Mohon tunggu...
Elisa Koraag
Elisa Koraag Mohon Tunggu... Administrasi - Influencer

Saya ibu rumah tangga dengan dua anak. gemar memasak, menulis, membaca dan traveling. Blog saya dapat di intip di\r\nhttp://puisinyaicha.blogspot.com/\r\nhttp://www/elisakoraag.com/ \r\nhttp:www.pedas.blogdetik.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Okti Li, Melati dari Cianjur

27 September 2015   20:15 Diperbarui: 27 September 2015   20:16 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Tak pernah terlintas dalam pikirannya, akan bekerja di luar negeri. Apalagi sebagai tenaga kerja informal. Tapi jalan hidupnya tergaris demikian, dan ia menjalankannya dengan ikhlas. 11 tahun perempuan ini mengabdikan diri sebagai TKI sejak tahun 2000 akhir hingga 2011. Singapura,  Hongkong dan Taiwan, adalah negara-negara di mana ia pernah menjejak. Ketika aku menanyakan, apakah ia mempunyai rencana untuk kembali menjadi TKI, ia menggeleng. “ Saat ini aku memiliki suami dan anak, dan untuk mereka aku ada!” Jawabnya sambil tersenyum.

Perempuan dengan pendidikan akhir tamat SMA ini terlahir, 18 Januari 1979. Menikah 5 April 2012, dengan Iwan Kurniawan, kakak kelas waktu sekolah di SMA. Kini sudah dikaruniakan seorang putera. Menetap di salah satu desa di kawasan Cianjur yang jaraknya tak terlalu jauh dari Jakarta. Bahkan Bandung masih lebih jauh. Tetapi sarana jalan keluar masuk dari dan ke kampungnya masih sangat jelek, membuat jarak tempuh Cianjur-Jakarta antara 7-8 jam. Dan waktu selama itu tak pernah menyurutkan semangatnya datang dan mengiktui berbagai kegiatan blogger di Jakarta. (Ini sentilan keras buatku, yang merasa Ciledug-tempat saya tinggal sangat jauh dari pusat kota Jakarta)

Perempuan ini memilih jadi TKW karena saat itu, tahun 99, di mana Indonesia sedang krisis moneter dan terjadi kerusuhan dimana-mana, khususnya DKI. Banyak PHK, susah kerja. Sebagai anak tertua, Ia sangat mengerti arti memindahkan tanggung jawab dari pundak Sang Bunda ke pundaknya. Sebetulnya sebagai anak yang berprestasi, perempuan ini mempunyai keinginan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi. Tapi kesadarannya membantu Sang Bunda, menguburkan impiannya. Ia sudah bersyukur bisa menamatkan pendidikan SMA, mengingat Sang Ayah meninggal saat ia duduk di SMP. Biaya sekolahnya hingga tamat SMA didapat dari menjual tanah warisan dari keluarga Sang Ayah. Krisis moneter di Indonesia tahun 99, membuat biaya jadi membengkak dan daripada putus di tengah jalan, dengan kesadaran sendiri, Ia memilih kerja. Tidak ada pekerjaan yang menjanjikan buatnya dengan pendidikan yang hanya tamat SMA, selain pilihan untuk kerja ke luar negeri.  Ia beruntung, saat itu aturan kerja ke luar negerinya belum ketat seperti sekarang.

Pergumulan dalam diri sangat berat ketika ia memutuskan menjadi TKI di LN. Saat memutuskan jadi TKW, yang ada dalam pikirannya adalah meninggalkan ibu dan adik tanpa tahu, akankah kembali?, Bagaimana seandainya Ia celaka atau mati di luar negeri, dan atau sebaliknya jika ada yang tidak diinginkan terjadi pada ibu atau adiknya?  Dengan terus memohon kekuatan dari yang di Atas, ia, ibu dan sang adik berusaha saling mengikhlaskan jika terjadi sesuatu di antara mereka.

Negara tujuan awalnya adalah Taiwan. Tapi saat itu pengiriman resmi TKI ke Taiwan sedang tutup. Ia tidak ingin pulang ke kampung karena malu. Sudah banyak biaya yang dikeluarkan untuk biaya dokumen ongkos dll.  Ia terpaksa menerima tawaran pihak perusahaan jasa tenaga kerja yang menyarankan ke Singapura. Maka  negara pertama yang ia tapaki sebagai pekerja rumah tangga adalah  Singapura.

 

Siapakah perempuan hebat ini? Darinya aku belajar banyak.  Perempuan ini, bukan perempuan asing dikalangan blogger.  Bernama lengkap, Okti Lilis Linawati. Ia menyebut dirinya Teh Okti dan akun media sosialnya tertulis Okti Li. Aku mengenalnya pertama kali tahun 2012 di sebuah acara di Bandung. Saat itu ia memenangkan live tweet dan mendapat sebuah handphone.  Dan aku hanya memandang kagum dari kejauhan tanpa berani mendekatinya.

Selanjutnya, aku hanya mengenalnya di sosial media lewat akun Blogger senior Dian Kelana. Ternyata perempuan muda itu, termasuk salah satu anak asuh Ayah Dian. Hingga info dan foto pernikahannyapun, ku dapat dari akun sosial Ayah Dian. Aku tetap hanya pengaggum rahasianya.

Tanpa sepengetahuan yang bersangkutan, aku selalu mengikuti kisah perjalanan hidupnya dan pemikirannya lewat tulisannya di Kompasiana. Buat aku, ia perempuan hebat. Tanpa sadar, aku menyimpan kekaguman atas dirinya. Aku lupa di mana aku mengenalnya lebih dekat. Lebih dekat dalam pengertian, menjabat tangannya dan bertatap muka dengannya. Ketika aku bertanya pada perempuan itu, Ia menebak, Ancol tahun 2013? Mungkin. Saat itu, peresmian salah satu wahana dan kami berdua, termasuk dari sekian banyak blogger yang diundang. Jujur aku lupa, yang aku ingat, kami berdua saling membantu mengabadikan momen dengan kamera agar bisa menjadi dokumentasi ilustrasi laporan. Kamipun berpisah di Ancol dan berjanji saling mengirimkan foto. Lalu tidak ada pertemuan.

Ketika aku menanyakan pendapatnya mengenai kebijakan pemerintah terkait TKI, Okti mengatakan; “kebijakan pemerintah tentu saja sudah dibuat berdasarkan hasil pemikiran dan penelitian para ahli, pakar dan staff khusus. Mereka tentunya mempunyai fakta dan data yang bisa dipertanggungjawabkan. Kebijakan pemerintah bagus, ujungnya untuk kebaikan dan regulasi yang baik bagi warga negaranya. Termasuk kebijakan untuk TKI. Intinya saya setuju dengan kebijakan pemerintah terkait kebijakan TKI.

Yang salah itu SDMnya, baik petugas, perwakilan pemerintah, maupun para TKI nya itu sendiri. Karena saya lihat, kebijakan dari pemerintah negara tempat saya kerja pun tidak kalah sulit atau banyak. malah terasa lebih ketat. Tapi ternyata kalau SDM nya idealis dan loyal. menjunjung tinggi nilai kejujuran dan non KKN, mereka oke-oke saja.

Yang harus diperbaiki mental SDM orang Indonesia sendiri, termasuk para petugas, perwakilan pemerintah dan TKI nya itu sendiri, sampai ke calo/sponsor dan perusahaan  yang mengurus pemberangkatan (dokumen) TKI.”

Okti melanjutkan: “Pengalaman saya, SDM Indonesia masih bisa disogok, masih minta imbalan diluar gaji mereka, dan kerja asal bapak senang alias bisanya membuat laporan yang baik dan bagus, tapi hasil di lapangan nol. itu intinya.”

Sementara terkait keadaan mantan TKI yang sudah kembali ke kampung, memiliki problem yang tidak sedikit.” Kenaikan taraf ekonomi di kampung itu relatif, bagaimana si TKi dan keluarganya itu sendiri, kalo mereka boros, konsumtif, ya tidak ada perubahan, malah tki jadi sapi perah, terus-terusan kerja demi menghasilkan uang, untuk pemenuhan kebutuhan keluarganya yang boros/konsumtif di kampungnya” Ujar Okti

Okti mengalami apa yang dialami para Tki yang pertama kali bekerja di LN. Bahasa. Kendala bahasa tidak membuat Okti putus asa. Dengan keyakinan dan niat belajar yang besar, kendala bahasa bisa diatasi.   “Kendala bahasa aku hadapi santai saja. Aku tahu makanan mereka tidak beda dengan makanan yang aku makan, jadi kenapa harus takut?” Okti tertawa. “Maksudnya, kalo aku gak ngerti ya aku nanya. Aku salah ya aku minta maaf, berusaha tidak mengulangi kalo sudah dikasih tahu, itu kuncinya”.

Hal yang menguntungkan menurut Okti, karena sejak SMP, ia sudah menyukai Bahasa Inggris dan di Singapura, Bahasa Inggris adalah Bahasa Nasional. Sehingga Okti menjadi kondisi itu sebagai kesempatan dapat pelajaran kurus baru. Semua praktek antara mengucapkan (bicara dengan majikan dll), membaca (pesan dari majikan, belanja ke pasar, membaca plang/rute kendaraan, membaca pesan guru/bekal anak majikan, dll), dan menulis (mengisi daftar hadir anak sekolah, menulis pesan daftar keperluan ke majikan) dll.

Dengan tekad yang kuat untuk mencari uang, Okti tidak pernah gentar berhadapan dengan agency. Menurut Okti, “semua sesuai prosedur saja, aku salah aku minta maaf... kalo mereka salah, aku juga bilang dan itu akan aku laporkan ke KBRI, KDEI, KJRI dll, yang terkait”.

 

Selanjutnya aku dan Okti bertemu di beberapa acara blogger tapi tidak pernah terbangun kedekatan dari hati ke hati. Aku tetap sebatas penganggumnya. Sampai  awal Sept, aku dan ia mendapat undangan hadir di suatu acara yang mengharuskan datang pagi dan tidak terlambat. Ia dari Cianjur, untuk hadir jam 8 pagi di Jakarta, bukanlah hal mudah. Lalu ia bertanya, adakah yang mau menerma ia menginap semalam, agar besok pagi bisa datang segar dan tidak terlambat? Aha, pucuk dicinta ulam tiba, tanpa berpikir panjang, aku menyanggupi menerimanya bermalam. Dengan catatan, ia mau menerima rumahku apa adanya.

Kebetulan aku dan suami pernah bertemu dengan Okti dan suami di sebuah acara, beberapa bulan lalu. Suamiku juga salut pada Okti dan keluarga yang menempuh perjalanan panjang dari  Cianjur untuk hadir di Jakarta. Sehingga ketika aku minta izin, mengajak Okti menginap di rumah kami, suamiku mengizinkan. Yang terlintas dalam pemikiranku, aku bisa bertukar pikiran. Di luar dugaan Fun Blogging mengadakan kegiatan mencari pasangan, untuk berkenalan dan menuliskan pada blog mengenai sosok yang akan kita kenali. Okti langsung memilih aku, padahal aku ingin memilih dia. Maka kami sepakat untuk saling mengenal lebih jauh.

Pada hari yang ditentukan kami janjian bertemu di sebuah acara blogger. Senang banget bertemu Okti, Aku nggak bisa mnejelaskan mengapa senang bertemu dengannya. Ini barangkali yang dibilang rasa kagum. Kami mengikuti acara dengan semangat, ngobrol, bercanda dan akhirnya pulang bersama. Sepanjang jalan pulang kita melanjutkan obrolan, seakan takut kehabisan waktu. Topik yang kami obrolkan banyak, mulai dari hal yang terjadi di sekitar blogger dan perbloggingan, dunia perempuan, kehidupan pribadi, cita-cita dan pemikiran masing-masing.

Tiba di rumahku sudah larut malam, si bungsu sudah tidur dengan Papanya. Aku dan Okti tidur di kamar si Bungsu. Karena lelah, tak banyak lagi yang kami obrolkan. Sesudah bersih-bersih dan ganti pakaian, kamipun tidur.

Seperti biasa, pukul 04.30 aku bangun untuk mengurus sekolah Si Sulung. Menyetrika seragam, menyiapkan sarapan dan bekal. Pk. 05.00 aku membangunkan Okti untuk Salat subuh. Pk. 05.45, sulungku berangkat sekolah, akupun bersiap-siap untuk menghadiri Focus Group Disccusion yang diadakan Oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (KPP-PA) Aku tak punya apa-apa untuk sarapan, hanya segelas teh hangat dan biskuit. Okti menerima apa adanya. Pk. 07.00 pesan Go-Jek. Pk. 07.30 Go-Jek datang dan kami berangkat. Aduh, ternyata Ciledug-Hotel Grand Menteng, Jakarta-Pusat  itu jauh banget. Pk. 08.40- Satu jam lebih, baru kami sampai.

Kami peserta pertama loh yang datang. Sambil menunggu yang lain, kami lanjut ngobrol. Okti kagum dengan Go-Jek. Katanya: enak banget, naik-turun, kembalikan helm dan ucapkan terima kasih. Aku tertawa, itu karena aku punya kredit di akun Go-Jekku. Saat diskusi berlangsung, Okti memberikan catatan yang memintaku memesan Go-Jek untuknya. Karena sepulang dari acara FGD, ia ingin singgah di Kramat Jati sebelum pulang ke Cianjur. Aku menyanggupi dan memintanya menuliskan alamat yang dituju.

Usai acara, kami keluar dan aku memesan Go-Jek untuknya dan untukku. Lumayan lama, dan kami kembali ngobrol. Kami banyak tertawa, mentertawai liku-liku hidup dan keputusan yang diambil, hingga mensyukuri hidup sampai saat ini. Ketika Go-jek datang, aku mempersilakan Okti pergi dan mengingatkan bayar cash Rp. 10.000 karena kredit diakunku sudah habis. (Aku kehilangan kredit Go-Jek sekitar Rp. 1.jt), maka akun baruku, masih kosong.

Pembicaraan antara aku dan okti dilanjut lewat inbox di fb. Tak banyak kami foto bersama. Karena saat kami bertukar pikiran, tak terlintas menggunakan tongsis untuk berfoto berdua. Tapi bagiku foto berdua tak lagi penting, kaena antara aku dan Okti sudah terjalin kedekatan dari hati ke hati. Karena persamaan kami sebagai perempuan, istri, ibu, blogger dan warga negara yang menginginkan kehidupan lebih baik.

Okti masih menyimpan kegalauan terkait masalah mantan TKI yang sudah kembali ke Indonesia. Banyak di antara mereka yang gaya hidupnya menjadi boros, sehingga tabungan habis dan kembali ke titik nol. Atau dikejutkan dengan prilaku keluarga yang menghabiskan uang hasil kerja para TKI. Tak sedikit para suami yang menikah lagi dan membawa lari uang para TKI. Karena itu Okti bersama kawan-kawan mantan TKI tetap berkomunikasi dan membangun jaringan untuk memberi pengajaran menjaga apa yang mereka kumpulkan agar dapat digunakan sesuai tujuan awal ketika berangkat menjadi TKI.

Masih banyak yang bisa diceritakan dari seorang Okti Li, cita-cita dan pemikirannya yang luas tak cukup dituliskan hanya dalam satu artikel. Semoga apa yang aku tulis bisa memberi pencerahan bagi yang membaca. Dan lain waktu semoga aku punya kesempatan lain menggali pemikiran dan cita-citanya. Terima kasih Okti, Melati dari Cianjur. Semoga keharuman pemikiran dan kontribusi menyebar ke seluruh dunia. Terima kasih, mau mengenalku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun