contoh ketenangan, terutama dalam situasi sulit, serta memancarkan kebijaksanaan yang memberikan arah dan kejelasan.

Ambeging Angin

Ambeging Angin dalam kepemimpinan Asta Brata mengajarkan pemimpin untuk memberikan solusi, kesejukan, dan nafas hidup bagi masyarakatnya. Seperti angin yang mengalir dengan bebas dan membawa kesegaran, seorang pemimpin harus dapat menghadirkan ide-ide baru, menyegarkan situasi yang stagnan, serta membantu masyarakat mengatasi kesulitan. Pemimpin yang mengamalkan Ambeging Angin juga diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang nyaman, di mana orang merasa terdengar dan dihargai, serta dapat menghirup kehidupan yang penuh harapan dan kesempatan.

Ambeging Mendhung dalam kepemimpinan Asta Brata menggambarkan pemimpin yang berwibawa dan mampu memberikan manfaat, seperti mendung yang menyiapkan hujan untuk kehidupan. Pemimpin ini memiliki pengaruh kuat dengan kebijakan yang bijaksana dan dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Seperti hujan yang menyuburkan tanah, pemimpin dengan sifat ini membawa kemakmuran dan perlindungan kepada masyarakat. Kepemimpinan ini menunjukkan kemampuan untuk memberikan harapan dan membimbing dengan kebijakan yang adil dalam menghadapi kesulitan.

Ambeging Geni dalam kepemimpinan Asta Brata menggambarkan pemimpin yang tegas dan berani dalam menegakkan hukum dan keadilan, mirip dengan api yang membakar tanpa ragu. Pemimpin ini memiliki kemampuan untuk bertindak dengan cepat, membuat keputusan yang jelas, serta menghukum pelanggar untuk memastikan keadilan tercapai. Seperti api yang membersihkan, pemimpin ini berusaha menghapus ketidakadilan, korupsi, dan penyalahgunaan hukum, tanpa takut menghadapi tantangan. Mereka memastikan hukum dihormati dan diterapkan dengan adil untuk semua orang.

Ambeging Banyu

Ambeging Banyu dalam kepemimpinan Asta Brata mengajarkan pemimpin untuk menerima berbagai perbedaan dan memahami kebutuhan masyarakat. Seperti laut yang dapat menampung segala sesuatu, pemimpin ini harus terbuka terhadap semua pendapat dan kritik, tanpa membeda-bedakan. Pemimpin yang bijaksana akan mengelola masalah dengan kesabaran dan kebijaksanaan, menjaga keharmonisan dalam masyarakat.

Ambeging Bumi

Ambeging Bumi dalam kepemimpinan Asta Brata mengacu pada pemimpin yang memiliki dasar yang kuat, stabil, dan mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Seperti bumi yang menopang kehidupan, pemimpin ini menjaga kestabilan sosial, ekonomi, dan politik. Ia memberikan rasa aman, melindungi, serta mendukung pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan. Pemimpin yang mengikuti prinsip ini berfokus pada kesejahteraan masyarakat dan mengelola tantangan dengan bijaksana demi keseimbangan dan kemajuan bersama.

Secara keseluruhan, Asta Brata mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualitas moral dan kemampuan yang seimbang dalam semua aspek kepemimpinan, dari kebijakan hingga sikap terhadap masyarakat. Pemimpin yang mengamalkan prinsip Asta Brata mampu menciptakan kemakmuran, kesejahteraan, dan keharmonisan dalam masyarakat.

Tiga Martabat Manusia dalam tradisi Jawa, yang meliputi Wiryo, Arto, dan Winasis, menggambarkan tiga aspek penting dalam kehidupan manusia yang harus dimiliki agar seseorang dapat mencapai kesejahteraan dan kehormatan. Ketiga martabat ini saling terkait dan mencakup dimensi moral, sosial, dan intelektual dalam kehidupan.

  • Wiryo (Keluhuran)
    Wiryo mengacu pada kehormatan dan keluhuran, baik secara pribadi maupun sosial, yang mencakup akhlak, moralitas, dan etika. Individu dengan wiryo dihormati karena perilaku baik, karakter mulia, dan kesetiaan terhadap nilai-nilai kebaikan. Dalam kepemimpinan, wiryo berarti pemimpin yang dihormati karena sifat baik, kejujuran, dan tanggung jawabnya.
  • Arto (Kekayaan)
    Arto merujuk pada kekayaan atau harta benda, yang mencakup uang, tanah, dan sumber daya lainnya. Dalam pandangan tradisi Jawa, kekayaan bukanlah tujuan hidup, melainkan sarana untuk mencapai kesejahteraan dan membantu orang lain. Pengelolaan kekayaan yang bijaksana dan berbagi dengan yang membutuhkan merupakan inti dari arto yang sebenarnya.
  • Winasis (Ilmu)
    Winasis berarti ilmu atau pengetahuan, yang mencakup kemampuan berpikir, belajar, dan berkembang. Ini meliputi pengetahuan, keterampilan, dan kebijaksanaan dalam menghadapi masalah. Orang dengan winasis dihargai karena kepandaian dan kemampuannya memberi solusi. Dalam kepemimpinan, winasis menunjukkan bahwa pemimpin harus memiliki pengetahuan luas dan wawasan untuk memimpin dengan bijaksana.

Ketiga martabat ini saling mendukung. Wiryo memberikan landasan moral yang kokoh, arto menyediakan sumber daya untuk mencapai tujuan dan kesejahteraan, sedangkan winasis memberikan kecerdasan untuk berpikir dan bertindak bijak. Ketiganya diperlukan agar seseorang dapat hidup dengan seimbang dan dihormati dalam masyarakat.

Lakon Wayang atau Serat Tripama/Tripomo adalah karya sastra Jawa yang berisi ajaran tentang nilai-nilai kehidupan yang diambil dari cerita wayang. Dalam Serat Tripama, ada penggambaran tentang 3 Ksatria Keteladanan Utama, yang menunjukkan karakter-karakter ideal bagi seorang pemimpin atau pahlawan dalam masyarakat. Lakon Wayang atau pada Serat TRIPAMA/TRIPOMOatau 3 Ksatria Keteladanan Utama :

  • Bambang Sumantri, atau Patih Suwanda, menggambarkan tekad yang kuat dan semangat untuk meraih kesuksesan, meskipun harus menghadapi tantangan besar dari adiknya, Sukrosono, seorang raksasa. Kumbakarna, adik dari Rahwana, terkenal karena kecintaannya terhadap tanah air dan kesetiaannya pada negaranya, walaupun ia terlibat dalam peperangan. Adipati Karna, yang merupakan anak buangan Kunti, dikenal karena kesetiaan dan keteguhannya dalam menepati janji, meskipun akhirnya gugur di tangan saudaranya, Arjuna.
  • Kumbakarna adalah adik dari Rahwana dalam cerita Ramayana, yang memiliki cinta yang mendalam terhadap tanah air. Kumbakarna dikenal bukan hanya karena kekuatannya, tetapi juga karena kesetiaannya dalam melindungi negaranya. Meskipun terlibat dalam perang, Kumbakarna tetap berjuang untuk pertahanan dan kehormatan tanah airnya, tidak untuk kepentingan pribadi atau ambisi kekuasaan, dan mencerminkan nilai kesetiaan kepada negara.
  • Adipati Karna, pahlawan tragis dalam Mahabharata, meskipun dilahirkan di luar pernikahan dan dibuang, tetap menunjukkan kesetiaan, keteguhan, dan komitmen pada janjinya. Ia setia pada Duryodhana, sahabatnya, meskipun tahu bahwa ia adalah saudara dari Pandawa. Karna tetap berpegang pada prinsipnya, bahkan ketika akhirnya tewas di tangan Arjuna, saudaranya, menjadi simbol kesetiaan dan keteguhan dalam menghadapi takdir tragis.

Daftar Pustaka 

Rizal Amril Yahya (2022). Isi Serat Wedhatama Bahasa Jawa dan Artinya Bahasa Indonesia. https://tirto.id/isi-serat-wedhatama-bahasa-jawa-dan-artinya-dalam-bahasa-indonesia-gjEw

Ronald Seger Prabowo (2023). Sejarah Raja Mangkunegara IV, Sosok Raja Modernis yang Peduli Budaya Jawa. https://surakarta.suara.com/read/2023/11/29/183908/sejarah-raja-mangkunegara-iv-sosok-raja-modernis-yang-peduli-budaya-jawa

Emy Nur Issae Fitri (2015). Ajaran Kepemimpinan asta Brata Dalam Serat Rama Karya  R.NG.YASADIPURA. https://r.search.yahoo.com/_ylt=AwrKAS8aej5nphsORp33RQx.;_ylu=Y29sbwMEcG9zAzIEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1732176539/RO=10/RU=https%3a%2f%2fdigilib.uns.ac.id%2fdokumen%2fdownload%2f50513%2fMjA1MDYw%2fAjaran-kepemimpinan-asthabrata-dalam-serat-rama-karya-rngyasadipura-Kajian-Estetika-Resepsi-Berdasarkan-Horizon-Harapan-Robert-Jauss-abstrak.pdf/RK=2/RS=3gtxapj0k2.IlbLgnCSMhBZSBts-

Mangkunegara IV. Serat Wedhatama. (Mengajarkan etika dan moralitas kepemimpinan, termasuk prinsip "Eling lan Waspada," "Awya Mematuh Nalutuh," dan "Bangkit Ajur-Ajer," yang berfokus pada kesadaran, kewaspadaan, dan kemampuan pemimpin untuk pulih setelah kegagalan).

Rangkuti, H. M. (Ed.). Kepemimpinan dalam Perspektif Jawa: Filsafat dan Praktik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005. 

Sulistyanto, A. S. Kepemimpinan yang Beretika dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2010. 

Kurniawan, B. Kepemimpinan yang Beretika: Pemimpin Jawa dalam Kearifan Tradisional. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2018. 

Santo (2023). Serat Wedhatama adalah: Pengertian, urutan dan isinya. https://www.detik.com/jateng/budaya/d-6821049/serat-wedhatama-adalah-pengertian-urutan-dan-isinya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun