Mohon tunggu...
Elisa Koraag
Elisa Koraag Mohon Tunggu... Administrasi - Influencer

Saya ibu rumah tangga dengan dua anak. gemar memasak, menulis, membaca dan traveling. Blog saya dapat di intip di\r\nhttp://puisinyaicha.blogspot.com/\r\nhttp://www/elisakoraag.com/ \r\nhttp:www.pedas.blogdetik.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kolaborasi Seni Lukis dan Seni Membaca Puisi

10 Mei 2015   23:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:11 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_416517" align="aligncenter" width="300" caption="Pelukis Agus Junawan dan Tim PEDAS dari Komunitas PEDAS-Penulis dan Sastra"][/caption]

Pelukis Agus Junawan berkolaborasi dengan Sobat Pedas dari Komunitas PEDAS-Penulis dan Sastra di pembukaan pameran lukisan yang bertema Napas Seni, Sabtu: 9 Mei di Rumah Sarwono, Jakarta Selatan. Pelukis Agus Junawan memainkan kuasnya di atas kanvas bersamaan dengan  Sobat-sobat Pedas dari Komunitas PEDAS-Penulis dan Sastra membacakan parade puisi karya Uwan Urwan dan Lathifah Edib. Dua puisi yang belum pernah dibacakan dan baru diperdengarkan saat pembukaan Pameran Lukisan, menjadi sebuah kehebohan sendiri bagi pelukis Agus karena energi yang dikirimkan lewat  suara pembaca puisi menyentak rasa Pelukis Agus yang bisa menggoreskan kuas dengan warna-wana yang sama dengan apa yang dibacakan. Tanpa ada koordinasi terlebih dahulu. Bahkan Pelukis Agus mengatakan, ia nyaris menangis ketika perasaannya mencerna bait demi bait puisi yang dibacakan Sobat PEDAS.

[caption id="attachment_416536" align="aligncenter" width="300" caption="Pelukis Agus Junawan dan Tim PEDAS dari Komunitas PEDAS-Penulis dan Sastra"]

14312740081949047146
14312740081949047146
[/caption]

Menurut Ireng Halimun koordinator acara, Pamern Lukisan "Napas Seni" akan digelar hingga 16 Mei 2015. Pameran Lukisan diikuti 13 pelukis, dibuka oleh Miranty Abidin, Komisaris Fortune Pramana Rancang (FPR), Miranty Abidin, penerima penghargaan sebagai Duta Perdamaian Dunia dan dianugerahi gelar Sri Ratu Condro Kusuma Dewi dari Maharaja Kutai Mulawarma. Penghargaan dan gelar tersebut diterima karena kiprahnya sebagai pemerhati budaya.

[caption id="attachment_416523" align="aligncenter" width="300" caption="Ireng halimun, Miranty Abidin dan Enggar Sarwono"]

14312724962055312695
14312724962055312695
[/caption]

1431272612848206331
1431272612848206331
Pembukaan pameran Lukisan "Napas Seni: ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Ireng Halimun selaku Koordinator pameran, Miranty Abidin Pemerhati Kebudayaan dan pecinta Seni serta Enggar Sarwono sebagai Pengelola Rumah Sarwono.

Rumah Sarwono salah satu tempat yang indah dan menarik dan sangat pas untuk dijadikan tempat melakukan aktifitas kebudayaan. Irenga Halimun dalam sambutannya mengharapkan Rumah sarwono bisa menjadi rumah budaya dimana, diskusi budaya dan karya-karya seni bisa dijadikan alternatif  kegiatan memperkaya rasa dan intelektual.

Dari 13 pelukis ada sekitar 60 an lukisan yang dipamerkan. Berbagai pesan diungkapkan lewat gambar, menghasilkan karya yang indah, sekaligus menggelitik nurani.

[caption id="attachment_416527" align="aligncenter" width="300" caption="Kira-kira pesan apa yang ingin disampaikan pelukisnya? Human Traficking?"]

1431272860726848231
1431272860726848231
[/caption]

[caption id="attachment_416528" align="aligncenter" width="300" caption="Silakan interpretasikan sendiri. itu batiknya PGRI"]

1431272909328143679
1431272909328143679
[/caption]

[caption id="attachment_416529" align="aligncenter" width="300" caption="Penulis bersama istri dari Koordinator acara"]

14312729621320609745
14312729621320609745
[/caption]

[caption id="attachment_416530" align="aligncenter" width="300" caption="Nyi Roro Kidul dan Peri laut"]

1431273029363868959
1431273029363868959
[/caption]

[caption id="attachment_416532" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu lukisan karya Ireng Halimun"]

14312732231230918331
14312732231230918331
[/caption]

Saya hanya pecinta seni, melihat parade lukisan yang ada jiwa saya terhibur walau ada sedikit perasaan nyeri di sisi hati. Tapi saya tak mampu ungkapkan apa dan mengapa. Karya-karya lukisan yang indah dan sarat pesan sosial. Lewat menikmati pameran lukisan, jiwa saya diperkaya oleh karya dan karsa para pelukis. bagi anda yang ingin menikmati silakan datang. Hingga akhir Minggu masih akan ada demo melukis dan diskusi budaya lainnya.

Inilah puisi-puisi yang dibacakan Sobat PEDAS pada pembukaan Pameran Lukisan Napas Seni:

Lukislah Keramat

Karya: Uwan Urwan

Kepada yang menggenggam warna-warna bumi

Kepada yang bisu setiap malam

Kepada yang melebarkan kertas dan kanvas untuk hidup

Kau tahu bagaimana cita-cita menggenggam urat nadi?

Sebotol bir ekstrak daun sereh melipir di bibirku

Semangkuk es teler menggeliat dalam perut

Bekas rimbun bunga matahari sore hari

Kubasakan ujung kuas dengan merah

Aku hendak melukis kanvas dalam kanvas

Ada perempuan berbaju seperempat baya di sana

Mestinya kulukis

Tapi.... punggungnya retak

Aku tak jadi menghampirinya

Lebih baik kutiupkan napas dalam warnaku

Merah yang tadi kutambahkan putih

Bendera merah putih

Hitam kutaburkan senja

Bintang berkilauan

Sore kulempar ikan baronang

Pelangi menjelma

Ah, bumiku makin girang karena kubenamkan aneka bidadari dalam perutnya

Hei, sebut aku pelukis lara, tanganmu keramat

Kau tentu saja pelukis roti bakar

aku pernah melihat sekali kau melumat koin lima ratusan bergambar monyet

Itu kan dirimu

Dan kau pun tertawa dalam bijak

Kau menepuk pundakku bersandar pada angin kini

Ini hari apa?

Ah, kau bertanya tentang hari?

aku tak mengerti

Yak kutahu hanya berbenah saat terang menjelma

Dan mulai menikmati setiap isapan rokok dan sapuan warna yang kugeluti

Aku tak pernah berdiskusi dengan hari

Atau bercumbu dengannya

Untuk apa?

kau tak lagi berpakaian kuas?

Sejak kapan?

Apa kau tak rindu menggemggam tangan hijau, kuning, kelabu?

Jiwamu memang telah gelap

Tapi bukan berarti kau tak bernyawa

Kau masih terbang di atas kertas-kertas

Menarilah

Hiruplah udara bersamanya

Jangan pernah lengah

Setiap otak yang kau pikirkan adalah sumber bentuk

Sumber warna

Sumber girang

Ah, sudahlah

Kau renta. Aku tak perlu menjelaskan betapa pentingnya duduk di depan pigura yang kusisipkan padamu.

Pergilah

Bawalah setiap kisah dalam tanganmu

Aku menunggu itu

Depok, 4 Mei 2015

Lukisan di Pinggiran Zaman

Goresan: Lathifah Edib

Tuan-tuan, puan-puan, mari pegang ini kuas

Kuas terbuat dari cahaya

Kalian tahu sumbernya dari mana?

Mata hati, mata akal, mata sosial

Tuan-tuan, puan-puan, mari pegang ini pena

Lukislah kami yang berpuisi

Tentang tuan-tuan dan puan-puan

Yang menatap raut alam seperti menatap kasih Tuhan

Tuan-tuan, puan-puan,

Di atas koran, kami siapkan pewarna dari pelangi

Itu warna-warni murni dari doa kami

Tolong kalian gunakan sebagai pewarna kehidupan

Tuan-tuan, puan-puan, kami berikan ini kanvas

Terbuat dari kulit mati rakyat

Dan remah-remah bangkai penghuni hutan

Bisakah kalian lukis kesakitan alam?

Bisakah kalian lukis besarnya impian kebahagiaan?

Tuan-tuan, puan-puan, kami punya keinginan

Dilukis saat tangan kalian terpukau menatap matahari

Di mata orang-orang jalanan

Tuan-tuan, puan-puan, kami tak punya uang jutaan

Kami hanya punya recehan hasil mengamen

Kenapa mesti berhenti melukis kami?

Tuan di pojok sana, puan di ujung sana!

Hei, ayo bangun dan pandang kami!

Kami pinta lukis tanpa paksaan

Bukankah tangan kalian perpanjangan Tuhan?

Bukankah gerakan ruh kalian di kanvas itu adalah tarian jiwa?

Ayo meliuklah seiring musik sederhana dari gitar usang ini

Tuan di tengah sana, puan di lantai pelataran

Kami ingin rebah dan tersenyum di kanvas itu

Kami ingin bernapas tanpa isakan

Kami ingin terbahak menatap raut muka kalian

Yang sedang serius melukis kami

Ya, kami: napas jiwa kalian

Kami hanya punya mimpi

Kalian lah yang beri warna pelangi

Kami hanya punya recehan

Kalian lah yang mesti lukiskan istana megah

Kami hanya punya senyuman

Lukiskanlah selagi senyum kami masih setulus awan

Tuan-tuan, puan-puan, berhari-hari kami menatap awan

Yang tampak sekadar wajah muram

Langit belah, udara aroma marah, tanah pun gerah

Detik ini, duhai tuan puan...

Kami ingin melihat lukisan bercerita tentang kami

: bocah-bocah di pinggiran zaman

Yogya, 030515

1431274997845619948
1431274997845619948

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun