3. Irma Suryani SE.,MM*., -- Anggota Komisi IX DPR RI, Fraksi Nasdem (Tidak hadir)
 4. dr. dr. Kurniawan Satria Denta, M.Sc, Sp.A, -- Dokter Spesialis Anak dan CEO dan Founder KiDi Pejaten Klinik Spesialis AnakÂ
5. Yuli Supriati -- Sekjen KOPMAS,Â
6. Rusmarni Rusli S.Pd., -- Ketua Relawan Demokrasi PDIP Â
Dari apa yang dipaparkan dan ditanggapi, persoalannya masih sama. Tingkat pendidikan ibu berkaitan dengan pengtahuan ibu tentang gizi. jadi dari hasil temuan lapangan yang disampaikan Sekjen KOPMAS, Ibu Yuli Supriati masih hal-hal yang memprihatinkan. Lucunya pengetahuan gizi tidak terkait dengan kemiskinan. Karena di masyarakat yang ekonominya rendah, tetap rutin memberikan uang jajan pada anak.Â
Saya jadi bepikir untuk apa  melarang para bapak berhenti merokok kalau para ibu tetap memberikan uang jajan pada anaknya. Karena uang rokok dan uang jajan, seharusnya bisa dioptimalkan para ibu untuk belanja dan membuat masakan untuk keluarga yang bergizi. Anak diberi uang jajan, anak kenyang (sesaat) dengan jajanan, di rumah tetap minta makan.Â
Atau karena terbatas memiliki uang, apa yang dimakan anak saat jajajn sudah dianggap para Ibu, anak sudah makan? kebanyakan jajanan yang dibeli tidak bergizi hanya berpemanis dan canpuran tepung. Kalau kondisinya seperti ini, bagaimana stunting di angka 14 persen bisa dicapai? Belum akibat ketidaktahuan, ada orangtua yang masih memberikan anak balitanya kental manis karena menganggap itu susu.
Kang Maman selaku moderator, mengatakan: Bicara stunting juga harus bicara literasi. Bagaimana mengemas pesan dengan baik agar mudah dipahami. Kita tidak medianya, walau media sosial lumayan memiliki kekuatan dalam menyebarkan informasi tapi penetrasinya belum di optimal. karena internet belum merata di pelosok indonesia. Â Jadi pesan masih harus disampaikan lewat ujung tombak di masyarakat yaitu para penyuluh gizi dan sukarelawan petugas Posyandu. Mereka yang diberikan penjelasan sedemikian rupa, karena mereka yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Mereka yang tahu dan kenal dengan pasti orang-orang ditenpat tinggal mereka. Mendata atau megidentifikasi stunting dan gizi buruk harus lewat mereka.
Para penyuluh Gizi, Petugas Puskesmas dan petugas Posyandu ini yang harus diperhatikan, kebutuhannya terkait pekerjaan mereka. harus dipenuhi. Indonesia kaya tapi tanpapengetahuan, kekayaan indonesia tidak optmal dimanfaatkan. Daun kelor yang orang bule sebut Magic leaf- daun ajaib kareba besar dan luar biasanya kandungan gizi di dalamnya. Di Indonesia baru sebagaian kecil yang tahu. Daun kelor tumbuh subur hampir merata di sleuruh wilayah Indonesia. Bagi yang sudah tahu daun kelor dijadikan bahan makanan. baik untuk sayur, bahkan yang kreatif mengolahnya menjadi nuget dengan campyran telor ayam. Di Gorontalo, daiun kelor cuma untuk makan kambing. Sebenarnya ini, tidak beda dengan masyarakat kota besar seperti Jakarta. Yang mengkonsumsi salmon dalam menu makan ibu hamil. Padahal ikan kembung memiliki kandungan yang nggak jauh berbeda dengan ikan salmon. Yang memilih brokoli daripada bayam.Â
Saya melihat masih banyak gap antar lembaga dalam upaya menurunkan angka stunting. Kolaborasinya kurang, atau nggak nyambung. Nah sebagai orang awan, saya kurang paham gapnya apa dan kenapa. Karena  ketika target penurunan angka stunting menjadi program nasional dan di turunkan ke bawah harusnya satu kata, satu ide. Misalnya program Isi Piringku dari Kemenkes, harusnya sejalan dengan program ASI ekslusive dari BKKBN, berarti ada perhatian khusus pada pekerja perempuan di mana Kementerian tenaga perlu membuat aturan yang memungkinkan perempuan pekerja mendapat cutil melahirkan yang mendukung target ASI Ekslusive. 6 tanpa potong gaji, agar ibu hamil ingga melahirkan dan menyusui cukup makan makan bergizi. Bukankah mencegah stunting dimulai dari 1000 hari pertama kelahiran?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H