Mohon tunggu...
Elisabet Olimphia Selsyi
Elisabet Olimphia Selsyi Mohon Tunggu... Administrasi - well organized and visioner.

Beri aku sebuah media citizen jounalism, niscaya akan kuguncangkan jagat media. S.I.Kom UAJY.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Pemanasan Global Menggeser Representasi Indonesia

7 Mei 2016   21:40 Diperbarui: 16 Mei 2016   15:12 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua yang ada di dunia ini selalu berubah, satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri

pemanasan global

            Perubahan bisa berjalan menuju kemajuan maupun kemunduran. Saat  saya belajar mengenai Seni dan Budaya di tingkat SMA, dikatakan bahwa perubahan terus terjadi karena manusia tidak akan pernah berhenti beraktivitas, ia terus mencipta. Adanya perubahan memang bisa menciptakan masalah sosial manakala perubahan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Begitu pula dengan perubahan iklim. Perubahan iklim menjadi dipertentangkan karena efeknya yang begitu besar dalam bidang kehidupan manusia. Menurut Canton (2006, hal. 204), perubahan iklim merupakan sesuatu yang pasti dan sudah terjadi hingga saat ini. Maka, masyarakat yang memegang kendali atas perubahan ini dan nantinya yang juga harus bertanggung jawab atas tindakannya.

            Menurut Waluya (2007, hal. 22) masalah sosial merupakan proses terjadinya ketidaksesuaian antara unsur-unsur dalam kebudayaan suatu masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok-kelompok sosial. Dengan kata lain, masalah sosial menyebabkan terjadinya hambatan dalam pemenuhan kebutuhan warga masyarakat. Pada mulanya masyarakat mulai merasakan bahwa perubahan iklim yang mengacu pada pemanasan global sebagai suatu masalah sosial. Kemudian secara aspiratif mengkomunikasikan problem mereka melalui gerakan sosial dengan mengajukan beberapa tuntutan yang harapannya dapat dipenuhi oleh pemegang otoritas.

            Perubahan alam atau lingkungan memiliki pengaruh yang besar, bahkan itu disebut sebagai malapetaka dalam doa-doa kita. Pemanasan global dianggap sebagai masalah sosial oleh para sarjana sosial yang banyak melakukan penelitian sosial untuk menunjukkan bagaimana tekanan sosial politik mengonstruksi pemanasan global sebagai masalah sosial yang ‘sah’ membutuhkan aksi perbaikan. Pemanasan global memang harus segera diatasi dan ditangani dengan baik melalui kebijakan yang berbasis lingkungan. Artinya, tidak boleh ada kepentingan politik yang bermain dalam isu-isu lingkungan.

            Masyarakat sering kebobolan dari ulah para pembuat kebijakan dan segala intrik-intriknya yang ‘mengorbankan’ kekayaan alam Indonesia untuk dieksploitasi habis-habisan. Kita berkaca saja pada kasus yang sudah-sudah, seperti yang terjadi pada kebijakan agraria PT Freeport yang terus-menerus diperpanjang dari tahun 1967 hingga tahun 2041. Kekayaan alam kita diambil habis, sedangkan Indonesia khususnya masyarakat Papua hanya menerima sedikit kemanfaatan. Keberadaan Freeport pun tidak membawa kesejahteraan bagi Indonesia. Bahkan dengar punya dengar, teman saya menceritakan mengenai perkataan dosen mata kuliah Sosiologi Bencana-nya bahwa apabila Freeport dimiliki sepenuhnya oleh Indonesia, maka kemungkinan besar Indonesia bisa melunasi hutang-hutang luar negerinya.

            Begitu pula yang terjadi pada kebijakan-kebijakan lain, seperti plastik berbayar, kenaikan tarif pajak reklame, dan lain sebagainya. Kebijakan ekologis seharusnya tidak diselubungi dengan kepentingan tertentu. Artinya, kebijakan yang dibuat benar-benar terpadu, menyeluruh, serta tidak gegabah sehingga dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat.

Pemanasan Global Tak Lagi dalam Awang-Awang

            Pemanasan global menurut Susilowarno et al (2007, hal. 297) disebabkan oleh meningkatnya kadar CO2 di atmosfer karena pembakaran bahan bakar fosil yang meningkat di atmosfer dan menurunnya luas hutan sehingga keseimbangan siklus karbon (fotosintesis dan respirasi) terganggu. Kadar CO2 tersebut bergabung dengan gas metan, nitrogen oksida, dan uap air menahan panas matahari yang seharusnya dipantulkan kembali oleh bumi. Panas matahari yang terjebak dalam bentuk gelombang pendek di atmosfer tersebut mengakibatkan temperatur atmosfer bumi meningkat ± 3,5˚ C.

            Bukti-bukti pemanasan global nyata kita rasakan selama beberapa tahun masa kehidupan kita. Suhu di Jogja beberapa tahun silam tidak sama dengan suhu saat ini. Begitu pula kita rasakan pada dampak-dampak yang muncul ketika suhu bumi memanas. Ketika suhu bumi memanas, maka es di kutub akan meleleh sehingga menimbulkan perubahan yang menuntut gaya adaptasi baru−baik oleh manusia, hewan, maupun tumbuhan. Mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri akan punah karena ketidakmampuan mempertahankan eksistensinya. Selain itu, kadar air laut yang semakin meningkat mungkin saja akan menenggelamkan daratan perlahan-lahan.

            Kegentingan pemanasan global semakin kasat mata, menyentuh kulit, dan bahkan memengaruhi kehidupan kita. National Academy of Sciences (dalam Canton, 2006, hal. 206) mengungkapkan bahwa temperatur bumi mengalami pemanasan sebesar 1˚ Fahrenheit selama satu abad terakhir dan rata-rata pemanasan melonjak pada dua puluh tahun terakhir. Hanya ada satu alasan paling masuk akal mengapa pemanasan tersebut terjadi: perbuatan manusia. Kita telah membuat polusi langit dengan gas-gas rumah kaca−terutama karbondioksida, metan dan nitro oksida, yang dikeluarkan cerobong pabrik, knalpot mobil, dan sumber-sumber lain. Dengan begitu, harapannya manusia bisa semakin sadar, bangun dari buaian kemudahan dan kecanggihan teknologi, produk-produk kecantikan yang tidak ramah lingkungan, dan lain sebagainya yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan industri dan manufaktur.

Masalah Sosial, Masalah Bersama, Kemauan Bersama

            Kesadaran tersebut tidak lantas membuat kita menutup semua aktivitas perusahaan industri. Kesadaran selayaknya tidak diartikan sebagai pengembalian kehidupan ke kondisi yang kolot, menutup diri jauh dari inovasi teknologi. Namun, alangkah baiknya bila kita menyikapi kemirisan lingkungan ini dengan arif. Kita tentu tidak ingin beberapa tahun kemudian melihat Indonesia yang katanya memiliki tanah subur berubah menjadi padang gurun yang gersang−seperti yang terjadi di Afrika Utara. Band Koes Plus yang begitu fenomenal pun meyakini dalam lirik lagunya, “Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai, tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Representasi Indonesia kala itu pun sudah mulai bergeser bila dibandingkan dengan kondisi saat ini. Sungguh miris.

            Kemunculan gerakan konservatif yang menggugat pemanasan global sebagai masalah sosial memang sempat membuat kekhawatiran masyarakat akan isu pemanasan global menjadi sedikit mereda. Pemanasan global mungkin bukan menjadi satu-satunya faktor perubahan lingkungan. Namun, itu turut menyumbang banyak permasalahan yang dirasakan manusia. Pemanasan global mungkin bermanfaat bagi manusia yang tinggal di iklim dingin dan subtropis karena menjadi tidak kewalahan dalam menyekop salju, mengurangi waktu berpergian pada jalan yang tertutup es, mengurangi tagihan water heater, dan mengurangi pengeluaran untuk pakaian karena tidak perlu menggunakannya berlapis-lapis. Namun, bagaimana dengan manusia yang tinggal di iklim tropis seperti Indonesia?

            Kita tentunya tidak boleh bersikap egois seperti itu. Pemanasan global biar bagaimana pun tetap menjadi masalah sosial. Masalah sosial artinya pemanasan global merupakan masalah bersama yang harus diselesaikan melalui kebijakan-kebijakan kolektif pula. Saat ini, kondisi alam semakin akrab saja dengan bencana banjir, badai, kebakaran hutan, longsor, dan kemarau panjang. Bencana alam senilai dengan harga kemanusiaan dan ekonomi yang menyertainya. Rasa kemanusiawian manusia pada lingkungan akan terbayar pada bagaimana alam meresponnya. Kepedulian pemerintah terhadap alam dengan penyediaan anggaran untuk sepenuhnya pemeliharaan lingkungan akan terlihat pada bagaimana kondisinya. Perubahan iklim benar-benar bukan masalah politik. Ini masalah moral dan perilaku manusia terhadap alam.

            Dalam menangani pemanasan global dibutuhkan cara yang tepat. Kita harus mengurangi kadar CO2 dan emisi karbon di atmosfer dimulai dari kegiatan kecil apapun, seperti menanam pohon, menghemat penggunaan listrik, mendaur ulang sampah plastik, pengurangan emisi karbon menjadi nol melalui penggunaan alat-alat yang tepat guna dan ramah lingkungan, dan lain sebagainya. Al Gore yang adalah seorang aktivis lingkungan merilis film dokumenternya yang berjudul An Inconveniant Truth, dalam presentasinya mengenai pemanasan global mengatakan bahwa kita memunyai segalanya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, segalanya kecuali keinginan politik. Kemauan bertindak adalah sumber daya terbarukan. Dari situ, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada cara seampuh apapun, bila itu tidak dimulai dari niat dalam diri untuk melakukan perbaikan lingkungan (Selsyi/Kom/140905321).

Daftar Pustaka:

Canton, J. (2006). The extreme future: 10 tren utama yang membentuk ulang dunia 20 tahun ke depan. Tangerang: Pustaka Alvabet.

Susilowarno, R. G. et al. (2007). Biologi SMA/MA kelas X. Jakarta: Grasindo.

Waluya, B. (2007). Sosiologi: menyelami fenomena sosial di masyarakat. Bandung: PT Setia Purna Inves.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun