Pemanasan global diterima sebagai sebuah masalah sosial yang mengacu pada perubahan iklim global akibat aktivitas manusia yang terus-menerus melepas emisi gas rumah kaca. Pada awal tahun 1990an para sarjana sosial banyak melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menunjukkan bagaimana tekanan sosial politik mengkonstruksi pemanasan global sebagai masalah sosial yang ‘sah’ membutuhkan aksi perbaikan. Aksi gembar-gembor para sarjana sosial semakin membangkitkan kesadaran publik akan ancaman kondisi lingkungan global yang semakin mengerikan. Para ilmuwan menggandeng para pembuat kebijakan bersama-sama mempromosikan perlindungan lingkungan.
Para sarjana sosial beranggapan bahwa pemanasan global membutuhkan dua langkah sekaligus, yakni model arena publik dan siklus perhatian terhadap isu. Namun itu dirasa tidak cukup memberi pencerahan dalam perkembangan terkini. Mereka kadang-kadang mau mengakui adanya gugatan balik, tanpa mau ‘berdamai’ dengan konten atau sumber gugatan balik tersebut. Ini semakin menunjukkan adanya fokus sepihak pada kondisi problematis dan di sisi lain mengabaikan apa yang Freudenburg (dalam McCright & Dunlap, 2000, hal. 501) sebut sebagai konstruksi sosial dari kondisi yang tidak problematis.
Analisis isu pemanasan global sebagai bukan masalah yang problematis membuat kita sampai pada pemikiran kritis adanya penggunaan kekuatan oleh kepentingan dominan yang berperan dalam memperjuangkan posisi pemanasan global pada agenda publik. Studi yang ada dinilai terbatas karena melulu menyebutkan pemanasan global sebagai masalah sosial dan malah terus-menerus berupaya merebut perhatian publik. Ada keterbatasan dari studi-studi yang telah dilakukan, yakni kurang mampu menunjukkan sisi pro dan kontra secara seimbang. Dengan begitu, gerakan kontra pemanasan global sebagai masalah sosial kurang begitu disorot.
Dalam rangka mengatasi keterbatasan tersebut, kita akan menilik lebih dalam mengenai orientasi gerakan sosial dan menguji aktivitas framing dari gerakan kontra dalam menghadapi kekuasaan dari status pemanasan global sebagai sebuah masalah.
Masalah Sosial dan Gerakan Sosial, Dua Hal yang Berbeda
Alangkah baiknya kita memahami terlebih dahulu masalah sosial dan gerakan sosial sebelum sampai pada orientasi dan aktivitas framing gerakan sosial tersebut. Bash (dalam McCright & Dunlap, 2000, hal. 501) melihat bahwa kepercayaan dominan dari sosiologi yang diadopsi di Amerika Serikat medefinisikan perhatian pentingnya sebagai masalah sosial yang “tampaknya muncul satu per satu dan masing-masing, ditangkap secara individual, memohon untuk resolusi kasus per kasus secara cepat”. Hal ini yang menyebabkan pendekatan dari studi-studi yang ada cenderung ahistoris dan mengarah pada analisis situasional mikro-level. Orientasi gerakan sosial sering dicocokkan pada level makro maupun mikro suatu masalah sosial. Padahal, masalah sosial sangat subyektif sifatnya. Ini bisa menjadi masalah bagi yang satu, namun tidak bagi yang lain.
Realitasnya, studi tersebut tidak menyebutkan konsep sejarah dari aktor sosial yang terlibat dalam proses pendefinisian masalah. Dengan begitu, masalah tidak didefinisikan secara menyeluruh, malah terus-menerus mendesak resolusi dengan penuh ketergesa-gesaan. Bila pemahaman akan pemanasan global tidak mendalam, maka kebijakan yang dibuat cenderung tidak menyelesaikan sampai ke akarnya.
Meskipun terdapat perbedaan antara masalah sosial dengan gerakan sosial, para teoritikus berusaha mengambil titik temu dari keduanya. Ada dua literatur yang berusaha menjembatani perbedaan tersebut. Mauss (dalam McCright & Dunlap, 2000, hal. 502) menyarankan pendekatan pembuatan tuntutan dari teori masalah sosial yaitu dengan cara memahami dari sudut pandang sebuah gerakan sosial. Selama perilaku pembuatan tuntutan masih mencerminkan aksi dari partisipan gerakan sosial, masalah sosial masih dilihat sebagai variasi bentuk gerakan sosial. Misalnya, demo tolak kenaikan BBM merupakan gerakan sosial sebagai bentuk protes akan masalah sosial mencuatnya wacana kenaikan BBM oleh Pemerintah. Begitu pula dengan demo tolak reklamasi teluk oleh para nelayan merupakan gerakan sosial atas masalah sosial berkurangnya lahan pencarian ikan karena luas laut semakin sempit.
Tak lepas dari itu, kita harus tetap menjaga perbedaan di antara keduanya dalam menyoroti sebuah fenomena. Perbedaan antara orientasi masalah sosial dengan orientasi gerakan sosial dijelaskan berdasarkan perbedaan masing-masing konsep dari tuntutan dan kerangkanya. Tuntutan menjadi inti dari orientasi masalah sosial. Sedangkan kerangka menjadi inti dari orientasi gerakan sosial.
Tuntutan diidentifikasikan sebagai produk khusus dari pendefinisi masalah sosial (masyarakat, dll) dan itu secara konseptual diintegrasikan dengan siklus internal dari masalah sosial. Jelas, aktor sosial mendefinisikan pemanasan global sebagai suatu kondisi yang bermasalah dan dengan demikian mencari resolusi. Konsep tuntutan setidaknya memberi sumbangan dalam menyadarkan akan adanya karakteristik ahistoris dan analisis pada level mikro dari studi-studi para pendukung lingkungan.
Dikarenakan konsep tuntutan terlalu menekankan pada aktor sosial dan sedikit melakukan analisis sehingga kesulitan menghadapi para pembuat kebijakan, maka konsep kerangka muncul. Kerangka melihat struktur, dengan tetap memberikan asumsi mengenai aktor sosial. Benford dan Snow (dalam McCright & Dunlap, 2000, hal. 503) menekankan bahwa kerangka dibangun, dihasilkan, dan dijabarkan melalui proses framing yang interaktif dan diperlombakan, melibatkan beberapa pemangku kepentingan. Proses framing suatu gerakan sosial dapat menjembatani kita dalam memahami budaya dari aktivis gerakan kontra tersebut. Dengan begitu, kerangka gerakan kontra merupakan bagian penting dalam memahami struktur yang mendasari kekuasaan di mana masalah sosial muncul.
Pembangunan hotel di dekat rumah warga yang mengambil lahan hijau dan merusak ekosistem sekitar seringkali menuai protes dari masyarakat. Masyarakat membentuk suatu gerakan sosial, seperti yang terjadi pada warga Paguyuban Warga Karangwuni dan Gadingan di Yogyakarta yang menolak pembangunan hotel dan apartemen. Dengan melihat kerangka framingnya, kita bisa memahami budaya masyarakat sekitar yang masih memegang teguh budaya bertani, sekaligus Indonesia sebagai negara agraris.
Gugatan Balik akan Status Masalah Sosial Pemanasan Global
Setiap upaya perlindungan lingkungan pasti menuai protes dari gerakan oposisi. Seiring dengan anggapan pemanasan global sebagai sebuah masalah, gerakan konservatif mulai bermunculan untuk menantang ini. Gerakan konservatif ini biasanya berdiri pihak-pihak yang menggalakkan reaksi hijau (green backlash) yang terdiri dari pihak oposisi industri, serta masyarakat akar rumput.
Dalam jurnalnya, McCright & Dunlap (2000, hal. 510) menyebutkan ada tiga gugatan balik akan pemanasan global. Pertama, gerakan konservatif mengkritisi bukti ilmiah dan kepercayaan publik dalam mendukung adanya antropogenik (hubungan antara manusia dengan lingkungan geografisnya) dari pemanasan global. Kedua, gerakan konservatif menekankan manfaat potensial dari pemanasan global, jika itu boleh terjadi. Ketiga, gerakan konservatif tertekan jikalau usulan aksi mengikat secara internasional akan memunculkan banyak konsekuensi negatif.
Dua tuntutan pertama ditujukan dalam menghadapi percobaan framing akan pemanasan global sebagai masalah sosial oleh pendukung lingkungan. Sedangkan tuntutan ketiga berusaha menghadapi perkiraan framing akan solusi yang digadang-gadang oleh pendukung lingkungan Tuntutan pertama menantang ketidakjelasan dan ketidakautentikan bukti-bukti dalam bentuk penelitian. Studi-studi yang ada hanya melulu menceritakan bualan para ahli lingkungan dan birokrat. Penelitian hanya berusaha merebut perhatian publik, tanpa menunjukkan esensi perubahan iklim global terhadap kehidupan manusia. Perubahan iklimnya masih spekulatif, namun kebijakan perubahan iklimnya sangat nyata. Ini yang membuat kebijakan yang ada dipertanyakan.
Tuntutan kedua memanfaatkan kondisi pada tuntutan pertama dalam menantang bahwa situasi probrematis nyatanya tidak muncul, sehingga dapat ditemui manfaat potensial dari pemanasan global itu sendiri. Artinya, kondisi lingkungan bisa ‘dikondisikan’ untuk tidak problematis, misalnya dapat bermanfaat bagi kesehatan, pertanian, bahkan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Ini diperkuat dengan pernyataan dalam penelitian oleh Competitive Enterprise InstitutedanHeartland Institute bahwa secara wajar iklim yang lebih hangat akan jauh lebih baik bagi kemanusiaan. Penelitian yang dilakukan Hoover Institution pun mengatakan hal serupa, bahwa umat manusia akan dapat memeroleh manfaat dari setiap termometer yang menaik (dalam McCright & Dunlap, 2000, hal. 514).
Termometer yang lebih hangat akan sangat bermanfaat bagi manusia yang tinggal di daerah iklim dingin, karena mereka tidak terlalu repot karena salju. Selain itu suhu yang hangat juga menjauhkan manusia dari bahaya malnutrisi, mengurangi pertumbuhan penyakit dan angka kematian. Pemanasan global juga membuat kadar CO2 di udara meningkat sehingga baik untuk nutrisi tanaman.
Lalu, pada tuntutan ketiga gerakan konservatif berpendapat bahwa solusi yang ditawarkan penggerak lingkungan malah bersifat merusak daripada memperbaiki. Kondisi ini seperti membahayakan ekonomi nasional, melemahkan keamanan nasional, mengancam kedaulatan nasional, dan parahnya akan berdampak pada lingkungan. Ini bisa terjadi karena ada kepentingan dominan yang bermain di sini. Pemerintah dalam mengeluarkan pernyataan untuk memerangi pemanasan global seharusnya mampu membaca kondisi masyarakatnya. Ini menyasar pada kesiapan kita dalam usaha mencegah pemanasan global. Jangan sampai kebijakan pengurangan emisi gas rumah kaca (pembakaran fosil) justru melemahkan keadaan suatu negara, penutupan perusahaan industri dan manufaktur justru memporak-porandakan kedaulatan nasional, dan lain sebagainya.
Adanya gugatan balik bukan berarti dapat mengurangi perhatian publik pada agenda media, melainkan malah menunjukkan bahwa ada kontroversi terkait pemanasan global dan bagaimana para penggerak gerakan oposisi tersebut mengalami kesulitan dalam mempertahankannya pada agenda publik. Jadi ini berfokus pada bagaimana kekuatan dari gerakan kontra yang muncul dari pemanasan global sebagai masalah sosial yang serius.
Daftar Pustaka:
McCright, A. M. & Dunlap, R. E. (2000). Challenging global warming as a social problem: an analysis of the conservative movement's counter-claims. Social Problems, 47(4), 499-522.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H