Mohon tunggu...
Mutia Erlisa Karamoy
Mutia Erlisa Karamoy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Lifestyle Blogger | Web Content Writer

Mom of 3 | Lifestyle Blogger | Web Content Writer | Digital Technology Enthusiast | Blog: www.elisakaramoy.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ciptakan Komunikasi yang Nyaman untuk Membahas Kesehatan Reproduksi dan Mental Remaja

25 Juli 2016   15:33 Diperbarui: 25 Juli 2016   15:45 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Problematika remaja masa kini (Dokpri)

"Perilaku tidak senonoh seperti apa," saya berusaha untuk meminta penjelasan lebih lanjut serta cerita yang lebih detail dan runut perilaku perilaku yang dilakukan putra saya bersama teman-teman sekelasnya yang membuat saya beserta wali murid lainnya harus dipanggil kesekolahan menjelang pertengahan semester akhir kelulusan Sekolah Dasar. Namun sang guru dan wali kelas berkeras bahwa putra saya beserta semua teman kekelasnya yang laki-laki sudah melakukan perbuatan yang mengarah ke hal-hal yang porno, dan meminta dalam pertemuan ini kami harus lebih ketat memperhatikan anak-anak kami, terutama dalam penggunaan ponsel dengan akses internet yang di tuding sebagai salah satu biang keladi perilaku penyimpang pada anak-anak.

Sikap saya yang mempertanyakan lebih lanjut serta meminta penjelasan secara detail tentang peristiwa tersebut bukan untuk meragukan pendapat dan pandangan guru-guru di sekolah, namun hanya ingin menyamakan persepsi serta untuk tahu lebih jelas perilaku tidak senonoh seperti apa yang telah mereka lakukan. Penjelasan inilah yang akan menjadi dasar pertimbangan serta referensi saya untuk menentukan sikap seperti apa ketika berhadapan lagi dengan anak saya di rumah. Namun sejujurnya saya cukup merasa shock dengan hal tersebut, ternyata anak yang saya kira masih kecil (berusia 10 tahun) sudah berkembang jauh di luar dugaan saya. Yang menyedihkan, kesadaran tersebut saya peroleh justru setelah melalui peristiwa tersebut, dan sama sekali bukan kesadaran yang timbul dari dalam diri saya.

Ternyata dunia sudah berubah, masa kanak-kanak dan remaja yang dahulu saya alami jauh berbeda dengan yang dialami anak saya sekarang. Saya sudah harus berdamai dengan diri saya bahwa sudah saatnya saya harus membicarakan masalah reproduksi dengan anak saya, meskipun sebagaimana lazimnya orangtua lainnya tentu merasa tidak nyaman untuk berbicara tentang hal yang masih dianggap "tabu" untuk dibicarakan secara terbuka, bahkan dalam keluarga sekalipun. Selain itu, kami juga tidak tahu harus memulai pokok bahasan dari mana dan membicarakan materi seperti apa kepada anak kami yang ternyata sudah mulai memasuki masa pra-remaja. Untuk alasan itulah mengapa saya membutuhkan informasi secara detail dan rinci tentang perilaku seperti apa yang dilakukan anak saya beserta teman-temannya di sekolah sehingga mendapat teguran cukup keras dari para guru.

Namun di sisi yang lain, kejadian ini merupakan peringatan diri bagi saya dan ayahnya selaku orangtua untuk mulai memikirkan bagaimana memberikan materi yang pas tentang masalah reproduksi dengan anak saya. Susahnya, ayahnya merasa belum nyaman untuk membicarakan masalah ini, padahal sebagai sesama laki-laki saya mengharapkan ayahnyalah yang akan menyampaikan materi tersebut kepada anak kami. Pada akhirnya saya mulai berpikir bahwa untuk merasa nyaman membicarakan masalah reproduksi ini dengan si anak, orangtua harus memiliki persiapan materi dan referensi yang cukup tentang kesehatan reproduksi di mana di dalamnya pastilah akan membahas masalah-masalah dan fungsi organ seksual.

Selain itu, tantangan terbesar kami justru berusaha untuk keluar dari lingkaran mitos yang selama ini mendominasi pemikiran dan anggapan masyarakat bahwa memberikan pendidikan kesehatan reproduksi sama artinya dengan memberikan pendidikan seks. Padahal, kesehatan reproduksi memiliki wawasan dan cakupan wilayah pembahasan yang sangat luas, dan tidak semata-mata hanya membahas masalah seks dan organ reproduksi semata.

Ternyata tidak hanya masalah kecukupan materi yang akan membantu kami untuk merasa nyaman membicarakan masalah kesehatan reproduksi dan termasuk didalamnya pendidikan seks, kami juga harus membangun keterampilan komunikasi dan bahasa tubuh ketika menyampaikan masalah tersebut kepada si anak agar kami nyaman dan anak pun merasa tidak canggung ketika membicarakannya. Yah...si remaja juga harus di bangun mentalitasnya agar memiliki kepercayaan diri yang cukup dan nyaman berinteraksi dengan orangtuanya membicarakan masalah seks dan reproduksi. Tidak bisa tidak, karena di era di mana perkembangan teknologi dan perangkat digital yang serba cepat, tidak ada satu pun informasi yang tidak bisa di akses oleh para remaja.

Celakanya, tidak semua informasi dan konten yang berkaitan dengan reproduksi dan seks mengandung muatan yang mendidik bagi para remaja yang sedang mengalami pertumbuhan organ seksual sangat pesat. Mau tidak mau, keluarga harus menjadi pondasi utama dan pertama untuk membangun kualitas kesehatan reproduksi dan mental remaja. Namun, ternyata untuk menjalankan fungsi keluarga secara sehat, keluarga dan terutama orangtua harus dalam keadaan atau kondisi yang sehat mental.

Maksud dari sehat mental di sini berdasarkan definisi WHO adalah suatu keadaan sehat utuh secara fisik, mental, dan sosial dan bukan suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat, atau kelemahan. Dengan kata lain, keluarga yang sehat mental adalah keluarga yang mampu menempatkan dirinya dengan baik di tengah masyarakat di mana masing-masing anggota keluarga memiliki perilaku dan mentalitas yang positif baik untuk dirinya sendiri, untuk keluarga, dan untuk lingkungannya. Selain itu, tidak ada anggota keluarga yang memiliki perilaku menyimpan dari norma, nilai, dan budaya positif ketika hidup bermasyarakat.

Berdasarkan referensi dari WHO, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Dengan demikian setidaknya ada 3 poin dari definisi yang dikemukakan oleh WHO ini yang sangat penting untuk dijadikan pegangan, yaitu fisik, mental, dan sosial. Di mana poin-poin inilah yang akan membantu dalam hal ini orangtua untuk memaksimalkan fungsi keluarga dalam masyarakat, di mana setidaknya ada 5 fungsi keluarga yang sangat penting demi melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas dan merupakan generasi emas. Adapun 5 fungsi tersebut adalah, fungsi biologis, fungsi pemeliharaan, fungsi keagamaan, fungsi ekonomi, dan fungsi sosial.

Dengan menjalankan secara harmonis kelima fungsi ini, maka sudah pasti akan tercipta suatu keluarga yang mampu membangun kualitas kesehatan reproduksi dan mental para remaja. Tidak mudah memang, karena seperti halnya para remaja yang tumbuh berdasarkan pengalaman hidupnya bersama keluarga yang tinggal dengannya sejak kecil hingga dewasa kelak, orangtua pun juga merupakan produk dari masa lalu yang juga memiliki rekam jejak dan pengalaman tumbuh berkembang bersama keluarga di masa lalu. Untuk alasan itulah, penting juga bagi orangtua untuk mulai dari sekarang memikirkan bagaimana membangun kualitas kesehatan reproduksi dan mental dalam dirinya agar merasa nyaman membangun interaksi dan terutama komunikasi dengan si remaja kelak. 

hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah terberat saya, apalagi di era di mana kompetitor-kompetitor yang menganggu usaha untuk membangun kualitas kesehatan reproduksi dan mental hampir tiap detik bermunculan, dan rasanya dibutuhkan sinergi dan peran serta dari pihak-pihak terkait untuk memperkuat hal ini, karena masa remaja adalah masa-masa di mana anak mulai mencari identitas pribadi di luar predikatnya sebagai anak dari orangtuanya.  Setidaknya menurut saya dibutuhkan orangtua yang siap agar keluarga mampu membangun kualitas kesehatan reproduksi dan mental remaja :

  1. Siap secara fisik, di mana orangtua memiliki kesehatan tubuh yang prima untuk menjalankan fungsinya mengurus dan menafkahi keluarga, serta mencukupi kebutuhan pokok lainnya seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal. Orangtua yang sehat secara fisik tentu akan memiliki tenaga dan pikiran yang cukup dalam mendidik anggota keluarganya, serta memiliki kemampuan untuk mendeteksi perilaku menyimpang anggota keluarganya.  Meskipun terkadang seringkali orangtua kecolongan, namun orangtua memiliki kemampuan untuk memperbaiki perilaku tersebut. 
  2. Siap secara mental, di mana pada tahap ini orangtua sudah harus merasa nyaman dengan dirinya dan menyadari perannya saat ini sebagai orangtua yang bertugas mendidik dan membimbing anggota keluarganya. Kesadaran akan besarnya tanggung jawab yang diembannya sebagai orangtua secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas kesehatan mentalnya, di mana orangtua akan tumbuh menjadi sosok yang memiliki mental yang sehat. 
  3. Siap secara sosial. Ada begitu banyak nilai-nilai sosial dalam masyarakat yang harus di patuhi agar tidak di cap berperilaku menyimpang dalam dalam masyarakat. Untuk itulah, orangtua harus telah memiliki kecakapan dalam berperilaku sosial untuk mewariskan dan mengajarkan nilai-nilai sosial tersebut kepada anggota keluarganya. Kecakapan sosial inilah yang kelak akan membantu si anak menghindari perilaku menyimpang atau tidak sesuai dengan standar kehidupan masyarakat. Tidak bisa tidak, kontrol sosial juga merupakan poin penting yang akan membantu menghindarkan anak dari perilaku menyimpang, atau kalaupun suatu kelak anak berperilaku menyimpan maka lingkungan akan membantu orangtua untuk mengirimkan sinyal deteksi dini atas perilaku menyimpang tersebut.

Dari ketiga hal inilah maka akan membentuk keluarga dengan orangtua yang mampu membangun kualitas kesehatan reproduksi dan mental remaja, dan dengan kualitas semacam ini maka bisa dikatakan keluarga tersebut akan menjadi keluarga yang tangguh dan bertanggung jawab. Namun, sesungguhnya ada hal yang jauh lebih penting dari semua itu, pondasi fisik, mental, dan sosial yang tangguh akan membuat orangtua lebih nyaman dalam menciptakan komunikasi untuk membangun kualitas kesehatan reproduksi dan mental remaja.

Terlambat mendeteksi perilaku menyimpan akan membuka pintu bagi terciptanya penyimpanan lainnya yang pada akhirnya akan menghancurkan masa depan dan kehidupan remaja itu sendiri.  Sesungguhnya, hal inilah yang membuat saya merasa sangat bersyukur dan berterima kasih telah diberikan peringatan awal atas peristiwa tersebut sehingga saya cepat disadarkan bahwa dunia telah berubah dan berkembang jauh dari pemikiran saya. Di usianya yang masih 10 tahun ternyata anak saya sudah memiliki referensi perilaku sosial yang tidak pernah saya bayangkan, karena sepanjang interaksi saya bersamanya sejak kecil tidak ada yang aneh alias biasa-biasa saja.

Sambil menata dan memantapkan hati demi memantau pertumbuhan si anak terutama dalam urusan kesehatan reproduksi, saya tetap berusaha untuk menjalin interaksi dan terutama menciptakan komunikasi yang nyaman agar kelak anak-anak mau terbuka membicarakan permasalahan seksual serta reproduksinya dengan orang yang tepat. Untuk itu, menurut saya orangtua harus mampu membangun rasa percaya dalam diri si remaja, bersikap tidak membebani dan memaksa, dan menempatkan diri sebagai sosok teman tempat berbagi dan bercerita banyak hal. 

Hubungan interaksi yang terbangun dari hal-hal kecil semacam ini akan menjadi pintu masuk untuk menciptakan komunikasi yang nyaman dengan si remaja ketika membicarakan masalah kesehatan reproduksi dan seksual. Jangan lagi untuk menabukan diri membicarakan masalah reproduksi dengan anak, karena reproduksi tidak melulu soal organ seksual atau pendidikan seks namun pokok bahasannya sangat luas. Semakin maraknya penyakit menular yang mematikan akibat perilaku seksual yang tidak sehat bisa menjadi pintu masuk yang nyaman bagi orangtua serta mungkin guru di sekolah untuk mulai membicarakan kesehatan reproduksi dengan anak, terutama di usia anak menjelang remaja.

Pada akhirnya tetap saja, dibutuhkan peran serta yang harmonis dan komprehensif dengan pihak terkait lainnya, terutama sekolah dengan guru-gurunya agar komunikasi masalah kesehatan reproduksi ini akan berkelanjutan. Tanpa peran serta dari pihak sekolah terutama guru sebagai pendidik terdekat selain orangtua, maka usaha ini tidak akan berjalan optimal dan maksimal. Menyamakan persepsi tentang materi kesehatan reproduksi antara orangtua dan guru di sekolah tentunya akan mengoptimalkan usaha membangun mentalitas remaja yang berkualitas demi lahirnya generasi emas di masa yang akan datang.

Referensi tulisan :

Materi Presentasi Nangkring BKKBN Bengkulu 26 Juli 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun