Mohon tunggu...
Elisabet Olimphia Selsyi
Elisabet Olimphia Selsyi Mohon Tunggu... Administrasi - well organized and visioner.

Beri aku sebuah media citizen jounalism, niscaya akan kuguncangkan jagat media. S.I.Kom UAJY.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Tragedi Media Luar Ruang: Yogya Istimewa Sampah Visualnya

20 April 2016   20:16 Diperbarui: 23 April 2016   13:56 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

           [caption caption="Sampah visual di jalan Affandi, Mrican, Yogyakarta"][/caption]

              Tempelan pamflet, poster, selebaran, papan billboard, bahkan yang lebih kekiniannya berupa videotron menjadi hal yang tak jarang kita temui pada tiang, tembok, pohon, maupun fasilitas publik. Iklan-iklan komersial luar ruang tersebut sengaja ditempel di tempat ramai agar dapat dilihat, seperti yang sering kita dapati di bawah jembatan atau pada persimpangan jalan raya saat kendaraan berhenti. Strategi semacam itulah yang diatur sedemikian rupa agar pengemudi kendaraan menyempatkan diri untuk membaca atau sekadar melihat iklan. Keberadaan iklan-iklan tersebut jelaslah mengganggu keindahan tata ruang.

            Kita seharusnya bisa memandang lepas ke langit tanpa terhalang papan-papan iklan dan reklame, bisa memandang dengan nyaman bangunan-bangunan artistik yang bersih dari tempelan brosur dan selebaran, leluasa dalam melihat rambu-rambu lalu lintas tanpa terhalang apapun, dan masih banyak lagi manfaat yang diperoleh bila ruang publik tidak dirampas. Ironinya, iklan-iklan tersebut seolah menjadi sapaan khas bagi para pengemudi kendaraan bermotor di sepanjang jalan yang ia lewati. Masyarakat pun tidak mendapat kemanfaatan sama sekali. Masyarakat hanya dipandang sebagai target pasar yang siap dijejali iklan-iklan. Akibatnya, berujung pada sikap konsumtif masyarakat. Itu jelas tidak sesuai dengan budaya Yogya yang bersahaja dan slogan Yogja Berhati Nyaman.

Sampah Visual: Fenomena The Tragedy of Commons

            Istilah sampah visual dipopulerkan oleh Jean Baudrillard. Ia juga mengistilahkan sampah visual sebagai kitsch. Secara literal, kitschen dalam bahasa Jerman berarti, “memungut sampah dari jalan”. Hal ini senada dengan lanjutan penjelasan Baudrillard, “…budaya modern ditandai dengan ‘pengumpulan‘ tanpa orang tahu fungsinya.” “Pengumpulan” sebagaimana dimaksudkannya di sini adalah, pengumpulan individu akan pengalaman melihat dan mendengar yang sesungguhnya tak dibutuhkannya (Harysakti, 2013, hal. 2).  Seperti yang telah dipaparkan tadi, pengemudi yang berhenti menunggu lampu hijau pada perempatan besar disuguhkan dengan berbagai macam banner, pamflet, spanduk, selebaran di segala sisi yang memungkinkan untuk dibaca oleh pengemudi.

            Media iklan di luar ruang (outdoor adveertising) adalah bentuk iklan yang paling tertua. Sebagai media alternatif dalam beriklan, media luar ruang memiliki beberapa kualitas khusus yang tidak dimiliki media iklan lain (Supriyanto, 2008, hal. 26). Oleh karena itu, media luar ruang masih sering dipakai karena dianggap memiliki efektivitas yang tinggi. Media ruang menjangkau khalayak luas dan jangka waktu penayangan materi yang cukup sehingga masih diminati para pengiklan hingga saat ini. Segmentasi iklan luar ruang tidak terbagi-bagi pada kalangan tertentu, melainkan bisa dilihat oleh siapapun.

          Estetika kota dapat dilihat melalui penataan iklan luar ruang. Banyaknya papan-papan iklan memang tak nyaman di pandang. Meskipun begitu, para pengiklan cukup lihai dalam membingkai iklan. Mereka menggunakan tampilan yang menarik, perpaduan warna yang indah, bahkan menggunakan selebritis dengan muka menjual. Iklan-iklan yang terpampang lebih mengedepankan tampilan wajah, tengok saja iklan provider, minuman, bahkan calon legislatif sekalipun. Singkatnya, apa yang tidak nyaman dilihat mata dikatakan sebagai sampah. Sehingga para pengiklan berusaha menampilkan visualisasi sedemikian rupa cantiknya agar orang lupa pada esensi penting tidaknya suatu iklan bagi dirinya.

          Menurut Baudrillard (2005: 24), sampah visual merupakan ‘kebiasaan’ para kapitalis yang dengan simultan tanpa jeda menawarkan beragam produknya melalui berbagai spanduk dan banner di pinggiran jalan, juga penayangan iklan-iklan di setiap stasiun televisi, yang menimbulkan ‘kelelahan’ berikut ‘ketertindasan’ psikologis bagi mereka yang melihatnya (Harysakti, 2013, hal. 1). Masyarakat diimingi-imingi oleh berbagai macam produk, segala hal yang menjanjikan bila mencoba produk tertentu, penawaran gaya hidup modern, dan sebagainya. Percaya tidak percaya, suatu iklan pasti memiliki daya tarik tersendiri sehingga khalayaknya akan berusaha ‘mengabulkan’ pesan dari iklan tersebut.

            Permasalahan merujuk pada sebuah tragedi ketidaksesuaian antara ruang publik dengan populasi penduduk. Konsep the tragedy of the commons mungkin dapat digunakan untuk membantu menjelaskan ketimpangan antara dua variabel tersebut. The tragedy of the commons adalah sebuah metafora bagi apapun yang diperuntukkan untuk umum, digunakan oleh siapapun secara gratis dan tidak diatur sehingga merupakan barang bebas. Menurut Mankiw (1998: 227) ketika barang (good) tersedia, pembuat kebijakan harus memfokuskan pada bagaimana itu digunakan atau dimanfaatkan Di sini terdapat tarik menarik kepentingan dalam penggunaan ruang publik dan privat.

            Usulan yang sekiranya dibahas dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Iklan Luar Ruang sendiri berisi tentang larangan memasang iklan di lokasi tertentu. Lokasi itu meliputi taman kota, ruang terbuka hijau, trotoar, dinding bangunan warisan budaya, jembatan, tiang telepon, listrik, rambu lalu lintas, lampu penerangan jalan, dan pohon, serta penataan dan pembatasan jumlah videotron (Reviyanto, 2015, 15 Januari). Bila kita menengok realitasnya, Perda tentang iklan luar ruang belum disahkan. Pemerintah hanya menekan jumlah iklan luar ruang dengan menaikkan tarif pajak reklame. Padahal seharusnya pemerintah bisa lebih peka terhadap realita yang terjadi di lapangan, seperti banyak pohon yang dipaku untuk menempel selebaran, tiang listrik dan jembatan yang penuh dengan iklan-iklan, papan reklame yang berdekatan, dan lain sebagainya. Melihat kondisi seperti itu, seharusnya pemerintah tidak memunyai alasan lagi untuk bertele-tele dalam mengesahkan Perda tersebut.

           Pembuat kebijakan dalam hal ini Pemerintah Daerah (Pemda) kota Yogya sendiri belum mengesahkan peraturan tentang iklan media luar ruang. Tidak dapat dipungkiri bila teror visual berupa iklan komersial, iklan sosial, dan iklan politik semakin menjamur. Malah, Pemda menaikkan tarif pajak penyewaan iklan. Sikap seperti itu memunculkan dualitas, apakah benar kenaikan tarif ditujukan untuk membatasi jumlah iklan ataukah justru Pemda memanfaatkan ini untuk memeroleh pendapatan lebih? Kita tidak bisa menghakimi Pemda begitu saja. Kita selaku masyarakat pun dapat berinisiatif melalui gebrakan peduli lingkungan. Di Yogyakarta sendiri, kegiatan bersih-bersih sampah visual digiatkan salah satunya oleh gerakan Jogja Garuk Sampah (JGS) yang memulai aksinya sejak awal tahun 2015. Salah satu rekan JGS bersaksi bahwa sampah visual menjadi masalah yang belum tersentuh dalam arti belum ada yang menggarapnya sama sekali.

             Permasalahan ini sesuai dengan apa yang dikatakan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY Tavip Agus Rayanto bahwa volume pertumbuhan penduduk dan kendaraan bermotor tak sejalan dengan luas ruang publik. Dalam hal ini, kewenangan perizinan ada di pemerintah kabupaten dan kota. Namun, Pemda DIY seolah tak berdaya soal perizinan (Kharisma, 2015, 3 Desember). Pertumbuhan penduduk yang semakin cepat seharusnya juga diimbangi dengan luas ruang publik yang bertambah. Namun, kenyataannya porsi penggunaan media luar ruang lebih banyak diambil oleh kelompok-kelompok privat untuk sarana beriklan maupun berkampanye. Dalam hal ini, privatisasi ruang publik menjadi penyebab dari the tragedy of the common.

            Sumbo Tinarbuka penggagas Gerakan Reresik Sampah Visual Yogyakarta yang juga merupakan Dosen Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menganggap reklame ruang terbuka hijau sebagai sampah visual. Ia mengatakan bahwa sampah visual yang bertebaran di sepanjang jalan berupa papan-papan iklan komersial ataupun kampanye partai ini yang membuat Yogya tak lagi istimewa. Biarkan ruang publik itu milik publik. Jangan menjadi milik merek dagang dan partai politik (Kharisma, 2015, 3 Desember). Hal-hal semacam itu tidak akan terjadi bila kebijakannya pun mendukung penerapan ekologi politik yang berbasis pada keberlanjutan.     

Pentingnya Kebijakan Berbasis Ekologi Politik dalam Tata Media Luar Ruang

           Kebijakan mengenai iklan luar ruang dibuat dengan tetap menuntut kontribusi pengiklan terhadap lingkungan sehingga memiliki tanggung jawab pula terhadap keberlanjutan lingkungan. Lingkungan di sini lebih diarahkan kepada tata media luar ruang. Untuk dapat melihat apakah pengiklan cukup banyak memberikan sumbang sih untuk lingkungan, kita bisa menilai dari filosofi lingkungan yang mendasarinya. Para pengiklan reklame memposisikan diri mereka sebagai expedients atau bijaksanawan, yaitu berpandangan bahwa kesejahteraan dan stabilitas ekonomi hanya dapat dicapai dengan penerimaan pada tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial di sini dapat berupa persetujuan yang diperoleh dari masyarakat.

           Eder (1996), seorang akademis menyebutkan tiga fase transformasi dari ideologi lingkungan. Pertama adalah fase di mana terdapat ketidakcocokan antara ekologi dan ekonomi yang ditandai dengan masalah lingkungan. Kedua, pendekatan peraturan mendominasi aksi dan wacana lingkungan. Ketiga, muncul pada pertengahan tahun 1990, bahwa normalisasi budaya dari fokus mereka akan lingkungan dan integrasi mereka dengan pola dimunculkan oleh pemikiran ideologis (Buhr, n.d., hal. 3).

            Fase pertama menunjukkan bagaimana kepentingan ekonomi memicu para pengiklan mengeksploitasi alam di luar batas kewajaran. Ini sesuai dengan filosofi lingkungan yang mendasarinya, yakni sebagai bijaksanawan. Bijaksanawan akan cenderung memposisikan manusia sebagai pusat (human centre) sehingga ia menganggap lingkungan memunyai nilai (valuable). Dengan begitu, pengiklan akan dengan mudah memanfaatkan media luar ruang untuk kepentingan pribadinya− yang salah satunya untuk ajang promosi. Eksploitasi dilakukan dengan merampas ruang publik untuk kepentingan privat. Fase kedua menunjukkan adanya protes masyarakat yang menuai kritik terhadap pengiklan yang sewenang-wenang sehingga muncul pengajuan regulasi media luar ruang agar tidak berdampak negatif.

            Sedangkan fase terakhir menjelaskan bahwa pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan niat perubahan pada korporasi bisnis atau pengiklan, dibantu peran pemerintah, dan masyarakat. Kepedulian tersebut harus terlihat dalam pemikiran dan tingkah laku mereka. Penataan media luar ruang perlu memperhatikan syarat-syarat keamanan, penataan yang rapi, ukuran yang sesuai dengan lingkungannya. Pemasangan reklame harus memenuhi standar-standar yang sudah ditetapkan, seperti dari segi keindahan, teknis pemasangan, keamanan, keamanan, dan lain sebagainya.

             Eder mendefinisikan ideologi lingkungan menjadi titik balik dari evolusi budaya akan modernitas, sejauh itu membuktikan sebuah orientasi budaya baru dengan menjadikan ekologi untuk industrialisme sebagai dasar dari model budaya modernisasi. Selain itu, ekologi mengubah sifat politik dengan menciptakan politik alam (the politics of nature) (Buhr, n.d., hal. 3). Kebijakan-kebijakan politis dibuat untuk mengontrol kekuasaan para kapitalis terhadap lingkungan. Harapannya, kebijakan yang diproduksi oleh pemerintah dapat menyelamatkan keberlanjutan lingkungan untuk kepentingan masyarakat.

         Krisis lingkungan yang sesungguhnya sudah disadari kehadirannya sejak dasawarsa 1960-an, kini telah berkembang demikian jauh sehingga telah menyebabkan “bertemunya ekologi politik” (political ecology) dengan ekonomi politik (political economy) (Suhendar, 2002, hal. 280). Penggabungan ekonomi dengan lingkungan membuat wacana mengenai lingkungan bermunculan. Wacana lingkungan adalah produk lingkungan yang bertransformasi. Masyarakat sekarang semakin kritis dengan munculnya pandangan bahwa papan-papan reklame menimbulkan situasi kedaruratan tata ruang. Komunikasi mengenai ilmu alam menjadi perantara antara konflik politik (kebijakan) dan debat politik yang mengubah budaya politik masyarakat modern. Organisasi bisnis dalam hal ini pengiklan mendapatkan perhatian lebih dari publik. 

Keistimewaan Tata Ruang, Keistimewaan Yogyakarta

          Nilai sebuah keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara visual terejawantahkan dalam penataan iklan luar ruang yang dipasang di ruang publik. Sebaliknya iklan luar ruang yang tidak teratur dari segi penempatannya akan sangat mengganggu makna keistimewaan itu sendiri. Ramah tidaknya sebuah kota bagi warga maupun wisatawannya, diindikasikan dari sejauh mana pemerintah mampu mengelola dan mengatur penempatan iklan luar ruang yang terpasang di kota tersebut (Tinarbuko, 2013, 21 Agustus). Ini menunjukkan bahwa media luar ruang memegang peranan penting dalam mencerminkan ciri khas dari suatu daerah.

          Izin dan pajak reklame memang memberi sumbangan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara tidak langsung juga dapat digunakan untuk keperluan kebutuhan masyarakat sebesar-besarnya. Namun, di sini Pemerintah tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja setelah ‘kelar’ membuat dan mengesahkan regulasi mengenai izin dan pajak reklame. Pemerintah tidak bisa hanya bertindak sebagai penarik pajak reklame saja, melainkan harus mendampingi hingga tuntas sampai pada penempatan maupun pengaturan jarak iklan di lapangan agar tidak menimbulkan efek negatif.

            Iklan luar ruang seharusnya dapat ditata dengan rapi agar tidak berdampak pada kesemrawutan tata ruang, kemananan, juga keselamatan publik. Peran pemerintah daerah sangat diperlukan dalam memberi penegasan untuk terus menjaga aset daerah berupa bangunan-bangunan, fasilitas umum, dan lain sebagainya. Pemerintah harus mengatur agar iklan luar ruang tidak mengganggu keindahan dan kenyamanan kota Yogya. Dengan begitu, harapannya Pemerintah tidak hanya fokus pada kemanfaatan berupa pendapatan yang diperoleh dari iklan luar ruang, melainkan juga memikirkan dampak-dampaknya bagi masyarakat dan tata kota.

            Sampah Visual (Visual Garbage) akhirnya akan menjadi Polusi Visual (Visual Pollution) yang berdampak kepada kesehatan mental dan psikologi rakyat Indonesia, serta menurunkan kualitas visual ruang publik karena merusak estetika kota. Polusi Visual ini juga merupakan bahaya laten karena tanpa disadari dapat menjadi pendorong kehidupan materialistic glamour tanpa didukung kemampuan untuk mencapainya (Harysakti, 2013, hal. 4). Dengan begitu, efek dari setiap iklan harus dipertimbangkan dampaknya bagi masyarakat yang melihatnya. Jangan sampai isi dari media luar ruang menimbulkan efek yang kontradiktif bagi adat, budaya, dan tradisi Yogya.

            Sesuai dengan keyakinan Hardin bahwa kesadaran manusia itu buruk sehingga perlu ada peraturan yang bersifat koersif yang telah disepakati bersama secara demokratis, maka sekiranya pemerintah perlu bertindak tegas dengan sesegera mungkin mengesahkan kebijakan yang masih berupa Rancangan Peraturan Daerah tentang Iklan Luar Ruang tersebut. Setelah itu, pemerintah bisa mengupayakan pemberian sanksi kepada para pengiklan yang bertindak sembarangan dan tidak taat peraturan. Bila dasar hukumnya jelas, maka pemberian sanksi akan dibenarkan. Citra keistimewaan Yogya pun dapat tercermin melalui tata media luar ruang yang enak dipandang.

 

Daftar Pustaka:

Buhr, N. & Reiter, S. (n.d). Ideology, the environment and one worldview: a discourse analysis of Noranda’s environmental and sustainable development reports.

Harysakti, A. (2013). Perencanaan pembangunan media ruang luar tanpa sampah visual guna menunjang kesejahteraan warga kota Malang (studi kasus kota Malang) (Thesis, Universitas Brawijaya). Diakses dari (https://www.academia.edu/5893865/PERENCANAAN_PEMBANGUNAN_MEDIA_RUANG_LUAR_TANPA_SAMPAH_VISUAL

Kharisma, W. (2015, 3 Desember). Sampah visual bikin Yogya tak lagi istimewa. Pikiranrakyat.com. Diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/09/03/340884/sampah-visual-bikin-yogya-tak-lagi-istimewa

Mankiw, N. G. (1998). Principle of microeconomics. Cambridge: Ted Buchholz.

Prasetya, L. D. (2010). Peraturan dan implementasi penataan iklan luar ruang di kabupaten Gunungkidul (studi deskriptif kualitatif tentang peraturan dan implementasi penempatan iklan luar ruang di kabupaten Gunungkidul) (Thesis, UAJY). Diakses dari http://e-journal.uajy.ac.id/1912/

Reviyanto, D. (2015, 15 Januari). Kondisi sampah visual di Yogya gawat darurat. Tempo.co. Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2015/01/15/058635157/kondisi-sampah-visual-di-yogya-gawat-darurat

Suhendar, E. (2002). Menuju keadilan agraria: 70 tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Akatiga.

Supriyanto, S. A. (2008). Meraih untung dari spanduk hingga billboard. Yogyakarta: PT Galangpress Media Utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun