Mohon tunggu...
Elisabeth Dyah Ayu Cintami Wisnugroho
Elisabeth Dyah Ayu Cintami Wisnugroho Mohon Tunggu... -

Pecinta imajinasi sejati. Penulis fiksi yang ingin belajar non-fiksi. Music, design and movie are my life too. Long Live FREEDOM! Long Live Rock 'n Roll! Long Live Imagination!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelangi di Malam Hari

2 Februari 2014   21:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:13 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mengugat pendapat Pelangi yang satu ini. Aku sekarang lebih buruk, putus asa dan tak berdaya.
"Kau bercanda. Sekarang aku berbeda." sergahku pelan,
"Bagiku, kau adalah kau. Sampai kapanpun." Nada bicaranya mulai cerah, mencerah.
"Kau tenggelam dalam masa lalu."
"Tidak sama sekali. Ingat? Aku menunggumu, Ernest."
"Seharusnya tak perlu karena percuma."
"Nyatanya aku bersamamu lagi. Setidaknya itu impas."
"Apa kau akan menikah jika aku pergi?"
"Mungkin."
"Menikahlah kalau kau mau. Jangan anggap aku lagi! Aku tahu kau profesional dalam hal ini."
"Iya, benar sekali. Selama kita tidak bertemu aku sudah berulang kali merasa kehilangan dan itu membuatku terbiasa."
"Siapa? Siapa yang pergi?"
"Adikku, Joshua. Sahabatku di Jerman, Terrece. Yah itu." kata-katanya terdengar amat tegar dan datar.
"Joshua? Dia meninggal? Kenapa?"
"Kau lupa? Dia sakit kanker. Dia yang membuatku ingin menjadi dokter seperti sekarang. Yah, walau ketika aku lulus dia sudah pergi."
"Iya aku lupa. Padahal dulu aku sering menjenguknya di rumah sakit."
Lalu suasana menjadi hening seketika. Aku tahu pasti dia ingat seketika dengan adiknya yang sangat dicintainya itu.
Entah mengapa aku ingin kembali ke kamarku. Aku berjalan terus perlahan-lahan dengan bantuan Pelangi hingga kembali ke kamar itu.

Aku kembali di atas tempat tidurku dan membaringkan tubuhku. Aku ingat hidupku tidak lama lagi,
"Aku tak percaya kalau sebentar lagi aku harus meninggalkanmu." Kataku pelan sambil menatap mata Pelangi sedalam yang aku bisa.
"Aku juga. Aku mencintaimu." Pelangi mulai menggenggam tanganku,
"Aku rasa ini tidak adil bagimu. TIDAK ADIL!" aku mulai berteriak, mulai membentak sejadinya, emosiku melonjak dan aku rasa aku benar-benar merasa berdosa dengannya,
"Mengapa?"
"Apa kau tidak merasakan? Kau menunggu lama untukku dan aku kembali untuk mengucapkan selamat tinggal untukmu. Adilkah itu semua?" Aku mencoba mengeluarkan seluruh tenagaku untuk ini.
"Sepertinya aku pernah mengatakan hal ini sebelumnya. Semuanya sudah terbayar setelah aku bertemu denganmu."
"CUKUP! Jangan bohongi aku! Bahkan kau telah membohongi perasaanmu sendiri! Munafik!" Aku semakin tidak tahu harus bagaimana mendengar jawaban Pelangi. Ia terus tersenyum. Tersenyum.
"Maafkan aku kalau kau tak menerima ini. Nes, aku tahu aku membohongi perasaanku, membohongimu dan mungkin aku munafik. Sangat munafik. Tapi asal kau tahu. Itu semua aku lakukan karena aku cinta kau. Aku coba melupakan kesedihanku, menjadi tegar, menjadi profesional di depanmu. SEBENARNYA TIDAK JUGA! Aku menangis dibalik semua ini! Menangis! Kau puas?!" Pelangi mulai meneteskan air mata dan emosinya meledak.
"Cinta pertamaku, kau. Dan aku belum bisa menggantikanmu hingga aku percaya aku harus berlari, Nes. Lari, jauh sejauh-jauhnya dari perasaan itu. Menjadi profesional seperti yang kau katakan. Sebagai dokter yang merawat pasiennya. Menikah dan melupakanmu." Ia terisak terus hingga aku tak tega untuk meneruskan ini.

‘I always knew the day would come
You'd stop crawling, start to run
Beautiful as beautiful can be’
-Miley Cyrus ft Billy Ray Cyrus_Butterfly Fly Away-

"Baiklah... Kau tahu? Suatu saat aku akan menunjukkan padamu tentang apa yang harus kau lakukan. Lan... Kau... Warna dalam gelapku. Ingat! Pelangi di malam hari. Itulah kau! Selama aku sekarat kau ada dengan senyum dan tawamu yang menghapus semua ketakutanku dan kesedihanku." Kuhapus air mata itu, hentikan semua ini. Mengapa aku harus selalu memulai kemarahan ini? Mungkin aku telah menambah beban untuk Pelangi. SIALAN! Aku bodoh sekali.
"Maaf... Aku mengganggu pagimu." Ia memegang tanganku yang masih membelai wajahnya.
"Tidak! Aku yang harus minta maaf dan sebenarnya aku yang mengganggu pagimu."
"Mungkin sebaiknya aku keluar."
"Jangan..." aku mencegahnya karena meski begitu aku tak bisa sendirian saat ini. Aku butuh seseorang untukku. Aku begitu takut. Takut akan apa saja.
"Baiklah. Tapi jangan lagi kau ulangi hal tadi. Ingat! Kita sama-sama profesional." Ia menyentuh pipiku dan menyeka air mataku, aku baru sadar kalau aku selemah itu. Aku bisa menangis. Menangis.
Pelangi...
Kau tahu? Aku damai sekarang. Aku bahagia dan jiwaku mulai bersemangat. Jiwaku ingin pergi secepatnya. Maafkan aku... Lagi.
Kutatap matanya yang indah dan berkaca-kaca itu
Aku merasa tak berdaya
Lemah sekali, aku lemah sekali
Begitu lemahnya sampai mataku terpejam
Terpejam...
Sunyi...
Antara hitam dan putih
Semuanya berakhir
Terima kasih Pelangi
Kini aku merasa ringan sepertimu
Hanya bertemu dan impas
Tetaplah tersenyum, 'profesional'
Mataku pun akhirnya terpejam
Untuk selamanya...
Kulihat semua orang berdiri disekitarku, tapi aku tidak bisa menyentuh mereka. Ragaku ada disitu dan aku disini. Sepertinya aku sudah menyelesaikannya. Aku tahu Tuhan sayang padaku dan semua orang disekitarku. Selamat tinggal semua, selamat tinggal pelangi di malam hariku...

The End

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun