Zimbabwe merupakan negara yang berada di benua afrika tenggara. Zimbabwe dikenal sebagai negara yang terkurung karena keberadaannya yang ada di tengah-tengah perbatasan suangi yaitu sungai Zembezi dan Limpopo. Negara Zimbabwe termasuk dalam negara berkembang, dahulu negara ini bernama Republik Rhodesia namun pada tanggal 18 April 1980 Rhodesia meraih kemerdekaan dan kemudian resmi mengganti nama menjadi Republik Zimbabwe. Namun negara ini mengalami permasalahan besar yang berdampak kebangkrutan negaranya sendiri. Zimbabwe mengalami hiperinflasi akibat tidak terakomodasinya penambahan modal penyuplai mata uang untuk menebus pengeluaran pemerintahan yang meningkat akibat terjadinya perang kongo II. Tak hanya itu, penambahan modal ini juga tidak seimbang dengan jumlah hutang negara yang tinggi dalam keadaan ekonomi negara sedang berada dibawah.
Inflasi yang terjadi di Zimbabwe dalam satu harinya naik hingga hampir 100% maka tak heran jikalau penjualan disana diberi harga hingga 2 bahkan 3 kali lipatnya dari harga pasar. Tingginya inflasi di Zimbabwe mengakibatkan meningkatnya angka masyarakat pengangguran dan menyebabkan krisis pangan di lingkungan masyarakat. Negara ini merupakan negara yang kaya akan penghasilan pangan maka dari itu Zimbabwe dikenal sebagai lumbung pangan di benua afrika karena tanahnya subuh, sektor pertaniannya maju pesat dengan hasil tanam yang khas yaitu gandum dan tembakau. Walaupun telah mendapatkan kemerdekaan, kepemilikan sektor pertanian negara ini masih dipegang oleh rakyat berkulit putih dan saat itu sektor perekonomian Zimbabwe mengalami stabilitas yang baik.
Pada saat kepemimpinan Presiden Robert Mugabe mengalami perubahan mengenai kebijakan perekonomian negara, ia memberlakukan serangkaian program yang mengatur beberapa pola terkait Economic Structural Adjustment Programme (ESAP). Dalam kebijakan ini mengatur juga mengenai kepemilikan tanah yang pada saat itu masih di pegang oleh masyarakat berkulit putih setelah berjalannya kebijakan ini pemerintah menegaskan untuk mengusir para kaum kulit putih untuk menyerahkan seluruh tanah pertanian kepada masyarakat lokal Zimbabwe. Namun pada kenyataanya masyarakat lokal Zimbabwe sendiri tidak memiliki keahlian dalam sektor pertanian yang pada akhirnya menyebabkan banyaknya kesalahan dalam mengolah pertanian hinggga berujung turunnya hasil produksi.
Tahun 2007 sektor pertanian mengalami penurunan sebanyak 45%, hal ini menyebabkan tidak hanya dalam sektor perekonomian negara namun juga produksi dalam bidang lainnya juga terpengaruhi. Akibat penurunan ini ekspor dari negara Zimbabwe juga mengalami penurunan secara besar, bermula dari hasil ekspor sebanyak US$600 juta hingga jatuh pada angka US$125 juta. Sejak saat itu pemasukan keuangan negara tidak stabil dan selalu mengalami kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakatnya. Pada akhirnya pemerintah melakukan pemberlakukan impor besar-besaran sebagai penanggulangan krisis bahan pokok masyarakat. Namun pemberlakukan impor ini juga menjadikan hutang negara semakin tinggi dimana pemasukan yang tak sebanding dengan biaya pengeluaran. Dengan demikian pemerintahan memutuskan untuk mencari solusi yaitu dengan melakukan pencetakan mata uang secara terus menerus. Hal ini di karenakan hutang negara yang berkepanjangan pada hitungan neraca anggaran dan sektor perdagangan.
Pemerintahan Mugabe mengalami kerusakan sistem perekonomian yang cukup besar, bahkan ditengah inflasi ekonomi negara Mugabe masih memberlakukan kebijakan yang memiliki resiko besar dan menambah inflasi negara secara besar-besaran. Mugabe memerintahkan untuk memberikan sumbangan dana bagi perang Kongo II dengan mengutus para Bank Nasional agar mencetak mata uang secara berlebihan. Akibatnya hutang negara semakin tinggi pemasukan yang tidak sebanding dengan pengeluaran dana mengakibatkan inflasi yang cukup tinggi belum lagi dengan kasus korupsi pemerintah negara, lonjakan impor dan anjloknya ekspor. Hal ini menjadikan negara ini mengalami pertama kali hiperinflasi sejak tahun 2006. Tahun-tahun selanjutnya kenaikan inflasi semakin cepat dan tinggi dan puncaknya tepat pada tahun 2008 dimana setiap harinya mengalami inflasi sebesar 98%/hari. Hiperinflasi berkepanjangan terus berjalan namun pemerintah malah melanjutkan kebijakan pencetakan uang yang banyak bahkan hingga mencetak uang yang memiliki nilai besar yaitu ZWD 100 Trilliun.
Hiperinflasi yang berkepanjangan berdampak buruk bagi masyarakat Zimbabwe. Krisis pangan dan pengangguran merajalela dikalangan masyarakat. Masyarakat miskin akan semakin miskin akibat harga jual barang tidak sebanding dengan hasil upah pekerjaan mereka. inflasi yang berskala besar setiap harinya menjadikan penjualan harga pasar menjadi tinggi sehingga masyarakat sangat kesulit untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya. Mereka juga harus segera melakukan pembelanjaan uang mereka hal ini dilakukan agar nilai mata uang yang mereka miliki tidak semakin turun. Siklus perekonomian di Zimbabwe semakin memburuh perputaran yang tidak stabil mengakibatkan masyarakat tidak dapat melakukan penyimpanan uang untuk memenuhi kebutuhan hari-hari yang akan datang.
Masyarakat Zimbabwe harus menerima kenyataan pahit ini, bagaimana tidak walaupun mereka memiliki uang sebesar miliar bahkan terhitung trilliun namun jika penjualan pasar sebanding dengan harga uang penyimpanan mereka maka sama saja. Mereka harus mengeluarkan uang miliaran dengan harga pasar juga sebanding misalkan masyarakat memiliki uang simpanan sebesar 2 miliar namun harga gandum dijual sebesar 1 milliar maka hal ini sama saja merugikan masyarakat. Mereka tidak dapat melakukukan penyimpanan uang berskala panjang karena kebutuhan pokok untuk sehari saja sudah menelan hampir seluruh simpanan keuangan mereka.
Bank negara juga menerima kenyataan bahwa mereka juga mengalami dampak inflasi ini. Bank negara Zimbabwe mengalami kebangkrutan sehingga mereka juga menutup akses pinjam dan suplai kredit. Terjadinya penurunan peminjaman dan suplai kredit pada negara juga menjadi ancaman berbahaya bagi perekonomian negara, pasalnya negara akan mengalami kebangkrutan secara besar. Kondisi telah merusak sistem perekonomian negara secara kejam, masyarakat mengalami krisis ekonomi dan kelaparan, indeks bisnis mulai merosot sehingga semua perusahaan yang berada di Zimbabwe kewalahan menangani inflasi ini, mereka tidak mampu menangani kontrol harga penjualannya akibat stabilitas perekonomian negara yang semakin memburuk. Pada akhirnya semua perusahaan memberhentikan para pekerja yang berdampak pada angka pengangguran naik secara drastis.
Hiperinflasi di Zimbabwe telah merugikan banyak sektor negara baik pemerintahan maupun masyarakat. Inflasi besar ini mengakibatkan krisis ekonomi yang cukup besar tak hanya itu zimbabawe juga mengalami krisis politik yang menyebabkan terjadinya konflik kudeta militer pada saat pemerintahan Mugabe, masalah kekeringan pada negaranya dan lain sebagainya. Seluruh sistem negara telah rusak akibat tidak stabilinya perekonomian negaranya. Zimbabwe telah gagal mengatur mikroekonomi negaranya dengan demikian Zimbabwe telah memutuskan untuk memberhentikan pencetakan mata uang secara berlebihan untuk mengatasi hiperinflasi yang semakin memburuk setiap tahunnya. Pemerintah pada akhirnya melakukan kebijakan untuk mengatasi inflasi ini dengan mengizinkan para masyarakatnya untuk melakukan jual beli harga pasar dengan menggunakan transaksi mata uang asing.
Kasus yang terjadi di negara zimbabwe merupakan kasus yang sangat merugikan bagi banyak pihak dalam negara. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah yang tidak seharusnya digunakan sebagai bentuk upaya pencegahan inflasi malah berdampak anjloknya perekonomian secara drastis. Kebijakan pada penyumbangan dana untuk perang Kongo di tengah anjloknya perekonomian negara sangatlah disayangkan karena hal ini merupakan bentuk keegoisan pemerintah yang tidak memperhatikan kepentingan negaranya dan memilih untuk mendahulukan kepentingan diluar negara. Salah satu kebijakan yang sangat membuang banyak biaya dan berdampak hiperinflasi yaitu pencetakan mata uang yang sangat banyak namun nilai mata uang semakin turun hal ini merupakan satu-satu kebijakan yang sangat disayangkan sekali menimbulkan banyak kerugian sehingga yang pada awalnya diperkirakan kebijakan ini dapat membantu perekonomian negara kembali justru menimbulkan banyak krisis dalam negara merajalela. Hingga saat ini zimbabwe masih menjadi negara yang menduduk skala perekonomian terburuk di dunia akibat hiperinflasi yang belum dapat diperbaiki oleh pemerintahannya namun upaya pemerintah untuk mengatasi inflasi ini masih berlanjut hingga saat ini walaupun masih terbilang beberapakali gagal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H