Masalah Sosial, Masalah Bersama, Kemauan Bersama
Kesadaran tersebut tidak lantas membuat kita menutup semua aktivitas perusahaan industri. Kesadaran selayaknya tidak diartikan sebagai pengembalian kehidupan ke kondisi yang kolot, menutup diri jauh dari inovasi teknologi. Namun, alangkah baiknya bila kita menyikapi kemirisan lingkungan ini dengan arif. Kita tentu tidak ingin beberapa tahun kemudian melihat Indonesia yang katanya memiliki tanah subur berubah menjadi padang gurun yang gersang−seperti yang terjadi di Afrika Utara. Band Koes Plus yang begitu fenomenal pun meyakini dalam lirik lagunya, “Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai, tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Representasi Indonesia kala itu pun sudah mulai bergeser bila dibandingkan dengan kondisi saat ini. Sungguh miris.
Kemunculan gerakan konservatif yang menggugat pemanasan global sebagai masalah sosial memang sempat membuat kekhawatiran masyarakat akan isu pemanasan global menjadi sedikit mereda. Pemanasan global mungkin bukan menjadi satu-satunya faktor perubahan lingkungan. Namun, itu turut menyumbang banyak permasalahan yang dirasakan manusia. Pemanasan global mungkin bermanfaat bagi manusia yang tinggal di iklim dingin dan subtropis karena menjadi tidak kewalahan dalam menyekop salju, mengurangi waktu berpergian pada jalan yang tertutup es, mengurangi tagihan water heater, dan mengurangi pengeluaran untuk pakaian karena tidak perlu menggunakannya berlapis-lapis. Namun, bagaimana dengan manusia yang tinggal di iklim tropis seperti Indonesia?
Kita tentunya tidak boleh bersikap egois seperti itu. Pemanasan global biar bagaimana pun tetap menjadi masalah sosial. Masalah sosial artinya pemanasan global merupakan masalah bersama yang harus diselesaikan melalui kebijakan-kebijakan kolektif pula. Saat ini, kondisi alam semakin akrab saja dengan bencana banjir, badai, kebakaran hutan, longsor, dan kemarau panjang. Bencana alam senilai dengan harga kemanusiaan dan ekonomi yang menyertainya. Rasa kemanusiawian manusia pada lingkungan akan terbayar pada bagaimana alam meresponnya. Kepedulian pemerintah terhadap alam dengan penyediaan anggaran untuk sepenuhnya pemeliharaan lingkungan akan terlihat pada bagaimana kondisinya. Perubahan iklim benar-benar bukan masalah politik. Ini masalah moral dan perilaku manusia terhadap alam.
Dalam menangani pemanasan global dibutuhkan cara yang tepat. Kita harus mengurangi kadar CO2 dan emisi karbon di atmosfer dimulai dari kegiatan kecil apapun, seperti menanam pohon, menghemat penggunaan listrik, mendaur ulang sampah plastik, pengurangan emisi karbon menjadi nol melalui penggunaan alat-alat yang tepat guna dan ramah lingkungan, dan lain sebagainya. Al Gore yang adalah seorang aktivis lingkungan merilis film dokumenternya yang berjudul An Inconveniant Truth, dalam presentasinya mengenai pemanasan global mengatakan bahwa kita memunyai segalanya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, segalanya kecuali keinginan politik. Kemauan bertindak adalah sumber daya terbarukan. Dari situ, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada cara seampuh apapun, bila itu tidak dimulai dari niat dalam diri untuk melakukan perbaikan lingkungan (Selsyi/Kom/140905321).
Daftar Pustaka:
Canton, J. (2006). The extreme future: 10 tren utama yang membentuk ulang dunia 20 tahun ke depan. Tangerang: Pustaka Alvabet.
Susilowarno, R. G. et al. (2007). Biologi SMA/MA kelas X. Jakarta: Grasindo.
Waluya, B. (2007). Sosiologi: menyelami fenomena sosial di masyarakat. Bandung: PT Setia Purna Inves.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H