Mohon tunggu...
Elisabet Olimphia Selsyi
Elisabet Olimphia Selsyi Mohon Tunggu... Administrasi - well organized and visioner.

Beri aku sebuah media citizen jounalism, niscaya akan kuguncangkan jagat media. S.I.Kom UAJY.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Communication Saves Human Relations With Their Habitat

21 Februari 2016   19:19 Diperbarui: 22 Februari 2016   13:56 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Manusia dan alam memang tidak dapat dipisahkan. Manusia hidup dan bertahan hidup oleh karena alam sebagai habitatnya. Alam mencukupi kebutuhan manusia, dan begitu pula manusia harus merawatnya. Manusia satu dengan yang lainnya harus peduli terhadap alam. Bila satu peduli dan yang lainnya tidak, maka usaha satu orang itu hanya akan berakhir sia-sia. Maka dari itu, komunikasi lingkungan menjadi sangat krusial dalam hal ini.

Komunikasi lingkungan merupakan salah satu bidang studi dalam komunikasi. Komunikasi terhadap lingkungan dianggap penting karena komunikasi memiliki efek pencapaian yang besar dalam masalah krisis lingkungan bagi sebagian besar manusia dalam suatu waktu. Teori komunikasi lingkungan dibuat tidak hanya untuk memahami dan menjelaskan, melainkan juga megupayakan hubungan antara manusia dengan lingkungan (Littlejohn & Foss, 2009, hal. 344). Komunikasi lingkungan banyak mengutip dari tradisi teori persuasif sehingga dalam praktiknya tidak lepas dari tindakan memengaruhi publik.

Definisi mengenai komunikasi lingkungan lebih dari sekadar berbicara dengan alam, melainkan juga mempertimbangkan peranan bahasa, seni, fotografi, potret jalanan, dan laporan ilmiah sebagai bentuk aksi simbolik (Cox, 2010, hal. 20). Dengan begitu berbagai bentuk aksi simbolik tersebut secara tidak langsung mendorong dan menggugah publik untuk terlibat dalam menjaga kelestarian alam.

Komunikasi lingkungan merupakan penggunaan proses komunikasi secara terencana dan strategis, merupakan produk media yang mendukung pembuatan kebijakan secara efektif, partisipasi publik, dan dalam implementasi proyek yang diarahkan kepada keberlanjutan lingkungan (CPC, 1999, hal. 8). Dalam melakukan komunikasi lingkungan dibutuhkan kemampuan persuasif, seperti yang dikatakan Burke dalam buku Language as Symbolic Action, bahasa yang paling tidak emosional adalah persuasif. Hal itu dikarenakan bahasa kita dan perilaku simbolik orang lain bekerja hanya melalui kata-kata. Kita meluncurkan kata-kata dan kita sendiri bisa melihat bagaimana perkataan kita bekerja dalam otak mereka. Penggunaan persuasi dalam komunikasi lingkungan sekiranya menyamarkan tekanan atau paksaan yang diluncurkan pada publik.

Komunikasi lingkungan memberikan dua fungsi, yakni pragmatis dan konstitutif. Fungsi pragmatis adalah bahwa komunikasi lingkungan mengedukasi, menyiagakan, membujuk, memobilisasi, sekaligus membantu kita dalam memecahkan permasalahan lingkungan. Sedangkan fungsi konstitutif, komunikasi lingkungan membantu kita untuk mengangkat atau menyusun gambaran dari masalah alam dan lingkungan untuk kita semua pahami (Cox, 2010, hal. 21). Fungsi pragmatis muncul bila pihak-pihak yang sekiranya memunyai bisnis yang memiliki dampak bagi kelestarian alam turut menunjukkan kepeduliannya dengan meminimalisir kerusakan tersebut. Sedangkan fungsi konstitutif nantinya akan membangun persepsi kita mengenai kondisi alam dan lingkungan, misalnya apakah perlakuan kita terhadap alam sudah baik ataukah sudah keterlaluan.

Kita mungkin kerap mendengar istilah program Corporate Social Responsibility (CSR) yang sering diadakan oleh perusahaan-perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap masyarakat. CSR ada sebagai bentuk imbal balik dari apa yang telah perusahaan kerjakan. Mereka menggagas beberapa acara yang salah satunya bertajuk kepedulian terhadap lingkungan. Prinsip dari program CSR adalah adanya keberlanjutan sehingga bila dikaitkan dengan studi mengenai komunikasi lingkungan ini, itulah yang disebut sebagai aksi simbolik.

Melalui program CSR tersebut perusahaan mengharapkan publik untuk turut berpartisipasi bersama mereka dalam menyukseskan program tersebut. Perusahaan mengeluarkan tagline dan berbagai pernyataan yang sesuai dengan misi mereka dengan harapan persuasi mereka dapat berhasil. Komunikasi yang mereka lakukan dalam berbagai cerita, pengalaman, dan bujuk rayu tersebut akhirnya membantu kita menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah bermanfaat dan benar adanya.

Suatu perusahaan semen yang bergerak di bidang pertambangan, misalnya. Mereka mengeruk Sumber Daya Alam berupa kapur yang lama kelamaan dapat menimbulkan ekses buruk bagi lingkungan dan akhirnya merugikan masyarakat di sekitarnya. Namun, setelah hasil tambang di tempat tersebut habis, perusahaan semen mengajak masyarakat bersama-sama untuk merehabilitasi lahan yang rusak, mengembalikan kesuburan tanah, juga kualitas air yang tercemar. Biasanya mereka akan menimbun dan menutupi bekas lokasi pertambangan tersebut dengan berbagai material, juga dengan tumpukan jerami, dan bahan lainnya yang dapat mendukung proses rehabilitasi.

Proses rehabilitasi tersebut sebaiknya tidak dilakukan sekali saja, melainkan melalui proses panjang yang berkelanjutan hingga benar-benar menghasilkan sesuatu yang baik. Perusahaan tersebut sebaiknya bertanggung jawab hingga tuntas sesuai dengan tujuan komunikasi lingkungan yang menghendaki pembangunan yang berkelanjutan. Komunikasi lingkungan tidak sebatas menyebarkan informasi saja, melainkan juga mengajukan suatu visi untuk masa depan yang berkelanjutan. Bentuk-bentuk suara masyarakat tersebut (film, buku, poster, dsb) nantinya akan tersebar dan membentuk opini publik yang dapat memengaruhi kebijakan pemerintah.

Ruang publik (public sphere) hadir sebagai ruang diskursif untuk membicarakan suatu topik. Ruang publik adalah suatu ruang yang terbentuk dari pengaruh yang dibuat ketika individu mengajak orang lain berkomunikasi−melalui pernyataan, argumen, tanya-jawab−mengenai pokok persoalan yang memprihatinkan masyarakat luas (Cox, 2010, hal. 26). Ruang publik muncul ketika seseorang mulai membuka percakapan dengan orang lain mengenai suatu permasalahan. Meskipun awalnya obrolan bersifat privat, namun itu memiliki potensi bagi terciptanya publik. Hal itu dapat terjadi ketika mereka berkumpul dan saling memengaruhi satu sama lain sehingga memiliki kesamaan persepsi dan menyita perhatian publik.

Sayangnya, arti dari ruang publik kerap disalahartikan. Ruang publik dianggap sebagai ruang bagi pejabat atau forum bagi pembuatan kebijakan pemerintah, monolistik (kesatuan) atau kumpulan warganegara yang ideal, juga ada yang menyebutnya sebagai suatu bentuk komunikasi yang rasional atau teknis (Cox, 2010, hal. 27). Fakta yang kerap kita temui, diskusi dan debat mengenai lingkungan sering terjadi secara tertutup, di luar jangkauan pemerintah dan pengadilan. Ruang publik juga diartikan sebagai sesuatu yang konkret, seperti talkshow radio, editorial, blog, konferensi pers, atau rapat daerah yang memberikan ruang bagi penduduk untuk bertanya mengenai risiko kesehatan yang dapat menimpa mereka akibat permasalahan lingkungan. Pandangan lain mengatakan bahwa ruang publik adalah tempat bagi percakapan orang-orang elit dan terpelajar yang memiliki pemikiran rasional. Itu juga yang menyebabkan beberapa masyarakat yang tidak mengenyam pendidikan yang tinggi merasa minder untuk berpendapat.

Saat ini, setiap orang telah memiliki akses untuk berpendapat. Demokrasi pun menjadi lebih hidup karena komunikasi berjalan dua arah. Masyarakat dapat mengawal kebijakan pemerintah dan para pemilik modal. Film “Belakang Hotel” misalnya, merupakan suatu wujud aksi simbolik yang dikemukakan oleh masyarakat biasa dalam lingkup publik untuk mengkritisi masalah kekeringan air. Masyarakat beramai-ramai mengkritisi perubahan kondisi lingkungan yang mulai merugikan mereka akibat pembangunan hotel yang semakin merebak di Yogyakarta. Dengan bantuan media, komunikasi lingkungan menjadi semakin efektif karena sasaran publiknya heterogen dan luas.

 

Daftar Pustaka:

CPC. (1999). Environmental communication: applying communication tools toward suistainable development. Paris: OECD   Publication.

Cox, R. (2010). Environmental communication and the public sphere. California: Sage Publication, Inc.

Littlejohn, S. W. & Foss, K. A. (2009). Encyclopedia of communication theory. New Mexico: Sage Publication, Inc.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun