Maret 2021, saya berdiskusi dengan beberapa teman ketika mendengar makin banyaknya beban kesehatan mental dialami masyarakat setelah satu tahun pandemi. Dari diskusi melalui Whats App dan pertemuan virtual, lahir gagasan untuk memfasilitasi teman-teman yang kita kenal agar saling berbagi.Â
Akhirnya, saya memulai aktivitas bulanan bertajuk "Kita Temukan Cara Kita", Kata Rata. 'Kata' berarti ujaran, ungkapan, unsur dari bahasa yang diujarkan atau dituliskan.Â
'Rata' berarti permukaan yang sama tinggi rendahnya atau meliputi seluruhnya. Kata Rata berupaya untuk saling berbagi dalam ujaran yang menempatkan siapapun menjadi pencerita dan penanggap. Ada keinginan untuk belajar dari dan bagi semua.
Aktivitas berbagi antar siapa pun dalam pertemuan virtual itu diselenggarakan Rabu minggu ketiga tiap bulannya. Kata Rata pertama saya adakan Mei 2021. Saat itu, sudah 15 bulan pandemi, yang menyadarkan kita bahwa berjarak kadang baik kadang buruk.Â
Tiap orang memiliki pengalamannya dan layak untuk didengarkan. Pertemuan virtual pertama dihadiri 18 orang berusia 19-48 tahun, berprofesi mahasiswa, lulusan anyar, karyawan berbagai bidang, ibu rumah tangga, dan wirausaha.
Berbagi kisah setelah 15 bulan bekerja dan belajar di rumah (BDR), Santi, dosen paruh waktu sekaligus ibu rumah tangga dengan anak usia sekolah dasar menemukan makna menenangkan anak.Â
Santi mendorong anaknya untuk menghayati masa pandemi ini sebagai bagian dari sejarah. "Kelak, kalau kau jadi kakek, maka kau bisa cerita pada cucumu bahwa 2020-2021 dunia mengalami pagebluk, pandemi", ujarnya.
Martin berkisah tentang keterlibatannya sebagai garda depan tim medis penanggulangan COVID-19. Katanya: "Jujur, untuk segera mengisi masa yang masih belum pasti, awalnya saya terlibat di tim agar segera vaksin, tetapi kemudian dari sini saya banyak belajar". Pengalaman yang tidak terlupakan.
Sementara itu Catrin, dokter yang baru selesai magang. Sebagian dirinya merasakan orang tua ingin ia segera mandiri. Sebagian dirinya merasakan desakan berkarya.Â
Akhirnya, ia melamar sebagai tenaga medis di sentra penanganan COVID-19 di Pasuruan. "Pengalaman kali ini sungguh tidak akan terlupakan, bagaimana dokter memeriksa pasien tanpa stetoskop, karena harus dengan APD".
Kido yang dosen, tak bisa menikmati BDR, merasa tertekan tidak bertemu orang banyak, terutama mahasiswa. Akhirnya, berkolaborasi dengan Stella, mereka menciptakan Sebatas Angan, sebuah podcast yang serius tetapi ringan tentang kesehatan masyarakat. Isu tentang nutrisi, kelaparan, kesehatan; dibawakan sangat kekinian, dengan cara muda, dinamis.
Yang termuda dari semuanya adalah Alvin, mahasiswa Angkatan 2020 PTS ternama di Jakarta. Tidak pernah bertemu guru sejak Maret 2020. Setelah kelulusan secara daring dari SMU, ia diterima di universitas.Â
Masa orientasi mahasiswa baru dan kuliah dilakukan sepenuhnya daring. Padahal, jurusan yang diambilnya memerlukan keterampilan laboratorium kimia dan biologi. Apa boleh buat, seluruh keterampilan itu ditunda sampai kondisi memungkinkan mahasiswa ke kampus.
Kisah Kristi diputus kerja karena restrukturisasi akibat pandemi. Namun, dengan gigih dan jejaring terbaik, ternyata ada pekerjaan yang tidak pernah ia pikirkan kalau tidak pandemi dan tidak diputuskerjakan.Â
Dua bulan setelah pemutusan kerja itu, ia diterima di perusahaan bergengsi bidang kehumasan. Perusahaannya memikirkan kesehatan mental karyawannya dengan menyediakan layanan psikologi. Layanan sudah dimulai sejak 2020 bahkan sebelum perusahaan lain memedulikan kesehatan mental sepanjang BDR.Â
Sungguh suatu berkat. Kini, tak hanya bekerja sesuai renjananya, Kristi merasa lebih sehat, dapat mengelola beban masa lalu yang baru disadarinya tak pernah sungguh-sungguh dia letakkan.
Lain pula kisah Novi, seorang analis data sebuah perusahaan farmasi raksasa. Awalnya, ia merasa BDR adalah cara kerja yang ia idamkan. Tinggal di apartemennya dan menikmati kerja jarak jauh serta memberdayakan timnya melalui internet.Â
Sampai suatu saat, ia merasa membutuhkan bertemu orang. Karena tinggal sendirian, maka untuk sekedar berbincang ringan, ia datang ke pos satpam apartemen. Ia katakan: "Ternyata saya yang introvert saja, masih butuh bertemu dengan manusia lain untuk sekedar bisa waras." Benar.
Nugi, dari Solo, menyelesaikan sebuah kit praktikum spektroskopi sederhana untuk pembelajaran kimia SMU. Ia memperkenalkan alatnya melalui kanal YouTube-nya.Â
Kini, Nugi sedang dalam masa wawancara untuk menjadi guru kimia, menghidupi renjananya. Dalam masa pandemi, Nugi berkenalan dengan dua dosen di luar universitasnya serta mempublikasikan satu artikel tentang Pancasila dan kewarganegaraan global di jurnal nasional terakreditasi.
Lia, mahasiswa PTS di Yogyakarta, sempat berkenalan dan mendapatkan pembimbing baru yang memintanya menulis artikel bersama. Melalui pembimbing ini, ia berjejaring dengan dosen kimia di Rutgers University, AS. Bertiga, mereka menulis artikel dalam jurnal ilmiah internasional bidang pendidikan kimia.
Ada banyak cara untuk menikmati BDR dan tetap waras. Untuk kewarasan kita temukan cara kita yang sebetulnya tak luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H