Mohon tunggu...
Elisa Koraag
Elisa Koraag Mohon Tunggu... Administrasi - Influencer

Saya ibu rumah tangga dengan dua anak. gemar memasak, menulis, membaca dan traveling. Blog saya dapat di intip di\r\nhttp://puisinyaicha.blogspot.com/\r\nhttp://www/elisakoraag.com/ \r\nhttp:www.pedas.blogdetik.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Harga yang Dibayar oleh Rakyat

22 Maret 2012   12:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:37 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1332419308613165149

Kebodohan memimpin, mengarahkan dan mengayomi adalah harga yang dibayar oleh rakyat. Mendengar dan membaca informasi di berbagai media, bukan membuat aku menjadi lebih tahu. Sebaliknya aku jadi nampak semakin bodoh. Pakar-pakar itu berbicara dari berbagai sudut pandang. Tapi tidak ada yang berbicara dari sudut pandang rakyat yang take home pay nya, cuma Rp. 10.000.

Unjuk rasa menentang kenaikan BBM sangat didukung rakyat kecil apalagi para pedagang asongan. Bukan karena kepentingan mereka diperjuangkan. Tapi para pedagang ini menanggok untung selama musim unjuk rasa. Rakyat kecil tak mampu kalau disuruh berharap yang terlalu jauh karena bagi mereka cuma dua persoalan, “Besok makan apa dan apa besok makan?”

BBM belum resmi dinaikan, tetapi hampir semua kebutuhan pokok termasuk obat-obatan sudah naik. Maka semakin susahlah orang miskin. Susah makan, akan kekurangan gizi. Kekurangan gizi akan membuat bodoh, itu jangka panjangnya. Jangka pendeknya daya tahan tubuh menjadi rentan sakit. Padahal biaya perawatan sakit itu mahal banget. Dengan kata lain sebetulnya orang miskin tidak boleh sakit.

Politikus bicara hingga mulutnya berbusa. Orang miskin mulutnya kering tak mampu bicara. Menelan ludahpun barangkali sudah tidak ada. Terus orang miskin ini mau diapakan? Indonesia negeri kaya, gemah ripah loh jinawi hanya ada di buku-buku pelajaran sekolah. Karena kenyataanya sebentar lagi Indonesia akan di obral.

Mengundang investor asing untuk ikut mengelola hasil bumi Indonesia adalah tindakan bijaksana, tapi kalau membiarkan pihak asing mengelola dan menguasai, itu bodoh! Mengapa kita tidak belajar hingga mampu mengolah dan mengelola sendiri? Sangat memalukan, saat krisis BBM seperti sekarang ini, terbuka fakta sesungguhnya Indonesia tidak memiliki satu kilang minyakpun di negeri ini. Kilang minyak yang ada semua hasil sewa milik asing!

Untuk menutupi fakta ini, berbagai alasan dikemukakan mengapa BBM harus naik. Mau unjuk rasa sampai tidak lagi mampu berunjuk rasa, fakta BBM akan naik tidak bisa dibatalkan. Jadi buat apa cape-cape berunjuk rasa? Kalau setelah itu mau tidak mau harus menerima kenyataan membayar BBM seharga Rp. 6.000 mulai 1 April untuk mengisi bensin kendaraannya. Bukan saya tidak setuju dengn para pengunjuk rasa. Cuma apa tidak bisa dipikirkan strategi lain untuk membatalkan keputusan menaikan harga BBM?

Kalau mendengar informasi bahwsannya stok minyak bumi kita tinggal sedikit, memang sudah seharunya kita mengurangi mengkonsumsi BBM yang terbuat dari endapat hewan berumur jutaan tahun. Informasi lain, kita memiliki cadangan gas yang masih melimpah ruah. Untuk kestabilan sudah saatnya kita beralih ke gas. Itu pemikiran normal, tapi pemerintah sendiri belum siap dengan infrastrukturnya. Lagi-lagi rakyat kecil yang jadi korban.

Yang membuat semakin mejadi sebuah ironi, rakyat adalah para pemilik negeri ini. Diatur sedemikian rupa untuk mengaplikasikan demokrasi, rayat memberikan mandat kepada seseorang untuk menjadi pemimpin negeri ini. Sayangnynya ketika pemegang mandat melenceng, mandat tidak dapat ditarik kembali.

Dari sekarang mulailah berhati-hati menggunakan hak pilih saat pemilu nanti. Karena ketika salah memilih, tidak dapat diperbaiki. Dampak negative dari penyelewengan mandat adalah upah dari kesalahan memilih itu. Masalah BBM erat kaitannya dengan siapa yang menjadi pejabat Presiden. Kebodohan memimpin, mengarahkan dan mengayomi adalah harga yang dibayar oleh rakyat. Dengan keringat dan airmata. Padahal kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Ironis memang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun