[caption id="attachment_416517" align="aligncenter" width="300" caption="Pelukis Agus Junawan dan Tim PEDAS dari Komunitas PEDAS-Penulis dan Sastra"][/caption]
Pelukis Agus Junawan berkolaborasi dengan Sobat Pedas dari Komunitas PEDAS-Penulis dan Sastra di pembukaan pameran lukisan yang bertema Napas Seni, Sabtu: 9 Mei di Rumah Sarwono, Jakarta Selatan. Pelukis Agus Junawan memainkan kuasnya di atas kanvas bersamaan dengan  Sobat-sobat Pedas dari Komunitas PEDAS-Penulis dan Sastra membacakan parade puisi karya Uwan Urwan dan Lathifah Edib. Dua puisi yang belum pernah dibacakan dan baru diperdengarkan saat pembukaan Pameran Lukisan, menjadi sebuah kehebohan sendiri bagi pelukis Agus karena energi yang dikirimkan lewat  suara pembaca puisi menyentak rasa Pelukis Agus yang bisa menggoreskan kuas dengan warna-wana yang sama dengan apa yang dibacakan. Tanpa ada koordinasi terlebih dahulu. Bahkan Pelukis Agus mengatakan, ia nyaris menangis ketika perasaannya mencerna bait demi bait puisi yang dibacakan Sobat PEDAS.
[caption id="attachment_416536" align="aligncenter" width="300" caption="Pelukis Agus Junawan dan Tim PEDAS dari Komunitas PEDAS-Penulis dan Sastra"]
Menurut Ireng Halimun koordinator acara, Pamern Lukisan "Napas Seni" akan digelar hingga 16 Mei 2015. Pameran Lukisan diikuti 13 pelukis, dibuka oleh Miranty Abidin, Komisaris Fortune Pramana Rancang (FPR), Miranty Abidin, penerima penghargaan sebagai Duta Perdamaian Dunia dan dianugerahi gelar Sri Ratu Condro Kusuma Dewi dari Maharaja Kutai Mulawarma. Penghargaan dan gelar tersebut diterima karena kiprahnya sebagai pemerhati budaya.
[caption id="attachment_416523" align="aligncenter" width="300" caption="Ireng halimun, Miranty Abidin dan Enggar Sarwono"]
Rumah Sarwono salah satu tempat yang indah dan menarik dan sangat pas untuk dijadikan tempat melakukan aktifitas kebudayaan. Irenga Halimun dalam sambutannya mengharapkan Rumah sarwono bisa menjadi rumah budaya dimana, diskusi budaya dan karya-karya seni bisa dijadikan alternatif  kegiatan memperkaya rasa dan intelektual.
Dari 13 pelukis ada sekitar 60 an lukisan yang dipamerkan. Berbagai pesan diungkapkan lewat gambar, menghasilkan karya yang indah, sekaligus menggelitik nurani.
[caption id="attachment_416527" align="aligncenter" width="300" caption="Kira-kira pesan apa yang ingin disampaikan pelukisnya? Human Traficking?"]
[caption id="attachment_416528" align="aligncenter" width="300" caption="Silakan interpretasikan sendiri. itu batiknya PGRI"]
[caption id="attachment_416529" align="aligncenter" width="300" caption="Penulis bersama istri dari Koordinator acara"]
[caption id="attachment_416530" align="aligncenter" width="300" caption="Nyi Roro Kidul dan Peri laut"]
[caption id="attachment_416532" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu lukisan karya Ireng Halimun"]
Saya hanya pecinta seni, melihat parade lukisan yang ada jiwa saya terhibur walau ada sedikit perasaan nyeri di sisi hati. Tapi saya tak mampu ungkapkan apa dan mengapa. Karya-karya lukisan yang indah dan sarat pesan sosial. Lewat menikmati pameran lukisan, jiwa saya diperkaya oleh karya dan karsa para pelukis. bagi anda yang ingin menikmati silakan datang. Hingga akhir Minggu masih akan ada demo melukis dan diskusi budaya lainnya.
Inilah puisi-puisi yang dibacakan Sobat PEDAS pada pembukaan Pameran Lukisan Napas Seni:
Lukislah Keramat
Karya: Uwan Urwan
Kepada yang menggenggam warna-warna bumi
Kepada yang bisu setiap malam
Kepada yang melebarkan kertas dan kanvas untuk hidup
Kau tahu bagaimana cita-cita menggenggam urat nadi?
Sebotol bir ekstrak daun sereh melipir di bibirku
Semangkuk es teler menggeliat dalam perut
Bekas rimbun bunga matahari sore hari
Kubasakan ujung kuas dengan merah
Aku hendak melukis kanvas dalam kanvas
Ada perempuan berbaju seperempat baya di sana
Mestinya kulukis
Tapi.... punggungnya retak
Aku tak jadi menghampirinya
Lebih baik kutiupkan napas dalam warnaku
Merah yang tadi kutambahkan putih
Bendera merah putih
Hitam kutaburkan senja
Bintang berkilauan
Sore kulempar ikan baronang
Pelangi menjelma
Ah, bumiku makin girang karena kubenamkan aneka bidadari dalam perutnya
Hei, sebut aku pelukis lara, tanganmu keramat
Kau tentu saja pelukis roti bakar
aku pernah melihat sekali kau melumat koin lima ratusan bergambar monyet
Itu kan dirimu
Dan kau pun tertawa dalam bijak
Kau menepuk pundakku bersandar pada angin kini
Ini hari apa?
Ah, kau bertanya tentang hari?
aku tak mengerti
Yak kutahu hanya berbenah saat terang menjelma
Dan mulai menikmati setiap isapan rokok dan sapuan warna yang kugeluti
Aku tak pernah berdiskusi dengan hari
Atau bercumbu dengannya
Untuk apa?
kau tak lagi berpakaian kuas?
Sejak kapan?
Apa kau tak rindu menggemggam tangan hijau, kuning, kelabu?
Jiwamu memang telah gelap
Tapi bukan berarti kau tak bernyawa
Kau masih terbang di atas kertas-kertas
Menarilah
Hiruplah udara bersamanya
Jangan pernah lengah
Setiap otak yang kau pikirkan adalah sumber bentuk
Sumber warna
Sumber girang
Ah, sudahlah
Kau renta. Aku tak perlu menjelaskan betapa pentingnya duduk di depan pigura yang kusisipkan padamu.
Pergilah
Bawalah setiap kisah dalam tanganmu
Aku menunggu itu
Depok, 4 Mei 2015
Lukisan di Pinggiran Zaman
Goresan: Lathifah Edib
Tuan-tuan, puan-puan, mari pegang ini kuas
Kuas terbuat dari cahaya
Kalian tahu sumbernya dari mana?
Mata hati, mata akal, mata sosial
Tuan-tuan, puan-puan, mari pegang ini pena
Lukislah kami yang berpuisi
Tentang tuan-tuan dan puan-puan
Yang menatap raut alam seperti menatap kasih Tuhan
Tuan-tuan, puan-puan,
Di atas koran, kami siapkan pewarna dari pelangi
Itu warna-warni murni dari doa kami
Tolong kalian gunakan sebagai pewarna kehidupan
Tuan-tuan, puan-puan, kami berikan ini kanvas
Terbuat dari kulit mati rakyat
Dan remah-remah bangkai penghuni hutan
Bisakah kalian lukis kesakitan alam?
Bisakah kalian lukis besarnya impian kebahagiaan?
Tuan-tuan, puan-puan, kami punya keinginan
Dilukis saat tangan kalian terpukau menatap matahari
Di mata orang-orang jalanan
Tuan-tuan, puan-puan, kami tak punya uang jutaan
Kami hanya punya recehan hasil mengamen
Kenapa mesti berhenti melukis kami?
Tuan di pojok sana, puan di ujung sana!
Hei, ayo bangun dan pandang kami!
Kami pinta lukis tanpa paksaan
Bukankah tangan kalian perpanjangan Tuhan?
Bukankah gerakan ruh kalian di kanvas itu adalah tarian jiwa?
Ayo meliuklah seiring musik sederhana dari gitar usang ini
Tuan di tengah sana, puan di lantai pelataran
Kami ingin rebah dan tersenyum di kanvas itu
Kami ingin bernapas tanpa isakan
Kami ingin terbahak menatap raut muka kalian
Yang sedang serius melukis kami
Ya, kami: napas jiwa kalian
Kami hanya punya mimpi
Kalian lah yang beri warna pelangi
Kami hanya punya recehan
Kalian lah yang mesti lukiskan istana megah
Kami hanya punya senyuman
Lukiskanlah selagi senyum kami masih setulus awan
Tuan-tuan, puan-puan, berhari-hari kami menatap awan
Yang tampak sekadar wajah muram
Langit belah, udara aroma marah, tanah pun gerah
Detik ini, duhai tuan puan...
Kami ingin melihat lukisan bercerita tentang kami
: bocah-bocah di pinggiran zaman
Yogya, 030515
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H